Roman Legong Gaya Bedulu
Pementasan ini bagian dari pembuktian seniman-seniman Desa Bedulu masih setia merekonstruksi dan melestarikan tarian klasik legong sejak tahun 1980. Hingga saat ini, mereka yang juga keturunan langsung pendahulunya masih terus menyatukan potongan-potongan tari klasik lainya serta gending- gendingnya.
Seniman tari Bedulu, I Gusti Made Sudiarsa, menceritakan bagaimana keresahan seniman tua Bedulu yang khawatir tari klasik legong punah dan perlu adanya regenerasi. Ini yang memotivasi Sudiarsa pada tahun 1980 memulai mengumpulkan fakta dan cerita dari tokoh legong tua tersebut yang berasal dari Bedulu.
”Upaya revitalisasi ini tak mudah karena memerlukan energi lebih untuk menyatukan potongan-potongan dan memadukan dengan musiknya. Yang pasti, Legong Lasem ini hidup kembali pada tahun 80-an sampai sekarang,” kata Sudiarsa.
Setidaknya, Sudiarsa berupaya menginventarisasi penari Legong Bedulu mulai dari generasi pertama tahun 30-an, antara lain I Camplung, I Pukel, dan I Ciglek. Generasi kedua terdata I Gusti Putu Brenis, I Resi, dan I Lambon. Selanjutnya, generasi ketiga (1950-1955), I Gusti Putu Pratik, I Nyoman Losin, dan I Klaga. Generasi keempat, I Lemes, I Nyoman Pasti, dan I Gusti Ketut Kantun. Generasi kelima terdapat I Gusti Ayu Ketut Kartikawati, I Gusti Ayu Okaweli, dan I Gusti Putu Ngempot.
Ia merevitalisasi bersama sang kakak I Gusti Putu Sumarsana. Sumarsana pun merasakan hal sama seperti adiknya saat merekonstruksi gending-gending Legong. Bagaimana dirinya bertemu dengan Pekak (Kakek) Landung yang hanya menirukan suara dari mulutnya tanpa alat agar direkonstruksi Sumarsana. Ia pun menyusur hingga mencari rekaman ke Eropa dan mendapatkannya.
Serpihan gending
Kini, serpihan gending itu utuh dapat dimainkan seka (kelompok) miliknya dari tabuhan tari klasik legong hingga sejumlah tari klasik lainnya. Tak hanya pementasan, malam itu menjadi lengkap dengan penayangan film tari Legong Lasem pada tahun 1930-an yang tengah berlatih di jaba (halaman) tengah Pura Samuan Tiga, Gianyar, yang berdurasi 20 menit. Film dokumenter hitam putih ini merupakan Program Repatriasi Arsip Bali 1928 direkam Miguel Covarrubias pada tahun 1930-1934. Program ini merupakan gagasan Edward Herbs dan koordinator proyek oleh Marlowe Bandem. Pengadaannya diproduksi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bali bekerja sama dengan Arbiter Cultural Traditional dan lembaga-lembaga arsip budaya dunia.
Film dokumenter itu menampilkan bagaimana I Camplung dan I Ciglek menarikan Legong Lasem di jaba (halaman) tengah Pura Samuan Tiga. Terasa ada sesuatu magis dengan gerakan- gerakan ritmis tetapi bertenaga. Pada masa itu, sebagian besar penari adalah lelaki, yang berperan sebagai perempuan.
Camplung dan Ciglek berlatih menari tanpa baju di zaman itu dan hanya mengenakan kain sederhana. Namun, cara menari keduanya penuh penjiwaan. Melalui film dokumenter ini pula, seniman Bedulu mencoba merekonstruksi sebagai upaya revitalisasi.
Sudiarsa menjelaskan, film dokumenter itu sebenarnya lengkap hingga pementasan, hanya saja berdurasi lebih dari 30 menit. Dan pakaian yang dikenakan Camplung dan Ciglek masih terawat sampai kini. Pakaian yang dikenakan penari sewaktu pentas di Bentara Budaya Bali adalah pakaian dari generasi pertama itu. ”Ya, pakaian penari masih asli warisan angkatan pertama. Ada perbaikan saja sana-sini,” tuturnya.
Soal gaya, menurut Sumarsana, ia percaya penonton jeli. Penari Bedulu sekarang mengalami akulturasi dari gaya legong Saba atau Peliatan. Namun, gaya Badulu angkatan pertama tetap diupayakan mendominasi seluruh urutan tari legong.
Urutan pementasan adalah pepeson condong, pepeson legong, bapang durga, bapang gede, pengawak, pengecet, pengipuk, pangkat, garuda, dan pekaad. Cerita Lasem sendiri masuk di adegan pengecet. Roman Prabu Lasem mengejar sang putri di adegan pengipuk.
Sesi garuda merupakan sesi Lasem bertemu gagak yang menghalangi jalannya menuju Kerajaan Dhaha. Durasi aslinya 1 jam lebih 15 menit jika seluruh sesi lengkap tersaji. Karena keterbatasan waktu, Sudiarsa mengurangi pementasan menjadi sekitar satu jam.
”Legong Lasem bukan lagi menghadapi kepunahan, melainkan legong ini tengah menghadapi komersialisasi yang hampir memangkas seluruh sesi dan tidak taatnya penari dengan cara menari yang seperti angkatan pendahulunya,” kata Sudiarsa dengan sedih.
Penari gagak masuk. Tinggal seorang penari menutup Legong Lasem malam itu. Tepuk tangan penonton pun pernah memecah kekhidmatan seluruh tarian yang tersaji....