Pilih ”Tiyang” yang Tak Haus
Berlatar panggung akuarium ikan hias, Cok Sawitri berkata lantang, ”Tiyang (saya) siap berkampanye dan mencalonkan diri sebagai Gubernur Air Tahun 2017! Pilih tiyang calon yang tak haus.” Jreeeng...gamelan berbunyi dan Cok Sawitri melanjutkan aksinya dalam pementasan ”arja siki” atau pementasan monolog, Sabtu (18/3) malam, di ruang pentas Bentara Budaya Bali, Kabupaten Gianyar, Bali.
”Bayangkan...bayangkan.... Pulau Bali yang katanya mengagung-agungkan air menjadi tanpa air. Pariwisata...masyarakat... semua menyedot air tanpa peduli memelihara air. Bagaimana nasib anak dan cucu Bali di masa depan. Mereka kehausan tanpa air....,” kata Cok Sawitri dengan nada seperti merintih.
Selama 90 menit waktu berjalan, Cok Sawitri tak henti mengajak penonton untuk tetap menyatu dalam pementasannya meski berupa monolog. Selama itu pula ia membuat suasana ruangan laksana kampanye calon gubernur yang tengah melalui proses pemilihan kepala daerah. Kali ini, ia berperan sebagai calon gubernur air tahun 2017.
Sesekali ia berorasi dengan menembangkan pesan-pesan morilnya mengenai air. Bahkan, Cok Sawitri mengidungkan pesan airnya dengan bahasa inggris.
Perempuan dan air
Pementasan ini merupakan bagian dari kepedulian Cok Sawitri sebagai seniman terhadap Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret dan Hari Air Sedunia pada 22 Maret. Ia pun menyatukannya sebagai arja siki bertajuk ”Perayaan Perempuan dan Air: Kampanye Gubernur Air Tahun 2017”.
Dalam penampilannya, Cok Sawitri tetap menyelipkan lawakan-lawakan segar bagaimana tokoh-tokoh politik masih sibuk mencaci lawan-lawan politiknya, termasuk di Bali, yang menurut dia, tokoh-tokoh sibuk mengurus hal-hal yang tak penting dan tak menyentuh dengan kebutuhan masyarakat. Sibuk membuat patung, sibuk membuat album musik, sibuk menandatangani pembangunan hotel-hotel.
Nada sedih mengalun seiring alunan seruling, Cok Sawitri memberikan ilustrasi bagaimana jika para calon kepala daerah tak lagi perlu memasang baliho dan mengumbar program angan-angan. Ia mengusulkan bagaimana para tokoh politik itu mengganti pemasangan baliho dengan pembuatan sumur resapan dan penanaman pipa biopori. Baginya lebih berguna untuk kehidupan nyata mengatasi krisis air di Bali. Karena itu, ia mengajak memilih dirinya sebagai gubernur air yang tidak haus dalam artian politik, ujar sang monolog.
”Padahal, Bali ini tengah krisis aiiiiiiiiir.... Hujan itu air melimpah, tetapi ironis menjadikan bencana. Hujan yang mengguyur Kota Denpasar justru membuat puluhan ribu warga Denpasar tak ada air. Lebih dari tiga hari, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Denpasar matiang (mematikan) pasokan air bersih. Kudiang niki... (bagaimana ini)?” kata Cok Sawitri sedih, diiringi suara suling yang mendayu.
Uniknya, dalam pementasan itu, Cok Sawitri justru muncul dari belakang penonton secara tiba-tiba di tengah gelapnya lampu yang hanya menyala redup di panggung pementasan. Ia muncul berpakaian penari arja dan didampingi dua orang yang disebutnya sebagai ajudannya. ”Hai, perkenalkan saya calon gubernur air. Saya mau kampanye ya... Oh, terima kasih, ya, sudah datang di kampanye saya. Dari mana ini Pak... oh, jauh, ya, datang dari Buleleng... Ah, terima kasih...terima kasih...semuanya sudah mau menjadi sukarelawan saya di kampanye ini,” kata Cok Sawitri dengan sorot lampu di antara para penonton.
Otomatis penonton yang berbaur terhibur dengan kemunculan itu. Tak sedikit penonton tertawa dengan lontaran-lontaran kata-kata Cok Sawitri saat menyapa audiensnya.
Sebelum Cok Sawitri muncul, Kelompok Misra menghibur dengan tari ”Sesapi Ngundang Ujan”. Tarian ini merupakan simbol burung sesapi yang zaman dulu diyakini orang Bali sebagai burung pembawa pertanda akan turun hujan meski langit tengah tak mendung. Ini ditarikan tiga perempuan dengan koreografer Ida Ayu Arya Satyani.
Perayaan Perempuan dan Air ini adalah sebuah seruan kesadaran yang mencoba mengingatkan betapa mulianya air serta pentingnya bagi kehidupan. Di sela-sela monolognya, ia melontarkan lima pertanyaan terkait air untuk penonton.
Pertunjukan ini terselenggara atas gagasan Bali Angel Foundation, Forum Perempuan Mitra Kasih, Desa Eko Wisata Nyambu, Titik Temu. Sebagai produser acara IAA, produser teknis Cok Sawitri. Naskah ”Kampanye Gubernur Air” dan pemeran tunggal Cok Sawitri, musik oleh Sekehe Geguntangan ”Semut Production” dan sound serta tata lampu dari Gung Anom Antida Darsana.
Produser pertunjukan dari Bali Angel Foundation Viebeke Lengkong tak menyangka perbincangan suatu malam panjang dengan Cok Sawitri menghasilkan penampilan yang menakjubkan. Malam itu, ujar Viebeke, ia merasa hanya berdialog mengenai keprihatinannya dengan ketersediaan air Bali. Dan ia terkejut ketika Cok Sawitri hanya berkata curahan hatimu sudah selesai menjadi satu naskah pertunjukan yang siap dipentaskan.
Seusai pementasan, Viebeke berterima kasih kepada Cok Sawitri dengan karyanya yang menawan dan diharapkan mampu menggugah hati para penontonnya soal air. Monolognya, lanjutnya, begitu menawan untuk sebuah kritik sosial terhadap rendahnya kepedulian kepada air.
Cok Sawitri lega bisa menyumbangkan ajakan kepedulian air ini melalui pementasan ini. ”Seniman itu juga sebagai guru sehingga wajib hukumnya jika harus bisa kritis terhadap situasi sosial dan lingkungan masyarakat sekitarnya, termasuk kritis terhadap situasi politik. Dan ini kebanggaan mampu menghasilkannya melalui karya seni,” tutur Cok Sawitri.
Stop pembangunan yang tidak perlu.... Kembali ke pengelolaan subak... kembali ke Sang Semesta.... Elingaaan....elingaaan... (ingat... ingat...). Cok Sawitri pun melemah menari dan lunglai hingga tergeletak di atas panggung seiring surutnya air dan hilangnya ikan dalam akuarium sebagai latarnya menutup arja siki malam itu. (AYU SULISTYOWATI)