Sisi Kelam Mode
Ribuan potong baju bertumpuk dan dimampatkan sehingga menjadi bongkahan besar yang bisa diduduki seperti bangku panjang. Di antara ribuan potong itu dulunya mungkin berupa potongan baju yang pernah amat digandrungi dan dikagumi. Baju- baju dengan merek ternama yang membuat pemakainya merasa puas dan bangga karena telah mengikuti perkembangan tren terkini. Begitulah nasib-nasib baju itu kini, teronggok tak terpakai, menggunung, dan menjadi sampah memenuhi bumi jika tidak dimanfaatkan ulang.
Beberapa blok potongan baju itu ditempatkan di beberapa titik ajang pameran yang diselenggarakan Goethe Institut bekerja sama dengan Binus Northumbria School of Design dan Dia.lo.gue Artspace. Acara yang bertempat di Hall A4 Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta, ini masih berlangsung hingga 9 April. Pameran ini juga terangkai dengan ”Slow Fashion Lab dan Fringe Events”.
”Pameran ini mengajak pengunjung mendapat pemahaman global tentang dampak industri fast fashion sehingga dapat melihat secara kritis sisi kelam dunia mode dan perilaku konsumsi,” kata Claudia Banz, kurator pameran ini dari Museum fur Kunst und Gewerbe Hamburg.
Pameran ini dimulai dengan pajangan tiga baju dengan grafis tentang piramida Teori Maslow di bagian bawah. Bahwa kebutuhan aktualisasi diri porsinya paling kecil tetapi tertinggi dan paling terlihat dibandingkan kebutuhan dasar hidup. Begitu pula dengan baju, lebih sering orang membelinya karena ingin tampil untuk membuat kesan tertentu bukan karena butuh. Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan.
Menyajikan banyak diagram, grafis, dan narasi, pameran ini ditujukan bagi yang ingin serius menyelami sisi lain mode, terutama mode cepat atau fast fashion yang mulai marak sejak era 1990-an, yang menurut Claudia diperkenalkan oleh label Zara dari Spanyol lalu diikuti lainnya.
Untuk memperkuat pesan dan mendekatkan dengan realita, disajikan pula foto-foto dan video, selain contoh produk fashion dan kesempatan berinteraksi. Seperti mencari tahu label-label apa yang dipandang bertanggung jawab terhadap dampak buruk mode cepat, entah itu baju, celana jeans, kaus kaki, maupun yang lain.
Data dan fakta yang disajikan bisa dibilang sangat lengkap dan komprehensif, mulai dari perkebunan kapas yang menggunakan pestisida, peternakan domba atau kelinci penghasil bahan baku yang mengabaikan kesejahteraan binatang, hingga pewarna kimia yang mengancam lingkungan dan kesehatan manusia. Belum termasuk dampak terhadap nasib pekerja yang menjadi kaki tangan terwujudnya mode cepat ini.
Disebut mode cepat karena setiap dua pekan, setiap produsen, termasuk label high street fashion kenamaan, mengeluarkan model terbaru yang diadaptasi dari panggung pekan mode. Jika dulu, baju-baju dari panggung mode baru bisa terwujud enam bulan kemudian, tidak begitu dengan mode cepat. Segera setelah pekan mode berakhir, dimulailah pekerjaan di pabrik tekstil dan garmen. Dua minggu kemudian, baju-baju model terbaru telah membanjiri pasaran, termasuk di negara-negara tempat pabrik tekstil dan garmen pembuatnya berada, seperti di Indonesia. Ironisnya, dengan harga yang lebih tinggi dari negara asal label.
Upah rendah
Produk mode cepat dijual dengan harga sangat murah, terkadang tidak sampai 5 euro per potong dan ini mengusung label kenamaan, bukan sembarangan. Siapa yang menanggung biaya begitu murah ini? Tidak lain pekerja di dunia ketiga seperti terpapar dalam serial foto karya fotografer Taslima Akhter tentang tragedi runtuhnya Rana Plaza tahun 2013. Foto tentang keruntuhan gedung, korban yang harus kehilangan tangannya, demonstrasi, dan pekerja yang berpelukan di bawah reruntuhan dalam keadaan tewas.
Perempuan dan pria miskin ini terpaksa bekerja dengan upah sangat rendah. Beberapa membawa anak yang masih kecil turut bekerja sehingga ikut menjadi korban ketika gedung berlantai delapan di Dhaka, Banglades, itu runtuh.
Tidak kurang dari 1.100 pekerja tewas dalam peristiwa itu. Kebakaran hingga ambruknya pabrik garmen kerap terjadi di Banglades karena rendahnya kualitas struktur dan keamanan atas nama efisiensi pengeluaran. Pengusaha di sana mengorbankan aspek keamanan dan kesejahteraan demi merebut pesanan dari para label kenamaan dunia, yang kemudian tutup mata dan tutup mulut, tetapi hingga kini masih menjalankan praktik itu.
Ini tidak hanya terjadi di Banglades. Pameran ini mengungkapkan, di negara-negara mana saja, pabrik semacam ini tersebar, termasuk di Eropa Timur, dan pergerakannya menuju Afrika dengan sumber daya yang masih murah.
Selain menyajikan segala kata, data, dan fakta tentang mode cepat, di salah satu sudut tertulis Slow Fashion Lab yang dimaksudkan sebagai solusi untuk mengatasi mode cepat. Yang membahagiakan, laboratorium ini berakar pada tradisi tekstil Tanah Air dengan contoh-contoh karya yang dihasilkan desainer dalam negeri. Sebagai kurator adalah dosen dan seniman tekstil Aprina Murwanti.
Agaknya, ini untuk mendekatkan solusi dengan orang setempat. Batik, jumputan, serat alam non-kapas, tetumbuhan sebagai sumber pewarna alam, dan sampah yang dikreasikan ditampilkan di sini. Begitu pula teknik untuk berhemat energi dan air. Ini bisa jadi sumber inspirasi bagi mereka yang ingin menjalin komitmen terhadap lingkungan dan kemanusiaan.
Berbagai penelitian dan percobaan, baik oleh lembaga, seperti Balai Besar Tekstil, maupun individu, seperti Ridaka, telah menghasilkan kain tekstil dari serat alam non-kapas, seperti serat pohon pisang abaca, nanas, rami, ara, dan kelapa yang menghasilkan serat setara kulit sapi yang kuat tetapi lentur. Ada pula Nidiya Kusmaya yang bereksperimen dengan bakteri atau ekstrak biji kopi sebagai pewarna. Beberapa perancang yang berkomitmen dengan lingkungan juga turut dipamerkan karyanya, seperti Aguuste Soesastro
Pameran ini dilengkapi dengan kegiatan pendukung yang diselenggarakan baik di Gudang Sarinah, Dia.lo.gue Artspace, Museum Tekstil, maupun GoetheHaus setiap akhir pekan. Kegiatannya di antaranya, repair fair dan pesta pertukaran baju.
Agaknya pameran ini berupaya memberi kesadaran melalui hilir, yakni lewat konsumen sebagai pemegang keputusan membeli. Seperti kata Lucy Sigel—jurnalis yang juga produser film True Cost tentang mode cepat— dalam kunjungannya ke Jakarta tahun 2014, belilah baju (juga produk mode lain) ketika yakin itu akan dipakai setidaknya 30 kali. (SRI REJEKI)