Memori Puitik dari Asia-Afrika
Memori dan luka menjadi salah satu elemen yang mengilhami 100 perupa dari Asia dan Afrika dalam Singapore Art Week.
Memori dan luka menghubungkan dua benua, Asia dan Afrika. Di Singapore Art Week 2024, 100 perupa asal Asia dan Afrika mengekspresikan ingatan itu secara puitik dalam simbol-simbol dan guratan yang kaya makna.
Sosok berkulit legam dalam siluet yang juga sepenuhnya gelap duduk bersimpuh memalingkan mukanya. Sosok dalam lukisan perupa asal Singapura, Yanyun Chen, itu seolah menghindari tatapan siapa pun. Namun, dalam sosoknya yang digambarkan tanpa busana, orang melihat luka. Guratan kuning emas yang menempel di punggungnya seolah mengganggu kemulusan sosok itu, seperti cukilan kasar pada pahatan kayu.
Demikianlah cara Yanyun menyampaikan luka dan memorinya. Dengan baju berkerah rendah, Yanyun seolah tidak hendak menyembunyikan luka keloid di atas dadanya. Guratan kuning di punggung sosok lukisan itu adalah caranya mengekspresikan lukanya. Ia memiliki luka keloid yang diturunkan dari keluarganya.
”Di Singapura, hal ini dianggap sebagai kondisi medis yang harus diobati dan orang-orang yang tumbuh dengan luka keloid ini kerap harus menyembunyikannya,” kata Yanyun, yang juga berbasis di Boston, Amerika Serikat, Kamis (18/1/2024), di Gillman Barracks, salah satu kompleks seni di Singapura. Kompleks tersebut merupakan bekas barak militer Inggris di era kolonial.
Baca juga: Sejenak Becermin ke Singapura
Kurator Dr Zoe’ Whitley menjelaskan kepada pengunjung mengenai karya perupa asal Singapura, Yanyun Chen, dalam pameran bertajuk "Translations: Afro-Asians Poetics" di Gillman Barracks, salah satu kompleks seni di Singapura, Kamis (18/1/2024). Sebanyak 100 perupa dari Asia dan Afrika menampilkan karyanya dalam pameran ini.
Yanyun adalah satu dari 100 perupa yang karyanya dipamerkan dalam pameran bertajuk ”Translations: Afro-Asian Poetics”, yang digelar pada 18-30 Januari 2024. Pameran ini dikuratori oleh Dr Zoe’ Whitley, asal AS.
Dalam lukisannya, Yanyun menggunakan warna emas untuk menggambarkan luka tidak harus dianggap sebagai kecacatan. Luka itu dengan cara lain dapat dilihat sebagai bagian dari dirinya yang diterima dengan wajar.
Luka yang sama digambarkan berbeda oleh perupa Ifeyinwa Joy Chiamonwu asal Nigeria. Perupa asal Afrika itu menggambarkan luka keloid dengan senyuman. Di Afrika, luka semacam itu tidak harus diobati atau dianggap aib.
Oleh karena itu, Ife menampilkan sosok perempuan berambut keriting tipis tersenyum menghadap muka. Di bagian atas buah dadanya menempel masing-masing satu luka keloid. Lukisan Ife diberi judul ”Gold”.
Lukisan Ife dan Yanyun itu dipasang berdampingan. Keduanya seolah saling berkata-kata. Dua benua dengan satu luka yang sama, tetapi persepsi dan budaya boleh jadi melihatnya sebagai hal yang sepenuhnya berbeda.
Lain halnya dengan tema yang diusung oleh Ari Bayuaji, perupa asal Mojokerto, Jawa Timur. Ia membuat tenunan dari bekas-bekas tali nelayan berupa tali penarik kapal yang menjadi sampah di Sanur, Bali. Tali-tali itu dicerabut hingga pada bagian yang paling halus lalu ditenun secara tradisional. Hasilnya adalah tenunan dari benang plastik atau nilon yang sangat lembut dengan gradasi warna yang halus.
Ari dalam karyanya yang bertajuk ”The Old Sail#2” memadukan benang katun dengan benang plastik dari tali nelayan. Pola-pola berbentuk bulat, kotak, dan permainan gradasi warna terlihat pada karyanya. Dari kejauhan tidak terlihat jika karya itu dirangkai dari benang tali plastik.
”Saya menangkap persoalan lingkungan di Bali. Karena itu, saya coba memakai sampah plastik menjadi karya. Saya melibatkan penenun tradisional yang hampir punah di Sanur,” katanya.
Karyanya juga bermakna sosial, karena dengan mengolah sampah, Ari lebih mampu mengajak warga Bali menumbuhkan kembali kesadaran mereka akan pentingnya menjaga lingkungan. ”Dengan hanya mengajak mereka sadar lingkungan, itu tidak akan bermakna apa-apa, karena mungkin mereka tidak memperoleh dampaknya secara langsung. Tetapi dengan dijadikan karya, mereka dapat merasakan langsung manfaatnya,” kata Ari yang berbasis di Kanada dan Bali ini.
