logo Kompas.id
HiburanKonflik Masyarakat...
Iklan

Konflik Masyarakat Multikultural di Mata Sastrawan

Oleh
YUSRI FAJAR
· 5 menit baca

Masyarakat multikultural dengan pluralitas identitas dan etnisitas sering direpresentasikan dalam karya sastra. Narasi ketegangan dan kedamaian diartikulasikan oleh para sastrawan sebagai hasil pengamatan terhadap konstelasi dan dinamika manusia yang dipenuhi perpecahan di satu sisi, dan kebersamaan serta kerukunan di sisi lainnya. Konflik berlatar perbedaan etnik, agama, dan aliran kepercayaan, stratifikasi sosial dan kepentingan ekonomi yang menginspirasi dan menjadi pilihan tematik beberapa sastrawan menunjukkan kritik para sastrawan terhadap ketidakmampuan menerima perbedaan. Sementara kerukunan di tengah perbedaan dikisahkan sastrawan untuk merepresentasikan  harmoni sebagai dampak toleransi dan negosiasi antarbudaya yang bisa dengan baik dilakukan. Pada konteks ini, karya-karya sastra menjadi medium menyuarakan dan mengingatkan kebinekaan, menyemaikan arti toleransi, dan menjadi jembatan yang menghubungkan pemikiran serta sikap kritis sastrawan dengan publik.Berbagai alasan dalam mengangkat lanskap kontestasi perbedaan dan relasi mutual antarindividu dan kelompok  masyarakat dalam karya sastra bisa  didorong berbagai alasan, seperti ketertarikan atas peristiwa itu, upaya membangun kepedulian, motivasi memberikan pencerahan, kepentingan dokumentasi tekstual, dan dorongan mendiseminasikan situasi sosio-kultural Indonesia kepada pembaca lokal, nasional, dan internasional. Di tengah perbedaan-perbedaan dalam masyarakat, posisi sastrawan dipertanyakan. Sebagai bagian dari anggota masyarakat tertentu, sastrawan sering kali menyandang identitas dari habitat di mana ia tumbuh dan berkembang.Konflik kultural, kepercayaan, dan etnik Dalam kumpulan cerpen Anak-Anak Masa Lalu (2015), cerpenis Damhuri Muhammad menggambarkan perbedaan cara pandang anggota masyarakat yang di satu pihak ingin mempertahankan nilai-nilai tradisional, sementara di pihak lain ada kelompok yang bersikeras mendorong pembangunan berdasarkan nilai-nilai modern yang berakar pada budaya industri yang identik dengan komodifikasi materi dan komersialisasi, serta logika. Konflik budaya yang dipicu oleh perbedaan pendapat antara anggota masyarakat yang teguh dan terkesan kolot dengan tradisi dan mereka yang berpendidikan tinggi mencerminkan pergulatan tradisi dan modernisasi. Dalam relasi antaretnik yang lebih luas di tengah konstruksi multikuturalisme, yang bagi Parekh (2000) mencerminkan keragaman budaya di mana perbedaan menjadi entitas tak ternegasikan di dalamnya, sikap menghargai dan menerima perbedaan bisa hilang karena rasa superioritas dan primordialisme berlebihan. Representasi oposisi kultural dalam bangsa dengan etnik beragam (polyethnic nation) yang memunculkan konflik sosial, misalnya terlihat dalam novel karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Balai Pustaka, edisi 2014) yang telah difilmkan dan mendapat sambutan hangat dari publik. Kontestasi budaya dalam novel ini muncul karena perbedaan dua kelompok etnik, yaitu Minangkabau (Sumatera Barat) dan Bugis (Makassar). Zainuddin, sang tokoh utama, terlahir dari seorang ibu asli Bugis-Makassar dan ayah asli Minangkabau-Padang. Posisi Zainuddin yang hibrid menyebabkan dia memiliki dua identitas (double-identity). Ironisnya, Zainuddin dianggap tidak secara utuh bisa menyandang identitas Minang dan juga Bugis.  Baik Damhuri maupun Buya Hamka melalui karya mereka di atas sebenarnya tengah mengkritik primordialisme dan beberapa doktrin tradisional yang gagal mengakomodasi kesetaraan, pluralitas, dan cara pandang universal sehingga konflik terjadi. Meski demikian, keduanya juga secara obyektif tak serta-merta mendukung cara masyarakat modern mengonstruksi identitas mereka. Hamka menghadirkan potret ironi beberapa warga Minang yang melakukan mimikri tradisi penjajah Belanda, sementara Damhuri mengkritik tajam komersialisasi yang menegasikan nilai-nilai sakral yang masih relevan.  