logo Kompas.id
HiburanMelukis dengan Kekuatan Hati
Iklan

Melukis dengan Kekuatan Hati

Oleh
· 5 menit baca

Pelukis Sidik Martowidjojo bertutur tentang inti karya-karya yang sedang dipamerkannya di Museum Nasional itu, sebagai relasi makrokosmos dan mikrokosmos, yakni jagat besar atau alam semesta dan jagat cilik atau manusianya. Kurator pameran Jim Supangkat merumuskannya sebagai kekuatan hati Sidik ketika menghadapi realitas membingungkan yang melumpuhkan pemikiran. "Ada makrokosmos dan mikrokosmos yang saling terhubung di dalam lukisan-lukisan itu," ujar Sidik, Selasa (7/3), di Jakarta.Sidik merupakan salah satu maestro pelukis Indonesia yang banyak mendapat perhatian dan penghargaan dari luar negeri. Sebut saja, ketika tahun 2013 justru berkat Pemerintah China, Sidik memperoleh kesempatan berpameran di Carrousel du Louvre, Perancis. Dilanjutkan Sidik ikut serta pada pameran serupa pada tahun 2014 di Perancis dengan memperoleh dua penghargaan, yaitu Painting Gold Price dan Medaille d\'Órc untuk sebuah lukisan berjudul "Tao".Sidik melukis dengan teknik chinese painting. Keunikannya adalah keberhasilannya memadukan teknik China-Barat dan China-Indonesia. Mediumnya cat air dan kertas. Lembar kertasnya cukup banyak yang berukuran besar. Sidik untuk kesekian kalinya menggelar pameran tunggal Ïlluminate di Museum Nasional, Jakarta, 2-20 Maret 2017. Pameran ini diprakarsai Kamar Dagang dan Industri Indonesia, dan mendapat sambutan banyak pejabat tinggi negara. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Pandjaitan dalam sambutannya menyampaikan, Sidik turut memberikan kontribusi besar untuk eksistensi seni lukis Indonesia di kancah internasional. "Saudara Sidik saya ketahui menorehkan prestasi luar biasa dengan memenangi medali emas Medaille dÓrc," ujar Luhut. Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf menyatakan, prestasi Sidik yang diakui dunia internasional itu makin membuka peluang pengembangan industri seni rupa ke arah yang lebih cerah. Di ruang pamer Museum Nasional, Ong Harry Wahyu selaku direktur artistik pameran menyajikan pajangan lukisan-lukisan Sidik yang langsung menatap para pengunjung. Lukisan-lukisan Sidik diserongkan menghadap jalur pengunjung. Lukisan-lukisan itu menjadi penyambut tamu dengan penuh gelora warna kehangatan paduan budaya China dan Indonesia.Sidik, warga peranakan Tionghoa, terlahir sebagai Ma Yongqiang di Malang, Jawa Timur. Ia mengalirkan lukisan abstrak alam khas China, tetapi banyak di antaranya abstrak China yang memiliki ciri figuratif, layaknya lukisan khas orang Indonesia yang terang-terangan dalam mewujudkan pemandangan alamnya. Lukisan Sidik berjudul "Senja Nan Indah" sangatlah kentara membentuk figur pepohonan dan langit jingga di saat senja. Lukisan "Tak Gentar" dengan abstrak langit terbelah petir, menunjukkan kapal-kapal nelayan terombang-ambing ombak besar. Di antara beberapa lukisan Sidik yang abstrak, tetapi memunculkan figuratif, memang ada di antaranya yang cukup personal dan tidak menguatkan unsur figurnya. Seperti lukisan berjudul "Pancaran", "Pesona", dan "Mengalir". Dari ketiganya, lukisan abstrak itu mengalirkan keindahan alam tidak begitu terasa. Begitu pula, figurnya tidak menguat untuk dicerna. Begitulah Sidik yang dinamis. Ia tidak terikat dengan estetika China klasik tentang abstrak yang berpedoman pada alam. Sidik tidak terikat pula dengan budaya Indonesia yang terang-terangan menggambarkan imajinasi atau alam rupa yang mudah ditangkap mata. Itulah hal-hal yang memudahkan untuk mengerti lukisan Sidik. Seperti diuraikan kurator Jim Supangkat bahwa Sidik percaya pada kekuatan hati ketika menghadapi realitas membingungkan yang melumpuhkan pemikiran. "Lukisan-lukisan Sidik bertumpu pada rasa," ujar Jim. Ungkapan "rasa" atau "roso" mengingatkan kita pada falsafah hidup orang Jawa. Itu wajar saja, ketika Sidik meraih falsafah "rasa" orang Jawa, karena hidup dan terlahir di Jawa. Sidik pun menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Museum pribadiBelum lama ini, di akhir 2016, Sidik meresmikan museum pribadinya di Yogyakarta. Lokasi persisnya berada di Ndalem Keraton Ngayogyakarta atau di lingkungan Istana Kerajaan Yogyakarta.Sidik memiliki riwayat perjalanan hidup cukup panjang. Namun, bakat melukis dan membuat kaligrafi kanji chinanya terasah sejak kecil. Ia sempat mengajar di sekolah dasar berbahasa China di kota kelahirannya pada 1963 hingga 1966. Di tahun 1966, sekolah itu dibubarkan pemerintah. Pada 1968, Sidik merantau ke Jakarta dan sempat bekerja di Bank Pembangunan Ekonomi. Sidik sempat pula berbisnis, hingga di tahun 1990 ia memboyong keluarganya berpindah ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, sambil menjalankan bisnisnya, Sidik tekun melukis. Sidik akrab bergaul dengan sesama pelukis di Yogyakarta, seperti Handrio, Widayat, Aming Prayitno, dan Subroto. Sidik memperoleh banyak pelajaran dari para pelukis, seperti dari Handrio, ia teringat pernyataan koleganya itu. "Jangan melukis menggunakan pikiran. Jauhkan dan kosongkan semua pikiran agar goresan sapuan lukisan tidak seperti garis susunan."Sidik menggenapi pelajaran melukisnya dengan pergi ke museum- museum seni rupa di Tiongkok pada tahun 1993. Alam yang sering menjadi inspirasi lukisan China disaksikannya, seperti Gunung Ome dan Ching Chen di Sichuan, Shangri-La, Dali di Yunnan, pegunungan dan sungai di Gue Lin, Yang Zhou di Guangxi, dan pegunungan besar Wui di Fujian. Alam menarik yang terbentang di Eropa juga menjadi perhatian dan lokasi kunjungan Sidik berikutnya. Di Perancis, Austria, Jerman, Romania, Ceko, Inggris, Spanyol, dan Italia. Ini termasuk gurun pasir dan pegunungan batu di Jazirah Arab.Dari situlah, Sidik membangun kekuatan hati. Ia pun lalu melukis dengan kekuatan hati, bukan pikiran. (NAWA TUNGGAL)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000