logo Kompas.id
HiburanReifikasi Tanda Musikal...
Iklan

Reifikasi Tanda Musikal "Bagimu Negeri"

Oleh
AGUS BING
· 5 menit baca

Lazim diketahui, musik tak sekadar susunan teks melodi, harmoni, ritme, tempo, syair, dan sebagainya. Di balik musik, terdapat nilai kontekstual mewacanakan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, budaya, agama, maupun nilai politik. Karena itu, bila dalam sebuah musik muncul sesuatu yang unik, bahkan ganjil, bisa jadi hal ini merupakan siasat kreatif penciptanya untuk memengaruhi publik. Misalnya, melodi sengaja dibuat agak aneh, progresi chord menyimpang darigroove, atau syair sengaja dibuat lebay. Bagaimanapun setiap seniman punya gagasan kreatif, tak hanya dituangkan dalam bentuk melodi dan syair, tetapi juga dalam bentuk ide-ide filosofis. Di dalam musik kontemporer, misalnya. Segala sesuatu yang tidak lazim, baik bentuk notasi, pertunjukan, maupun suara musiknya, tidak serta-merta dapat dianggap ngawur, pekerjaan orang gila. Ide kreativitas semacam ini dilatari hasrat seniman yang ingin mengaktualisasikan bentuk musik yang berbeda dari biasanya. Di titik ini, ada korelasi dengan transformasi sejarah kebudayaan yang mengalami perubahan, termasuk cara membuat musik. Di dalam menciptakan musik perjuangan dan musik populer pun juga demikian. Lahirnya lagu-lagu perjuangan selalu dilatari hasrat penciptanya agar karya musiknya dapat membakar emosi rakyat, angkat senjata, merebut kemerdekaan. Maka wajar bila seluruh teks musikal, terutama syair, selalu disarati pesan- pesan moral bermakna ajakan bela negara dan cinta Tanah Air. Lahirnya sebuah musik tentu memiliki korelasi dengan ruang waktu. Walter Benjamin jauh hari sudah mewacanakan hal tersebut saat menanggapi kritik Theodore Adorno terhadap musik populer. Di dalam lagu populer, sekalipun musik dan syairnya sederhana, berorientasi pasar, tetapi tetap memiliki estetikanya sendiri. Dan hal ini tak dapat dilepaskan dari peradaban yang membentuknya: modernisme, kapitalisme. Oleh karena itu, cukup realistis bila syair lagu-lagu populer terkesan vulgar, mendayu-dayu, menghamba pada cinta, karena ideologinya berbasis budaya massa. Terkait fenomena ini, diperlukan pemahaman lebih jauh dalam melihat sebuah karya musik. Di baliknya tak hanya menawarkan nilai-nilai estetis kasatmata, tetapi juga yang tak kasatmata. Artinya, untuk memahami sebuah musik, sebaiknya tak hanya melihat surface structure, tetapi juga penting mempertimbangkan deep structure. Semiotika musikTafsir subyektif Taufik Ismail atas lagu "Bagimu Negeri" yang dianggap bertentangan dengan agama, penting dijadikan contoh. Taufik Ismail ketika menghadiri acara di Taman Lingkar Universitas Indonesia, 27 Januari 2017, menyebut "Bagimu Negeri" menyesatkan. Sekelas Taufik Ismail ternyata juga dapat meleset membaca dan menginterpretasikan teks musikal. Tindakan ini, besar kemungkinan tak terlepas dari ketidakmampuannya membuka labirin di balik syair yang diwujudkan lewat "kata-kata". Ironisnya, kata-kata adalah dunia yang sudah digeluti bertahun-tahun, tetapi praktiknya, justru ia gagal memahami kata-kata "Bagimu Negeri" karena yang dibaca hanya permukaannya. Makna yang tak kasatmata justru diabaikan, malah diganti konteks lain-jauh dari realitas. Seharusnya dalam memahami lagu "Bagimu Negeri" yang dibaca bukan sebatas obyek materialnya: susunan bunyi dan syair. Ide dan gagasan kontekstual yang menggambarkan nilai-nilai perjuangan bela negara juga penting dibaca agar ditemukan hubungan korelatif-teks dengan konteks. Bila hal ini dilakukan, kegaduhan tentu tak