logo Kompas.id
HiburanPenanda Kebangsaan Versus...
Iklan

Penanda Kebangsaan Versus Politik Identitas

Oleh
Wayan Kun Adnyana
· 5 menit baca

Seminar nasional bertema Seni Rupa dan Desain: Penanda Sejarah Kebangsaan yang digelar Selasa (23/5) oleh Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar menarik dibaca ulang secara cermat. Tema yang diusung sangat relevan untuk membaca fenomena kini kala gambar, rekayasa foto, meme, desain komunikasi visual, rekaman video dan lain-lain justru turut terjerembab sebagai wahana sikap intoleran, juga ujaran kebencian di ruang publik. Padahal, di masa lalu, seni rupa dan desain menjadi bagian penting perintisan dan pergerakan kemerdekaan, dari era Budi Utomo, Sumpah Pemuda, hingga Proklamasi Kemerdekaan. Karya lukisan masa Persagi, seperti "Pengantin Revolusi" karya Hendra Gunawan, atau poster "Boeng Ajo Boeng" karya kolaborasi Affandi dengan penyair Chairil Anwar, atau "Kawan-kawan Revolusi" yang dilukis S Sudjojono, menegaskan bahwa karya artistik juga berpihak secara sadar atas terbangunnya negara bangsa Indonesia ini. Ihwal kebinekaan, toleransi, gotong royong, dan juga heroisme perjuangan rakyat menjadi pilihan tematik bersama. Karena itu, boleh menyitir sedikit pengantar hasil rekomendasi Forum Masyarakat Kesenian Nasional (17-19 Mei 2017 di Jakarta) bahwa benar kesenian Indonesia memang lahir dan tumbuh sebagai bagian dari sejarah kebangsaan. Seminar yang menghadirkan pembicara kunci, Prof Faruk HT (Guru Besar Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada), kemudian tiga pembicara utama, Dr Seno Gumira Ajidarma (budayawan, rektor Institut Kesenian Jakarta), Prof Gede Arya Sugiartha (guru besar seni dan budaya, rektor Institut Seni Indonesia Denpasar), dan Eddy Soetriyono (kurator independen seni rupa) ini, menjadi ruang penegasan bahwa bidang kesenian yang bernama seni rupa dan desain selalu dihadirkan dalam kontestasi sejarah kebangsaan.Nasionalisme latar depan dan belakangGagasan seniman memang kadang tidak benar-benar independen untuk mewakili imajinasi pribadi, tetapi memercayai jalan kesenian sebagai wahana kontestasi konsep sosial ideal. Seniman menjadi elemen sosial, bahkan sangat vital, terkait upaya propaganda, dan juga mediasi konsep-konsep tertentu. Inilah yang disebut Faruk sebagai ruang kontestasi, ruang "pertarungan" ideologi yang sesungguhnya. Dia mengawali dengan pertanyaan, manakah yang lebih nasionalis, karya Persagi atau karya-karya Mooi Indie? Bagaimana pula dengan karya Pita Maha di Bali? Ini tentu pertanyaan yang diperuntukkan kepada medan seni rupa Indonesia bahwa kerangka konseptual untuk membaca fenomena ketiga gelombang seni rupa itu sudah seharusnya dibongkar dan diperiksa lebih cermat. Karena presentasi visual nasionalis, sambung Faruk, kadang mencolok di latar depan, tetapi di saat lain hanya membayang samar di latar belakang.Membaca pernyataan Faruk ini seperti diajak secara sungguh-sungguh mengenali secara benar apa itu nasionalisme. Kalau nasionalisme itu diartikan sebagai tujuan konsensus bernegara, upaya mencerdaskan bangsa dalam segala pemikiran, tata metode, dan praksis pelaksanaannya adalah jalan nasionalisme itu sendiri. Jika demikian halnya, memandang karya-karya Gusti Nyoman Lempad di Bali, seperti seri lukisan "Men Brayut", yang hidup dan tumbuh dengan 18 anak, menurut banyak ahli bahwa angka 18 secara simbolis menunjuk pada jumlah aksara Bali/Jawa (a, n, c, r, k, d, t, s, w, l, m, g, b, ng, p, j, y, ny), dapat dimaknai Lempad sedang bertutur tentang konsep tata kelola keluarga sebagai manifestasi bekerjanya aksara. Ini sebentuk nasionalisme yang boleh jadi bukan sekadar menjadi latar depan atau belakang, melainkan luruh di sumsum cerita dan subyek gambar. Dengan demikian, kalau tetap berpendirian bahwa seni lukis Bali era 30-an adalah eksotisme selera kolonial, semestinya harus segera dikoreksi ulang. Pendeknya, perkara nasionalisme bukan semata hadir permukaan, karena itu soal karakter, demikian kalau disambung dengan paparan Arya Sugiartha dalam memahami peran institusi pendidikan tinggi seni hari ini. Karakter hadir melampaui hubungan karya dan pribadi seniman, itu soal pembuktian-pembuktian yang tidak pernah selesai. Hal itu selalu diuji sejarah yang panjang. Nasionalisme kebangsaan dalam seni mesti hadir sebagai pembuktian-pembuktian atas kesungguhan total laku kesenian, seperti halnya pemimpin yang senantiasa diuji untuk mampu tetap tegak dalam pilihan-pilihan genting.Seri "Men Brayut" karya Lempad menarik disandingkan dengan pemaparan Seno Gumira dalam menyoal komik, terutama sejarah seri komik wayang. Menurut dia, komik wayang muncul justru terandaikan mengatasi persoalan ideologi. Komik yang merujuk pada tradisi wayang orang ini, kemudian memunculkan genre komik wayang realis, manga, dan animasi. Hal yang menarik, "wayang" dalam konteks ini justru menjadi jawaban atas kontestasi perebutan kuasa atas makna "Indonesia". Sepertinya, tidak penting membaca gejala visual macam apa yang dimunculkan, yang lebih diutamakan adalah itu soal subyek wayang.Politik kuasa atas makna "Indonesia" atau identitas nasional dan semacamnya, sering kali intimidatif, dan kemudian memunculkan sengketa saling klaim atas siapa pemilik sah dari suatu karya budaya. Ini justru kontraproduktif. Kebudayaan dan juga kesenian sebagaimana sejarahnya, seperti yang diurai Eddy Soetriyono, berlangsung dalam kesadaran silang budaya. "Tradisi lukisan kaca Cirebon sebagai misal, itu menggabungkan motif mega mendung China, wayang yang Hindu, kaligrafi, buroq dan macan Ali dari dunia Islam," terang kurator seni rupa ini. Maka, yang dipentingkan dalam membaca penanda kebangsaan pada karya seni rupa dan desain, mesti menempatkan itu sebagai riwayat panjang terbangunnya bangsa oleh berbagai perilaku gotong royong antarras, etnisitas, konsep-konsep kemajemukan, dan juga pemikiran-pemikiran yang beragam. Yang menyatukannya kemudian adalah tujuan yang sama; terbebas dari kolonialisme, cerdas, sejahtera, dan berkeadilan. Seni rupa dan desain hari ini mesti berpihak pada tujuan kebangsaan ini.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000