Tema soal sampah juga diusung oleh perupa asal Ghana, El Anatsui, yang berjudul ”Tse”. Dalam karyanya, Anatsui merangkai ratusan bekas tutup botol alkohol. Tutup botol itu dipipihkan dan dirajut menjadi semacam taplak. Dengan karyanya, ia menyampaikan persoalan lingkungan dan sosial di sekitarnya, yakni minuman alkohol yang merusak. Botol-botol bekas minuman beralkohol itu menjadi sampah yang menumpuk.
Baca Juga: Menggali Makna di Rumah Teng Jee Hum
Pengunjung menikmati karya perupa El Anatsui asal Ghana dalam pameran seni rupa bertajuk ”Translations: Afro-Asians Poetics” di Gillman Barracks, salah satu kompleks seni di Singapura, Kamis (18/1/2024). Sebanyak 100 perupa dari Asia dan Afrika menampilkan karyanya dalam pameran ini.
Zoe’, yang menjadi kurator pameran ini, mengatakan, karya-karya yang dipamerkan saling terkait satu sama lain, sekalipun tidak persis sama. Karya 100 seniman dari Asia dan Afrika ini menampilkan bait-bait simbol dan narasi dengan beragam ekspresi dalam tema yang beragam. Karya ini terhubung satu sama lain karena tema, ekspresi, hingga material yang digunakan. Terlihat setidaknya ada kesamaan persoalan yang dihadapi oleh Asia dan Afrika, sekalipun dua benua ini berbeda secara geografis dan ekspresi budaya.
”Kami ingin menyoroti benang-benang yang menyatukan kita bersama sebagai manusia, melampaui hambatan bahasa dan budaya,” ucapnya.
Rasa rindu
Dalam ajang Art SG 2024, bagian dari Singapore Art Week (SAW) 2024, memori juga menjadi elemen dasar yang mengilhami dan menggerakkan. Jika Yanyun bicara soal luka, dan Anatsui merefleksikan soal sampah, maka Boedi Widjadja merengkuh memori.
Boedi, seniman kelahiran Solo, 49 tahun lalu ini, sekarang adalah warga negara Singapura. Namun, kenangan akan masa kecilnya terus menginspirasi. Dalam ajang Art SG 2024, 19-21 Januari, ia mengusung karya ”Immortal Words” yang merupakan bio art, atau seni yang mengombinasikan estetika seni dengan biologi.
Bio art karya Boedi berupa mesin dengan bola-bola yang berisi tabung lab. Tabung lab itu berisi cairan DNA dari 12 kata. Pengunjung tinggal memutar tuas mesin dan secara acak akan mendapatkan bola berisi DNA kata-kata. Setiap orang akan mendapatkan DNA kata yang berbeda di dalam bola.
Ia bekerja sama dengan seorang biologis dari Nanyang Technological University untuk membuat DNA dari 12 kata-kata yang telah bertahan sejak 15.000 tahun lalu. Kata-kata itu diwariskan dari ibu kepada anaknya sampai saat ini.
Kedua belas kata itu ialah mother (ibu), fire (api), black (hitam), ashes (abu), old (tua), hand (tangan), worm (cacing), to flow (mengalirkan), to give (memberi), to hear (mendengar), to pull (menarik), dan to spit (meludah).
Baca juga: Seniman Indonesia Dapat Tempat di Art Stage Singapura
Untuk menyandi kata-kata itu menjadi rangkaian molekul DNA, Boedi menggunakan bahasa ibunya, yakni bahasa Jawa. Ia memakai aksara Jawa, yakni ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga.
”Ada 20 suara dalam hanacaraka, dan itu saya terapkan dengan 20 elemen asam amino di dalam DNA. Dengan cara itu, saya bisa menerjemahkan setiap kata dalam setiap bahasa sepanjang saya bisa memperkirakan suara kata itu dalam bahasa Jawa,” ucapnya.
Melalui seni, manusia menemukan salah satu sarana paling subtil dan puitis bagi mereka untuk mengekspresikan diri dan kehidupannya.
Bahasa Jawa adalah bahasa pertama yang didengar dan diakrabi Boedi sejak kecil, hingga ia berusia 9 tahun. Pada usia itu, ia bermigrasi ke Singapura. Namun, kenangan masa kecil itu tak terlupakan. Ia menyesal karena tidak menghabiskan waktu lebih lama di Solo. Baginya, masa itu adalah saat-saat yang paling membahagiakan.
Boedi menyimpulkan perasaannya pada Solo dengan satu kata, yakni longing (rindu). ”Ketika saya datang ke sini (Singapura), saya tidak punya apa apa. Saya hanya punya memori,” ucapnya.
Melalui seni, manusia menemukan salah satu sarana paling subtil dan puitis bagi mereka untuk mengekspresikan diri dan kehidupannya.