akan terjadi karena realitasnya lagu "Bagimu Negeri" bukan melawan agama. Hal ini bisa dilihat dari syairnya: "Padamu negeri kami berjanji / Padamu negeri kami berbakti / Padamu negeri kami mengabdi / Bagimu negeri, jiwa raga kami". Secara tekstual, tak ada satu kata pun menunjukkan ajakan berbuat musyrik, bidah, kecuali meningkatkan rasa kebangsaan. Secara semiologis, syair berikut melodi pengiring adalah bahasa. Sebagai bahasa, syair dan musik (bunyi) merupakan penanda (signifier). Sementara gambaran pikiran (konsep) yang bersifat abstrak adalah petanda (signified) yang menandakan bahwa dalam penanda, yakni musik dan syair, terdapat suatu tanda. Bila dikaitkan dengan "Bagimu Negeri", tanda tersebut adalah "nilai-nilai kebaikan", di dalamnya berisi ajakan setiap masyarakat penting memiliki semangat nasionalisme. Memahami tanda berisi "nilai-nilai kebaikan" seperti ini sebetulnya tidak sulit. Di dalam benak masyarakat sudah tertanam suatu konvensi: seluruh bentuk-bentuk kebudayaan (termasuk musik) selalu mengikuti fungsinya, sehingga bila membaca syair "Bagimu Negeri", otomatis pikiran akan mengaitkan dengan fungsi lagu tersebut, yakni untuk alat perjuangan. Sekalipun terdapat beberapa tanda yang merepresentasikan kebohongan dan kedustaan, misalnya, tanda palsu (pseudo sign), tanda dusta (false sign), dan tanda buatan (artificial sign), realitasnya juga ada "tanda asli" (proper sign) yang penting dijadikan dasar penilaian. Tanda asli adalah tanda yang tak direkayasa, kehadirannya mencitrakan keadaan sebenarnya. Melalui tanda asli inilah masyarakat tentu akan menilai bahwa syair "Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami" tak bermaksud memberhalakan negara, melupakan Tuhan. Namun, mengajak masyarakat mencintai bangsa dan negara sepenuh jiwa raga. Lagu sebagai alat perjuanganPada 1942, Kusbini menciptakan lagu "Bagimu Negeri". Lagu ini dibuat atas usul Bung Karno yang ingin memiliki lagu-lagu perjuangan, membangun nasionalisme. Dipakainya kata "Negeri" (bukan "Negara"), untuk menyiasati agar Jepang tidak curiga bila lagu ini bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lagu ini pertama kali dinyanyikan Ibu Sud melalui Hoso Kanri Kyoku, suatu badan pengawas radio yang dibentuk pemerintahan Jepang. Atas hal ini, se kali lagi, bila menafsir sebuah syair lagu saharusnya juga mengkaji latar sejarahnya: kapan, di mana, untuk apa lagu itu dibuat. Ibarat penanda tanpa petanda, maka sebuah syair tentu tidak memiliki makna apa-apa bila dilepaskan dari konteksnya.Selain "Bagimu Negeri", Indonesia memiliki berbagai lagu nasional yang syairnya juga disarati kata-kata pujian terhadap kejayaan bangsa dan keindahan alam Indonesia. Misalnya, "Garuda Pancasila" ciptaan Sudharnoto. Kata-kata "Sedia berkorban untukmu" bukan berarti mendudukkan Pancasila sebagai Tuhan: disembah, dimuliakan, sehingga setiap orang wajib berkorban untuknya. Secara kontekstual, lagu ini tidak beda dengan "Bagimu Negeri". Semata-mata ingin mengingatkan, dalam konstelasi bernegara, simbol negara ini sangat penting. Selain memiliki lima sila, juga memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, menggambarkan keragaman dan perbedaan, tetapi tetap bersatu juga. Demikian juga dengan lagu "Rayuan Pulau Kelapa". Kata-kata "yang kupuja sepanjang masa" tidak dapat diartikan men-Tuhan-kan keindahan alam Indonesia. Justru di balik lagu ini, terselip pesan mencerdaskan: tak seorang pun bisa mencipta lukisan alam yang penuh keajaiban kecuali Tuhan, Sang Pemilik Jagat ini.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000