Oleh-oleh Pulau Ketam
Ruang pameran Bentara Budaya Yogyakarta penuh cerita yang dihadirkan sekitar 20 lukisan yang berasal-usul sama, Pulau Ketam. Masing-masing punya ungkap ekspresi berbeda, menghadirkan beragam nuansa.
Salah satunya, sebuah lukisan lebar Januri, ”Picnic Series” (2016), yang melukiskan bentang alam sebuah pesisir. Selebar mata memandangi kanvas Januri yang didominasi warna-warna lembut dan kelabu, tampak berderet-deret rumah panggung, tiga-empat dermaga kecil tempat perahu-perahu tertambat, dan acungan batang bakau di sana-sini.
Itulah bentang alam khas Pulau Ketam, sebuah pulau seluas 22,9 kilometer persegi, yang melulu lumpur rawa mangrove kelabu yang setiap hari ditenggelamkan air pasang. Lumpur yang kelabu itu menopang hidup sekitar 10.000 warga yang tinggal di empat permukiman kampung nelayan—Ketam Island Township, Bagan Teo Chew, Sungai Lima, dan Sungai Dua. Lukisan Katirin, ”Hasil Tangkapan” (2016), melukiskan dua nelayan dengan warna-warna kelabu, seolah menyalin rupa lumpur dan keseharian Pulau Ketam. Lalu di mana meronanya?
Rona seni
Kehidupan Pulau Ketam sudah merona oleh geliat warganya. Laman internet Lembaga Urus Air Selangor—lembaga publik yang menangani pengelolaan terintegrasi pesisir Selangor—menyebut permukiman pertama di Pulau Ketam ada sejak 1920, dan memiliki populasi beragam. Sekitar 95 persen warga pulau itu etnis Tionghoa, bersanding dengan 4 persen etnis Melayu dan 1 persen etnis India.
Dalam gelaran Pulau Ketam International Art Festival, rona itu semakin muncul, antara lain di kanvas S Soneo Santoso misalnya, ”The Dog of Ketam” (2016), terlukis seekor anjing yang terikat di tiang rumah panggung. Di latarnya, juga tampak deretan rumah panggung dan satu-dua perahu. Soneo memilih warna-warna menyala untuk kanvasnya.
Begitu pula dengan dua kanvas Dona Prawita Arissuta, ”The Island of Ted Almoner I” dan II (2016), yang melukiskan menara kelenteng di Pulau Ketam. Valentinus Rommy Iskandar melukis kepiting alias ketam, yang memang banyak terserak di lumpur Pulau Ketam, dengan warna dominasi warna hijau. Lukisan itu dilukisnya sepulang dari Pulau Ketam gara-gara lukisannya di Pulau Ketam diborong para warga.
Hardiana menghadirkan ”Fish Eye #1” (2016) yang menghadirkan ikan berkepala manusia, dan bermata ikan, dengan warna biru yang dominan. Eddy Sulistyo tak menghadirkan warna selain hitam dalam kanvasnya, tetapi sapuan tinta china dan arang di kanvas ”Ingkang Maha Kuasa” (2016) menghadirkan indahnya ornamen Kelenteng Hai Fa Li Chi Fu Huang Ye di Pulau Ketam.
Magnet baru
Pulau Ketam International Art Festival yang digelar pada 20 November hingga 4 Desember lalu memang telah menambah rona Pulau Ketam. Sejumlah 120 perupa dari 19 negara terpukau oleh rona Pulau Ketam. Perupa Ipong Purnama Sidhi mengisahkan bagaimana sembilan perupa Indonesia keranjingan berkarya selama dua pekan tinggal di Pulau Ketam.
”Suasananya memang unik. Tidak ada mobil di pulau itu, karena semua rumah panggung dibangun di atas lumpur, dengan jalan-jalan kecil serupa jembatan yang menghubungkan rumah-rumah dan fasilitas publik di sana,” kata Ipong.
Ipong menambahkan, kebanyakan penduduknya berbahasa Hokian, dengan tradisi Tionghoa yang kuat. Para perupa Indonesia sungguh bersemangat. ”Dua pekan di sana, kami bersembilan menghabiskan empat rol kanvas, itu sama dengan menghabiskan 40 meter. Tiap perupa menyerahkan dua lukisan karyanya kepada panitia. Sebagian lukisan lainnya telah terjual, sebagian lainnya kami bawa pulang dan kini kami pamerkan,” ujar Ipong, yang antara lain menghadirkan lukisan ”Port Jety” (2016) dalam Pameran Jalan Dua Pekan yang berlangsung 19-25 Januari itu.
Perupa I Made Arya Palguna menikmati keterbukaan warga menyambut Pulau Ketam International Art Festival, hingga ”mewariskan” sebuah mural di salah satu rumah warga. Dalam pameran Jalan Dua Pekan, Palguna juga menghadirkan sebuah lukisan yang diselesaikannya sepulang dari Pulau Ketam gara-gara lukisannya di Pulau Ketam habis diborong pengunjung festival. Lukisan ”Big Catch Early This Year” (2017) yang digarap belakang itu melukiskan perburuan ikan nelayan Pulau Ketam. Palguna juga memamerkan sebuah video pendek, yang mengabadikan perjalanannya bersepeda di Pulau Ketam.
”Ada di atas rawa-rawa membuat Pulau Ketam tidak memiliki daratan yang luas untuk membangun studio atau galeri, misalnya. Studio kami, misalnya, satu ruang pertemuan di Kelenteng Hai Fa Li Chi Fu Huang Ye. Perupa negara lain bahkan melukis di sela-sela altar pemujaan, sementara warga beribadah. Semua begitu terbuka, dan festival seni tersebut menyatu dengan keseharian warga,” kata Palguna yang tidak bisa membawa oleh-oleh dari Pulau Ketam karena lukisannya ludes diborong di sana.
Hasilnya, para galeris dan perupa dari Kuala Lumpur berdatangan ke Pulau Ketam, melihat karya perupa dari banyak negara. Sebuah pulau lumpur seluas 22,9 kilometer persegi pun menjadi magnet baru, diserbu pula oleh para wisatawan yang melancong di Selangor.