Novelis Okky Madasari dalam Maryam (2012) menyuarakan perbedaan berlatar perbedaan aliran dalam agama. Novel yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris ini tentu berpotensi membuka ruang keterbacaan luas di kalangan pencinta sastra. Okky mengangkat fenomena konflik penganut Ahmadiyah dengan kelompok yang sering kali menyebut diri mereka ahlussunnah wal jamaah. Isu toleransi dan keberagaman mendapat sorotan tajam dalam novel ini. Okky menggambarkan tindakan diskriminatif dan represif yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap penganut Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat. Pengusiran dan pemberian stereotip "sesat", "menyimpang" pada penganut Ahmadiyah, serta tindakan perusakan dan pembakaran dilakukan.  Secara implisit narasi besar yang dibangun  dan disuarakan dalam karya sastra ini adalah pentingnya toleransi yang menjunjung tinggi keberagaman. Masyarakat Nusa Tenggara Barat dan Indonesia perlu membaca fenomena yang terjadi dalam lingkungannya melalui novel Maryam, bukan untuk membuka luka lama dan memahatkan aib karena telah melukai keberagaman, tetapi untuk belajar agar kejadian sebagaimana tergambar dalam novel ini tak kembali terulang. Dalam pernyataannya sebagaimana dikutip oleh BBC Indonesia, Okky menegaskan, "Sejak awal saya percaya bahwa karya sastra itu seharusnya bisa menyuarakan persoalan-persoalan dalam masyarakat" (BBC Indonesia, 6 April 2015). Pergolakan, ketegangan, dan situasi tidak kondusif karena konflik berlatar kepercayaan dengan demikian menjadi perhatian Okky, meskipun ia juga percaya bahwa karya sastra yang memiliki semangat anti-diskriminasi tak serta-merta menghentikan tindakan diskriminatif tersebut.  Sementara perbedaan etnik yang memunculkan peristiwa tragis mendapat perhatian cerpenis asal Madura. Mahwi Air Tawar, dalam buku kumpulan cerpennya, Karapan Laut. Dalam salah satu cerpen yang ada di dalamnya, "Janji Laut",  Mahwi menarasikan keterusiran dan aleniasi anak manusia akibat konflik horizontal yang pernah melibatkan etnis Madura dan Dayak di Kalimantan. Konflik ini menyisakan luka dan trauma mendalam. Konflik yang tentu mestinya tak diharapkan meledak, karena kedua kelompok etnik ini telah lama hidup berdampingan. Dua tokoh berbeda asal muasal, yaitu Tarebung dari Madura dan Ne\' Tatri, telah membangun cinta melalui pernikahan mereka. Sepanjang dalam perjalanan mengungsi, sebagaimana diceritakan Mahwi, "Ne\' Tatri tak henti-hentinya mengutuk peristiwa babunuhan antara orang-orang tanah kelahirannya dan orang-orang tempat suaminya berasal" (Mahwi, 2014). Tatri sungguh tak menginginkan perbedaan budaya memicu tragedi. Melalui cerpen ini, khususnya melalui dua tokoh, yaitu Tarebung dan Ne\' Tatri, Mahwi menyuarakan harmoni dalam masyarakat plural dan menolak konflik horizontal. Representasi berbagai peristiwa dalam masyarakat multikultural yang kadang menyedihkan dan juga membahagiakan menunjukkan kepekaan dan kepedulian para sastrawan dalam menyuarakan keberagaman. Kepedulian sekaligus kegelisahan atas berbagai peristiwa tersebut mendorong sastrawan melakukan pengamatan sehingga karya-karya yang ia tulis memiliki dimensi sosial budaya. Karya sastra yang menunjukkan kepedulian atas fenomena perbedaan kultural menempatkan karya sastra tersebut berada di tengah dinamika yang terjadi, menjadi sumber bacaan dan inspirasi terbentuknya masyarakat multikultural yang harmonis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000