logo Kompas.id
HiburanMenuju Puncak Tertinggi dalam ...
Iklan

Menuju Puncak Tertinggi dalam Suwung

Oleh
· 5 menit baca

Menginjak usia 78 tahun, seniman Jeihan Sukmantoro meretas jejak baru dalam hidupnya. Ia memasuki fase sufi, terus berkarya sembari mendekatkan diri kepada Tuhan di antara karut-marut negara ini.Kami hamba AllahBersama waktu telah lama berjalan melewati garis panjangMenuju satu Titik: Awal dan akhir menyatu kembaliSepenggal puisi dalam secarik kertas itu dibagikan kepada hadirin yang datang dalam pembukaan pameran lukisan Jeihan bertajuk "SUFI/SUWUNG" di Studio Seni Jeihan, Bandung, Jawa Barat, Kamis (1/6) sore. Digelar 2-20 Juni 2017, ada 31 lukisan Jeihan yang dipamerkan di sana. Dalam kesempatan yang sama, diluncurkan juga buku Jeihan: Maestro Ambang Nyata dan Maya yang ditulis Mikke Susanto.Dibuat sendiri oleh Jeihan, puisi itu berjudul "Suwung". Tak panjang, tetapi pesannya sarat kontemplasi. Jeihan seperti ingin mengajak siapa saja yang membacanya melihat hubungan mesra yang tengah ia bangun bersama Tuhan.Tak hanya lewat puisi, ajakannya juga tersaji lewat lukisan yang ia buat langsung di depan hadirin. Ia ditemani pelukis Tisna Sanjaya dan Nasirun saat menggoreskan cat dalam kanvas.Tak seperti ciri khasnya yang kerap melukis sosok bermata hitam, Jeihan menampilkan karya lain. Dia memenuhi kanvas berukuran 140 sentimeter x 140 sentimeter itu dengan cat akrilik hitam. Lukisannya terlihat seperti air hitam yang luntur.Jakob Sumardjo, budayawan sekaligus tetangga Jeihan di Padasuka, Bandung, mengatakan, belakangan lukisan Jeihan hanya berwarna polos dan seperti tak berbentuk. Hal itu berkaitan erat dengan semangat Jeihan mengejawantahkan konsep suwung dalam kanvasnya."Suwung artinya ada dalam ketiadaan. Mungkin bagi orang lain seperti tidak melihat ada sesuatu. Namun, sebetulnya ada, tetapi tidak kelihatan saja. Sesuatu yang sebetulnya ada dalam kondisi tidak ada," ujar Jakob, yang kerap dimintai pendapat oleh Jeihan seminggu sekali tentang perkembangan lukisan.Lukisan suwung yang baru saja ia buat itu tidak sendirian dipamerkan di sana. Banyak lukisan bertema senada. Tak serupa, tetapi punya pesan sama. Ada lukisan sedikit garis-garis berpola tetapi sekilas terlihat tak berbentuk."Sufi adalah usaha manusia mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika sudah demikian, rasanya suwung," ujar Jeihan.Jeihan mengatakan, dirinya sudah masuk tahapan baru dalam hidup dan karyanya. Saat ini, apa yang disebutnya mortalitas atau kematian menjadi dorongan utamanya terus hidup dan melukis.Jeihan mengatakan, dorongan itu tidak lepas dari kondisi tubuh yang tak setangguh dulu. Penyakit ginjal membuatnya harus cuci darah di Singapura setiap tiga bulan sekali. Ada juga trauma tulang yang menyodok otaknya sejak usia empat tahun. Trauma tulang itu semakin kerap mengganggu, membuat nyeri di kepalanya.Hal itu, kata Jeihan, berbeda dibandingkan saat ia masih berusia 40-50 tahun. Jeihan menyebut dorongan hidupnya saat itu adalah vitalitas atau kehidupan. Dia berkarya menghasilkan uang agar anak-anaknya bisa merampungkan sekolah dan membiayai kebutuhan lainnya. "Fase itu sekarang sudah berakhir. Ada hal lain yang harus ditempuh saat waktu terus berjalan. Sekarang giliran menabung persiapan untuk akhirat," ujar Jeihan.Namun, saat berenang dalam fase anyar ini, Jeihan tak lantas melupakan sejarah. Beragam lukisan mata hitam tetap ada dalam pameran itu. Seperti konsep suwung, Jeihan mengatakan, mata hitam bermakna tiada manusia yang tahu pasti jalan hidupnya."Mata melihat tetapi sebetulnya seperti tidak melihat. Manusia tidak tahu apa yang akan dialaminya," ujar Jeihan.KontemplasiLewat buku Jeihan: Maestro Ambang Nyata dan Maya, konsep hidup Jeihan juga ditabalkan Mikke Susanto. Mengerjakan buku itu sejak 2015, Mikke mengenal Jeihan sebagai pribadi yang kompleks dan kontemplatif. Sosok penuh keberagaman yang masih berdiri tegap di tengah bangsa yang sedang diuji dengan keruwetan ini.Jeihan, kata Mikke, lahir di Surakarta sebagai orang Jawa. Ia berdarah keturunan keraton sekaligus China. Beragama Islam, Jeihan juga hidup dalam kebudayaan Hindu-Buddha yang masih kental. Jeihan kecil juga tumbuh di lingkungan ritual kejawen. Beranjak dewasa, pendidikan ala Eropa diterimanya saat mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung.Di Bandung, Jeihan rajin menuangkan perjalanan hidupnya dengan kreatif sehingga menghasilkan banyak karya kompleks dan kontemplatif. Salah satu yang fenomenal adalah "Si Mata Hitam" yang melegenda itu."Pemilihan waktu pameran dan peluncuran tanggal 1 Juni atau saat Hari Pancasila juga bukan tanpa alasan. Ada kebinekaan dalam diri Jeihan yang bisa jadi inspirasi banyak orang," ujar Mikke.Lewat pameran dan peluncuran buku ini, Mikke juga mengatakan, Jeihan seperti ingin mengajak banyak orang masuk dalam proses suwung. Manusia, khususnya Indonesia, diajak menekan tombol pause untuk mendekatkan diri kepada Tuhan di tengah segala rutinitas dan hiruk-pikuk dinamika bangsa saat ini."Andaikan semua orang mau mendekatkan diri kepada Tuhan dan masuk wilayah sufi, maka negara ini tidak akan kacau seperti ini. Negara ini kacau karena ego dan konsep aku. Sufi hadir untuk menekan ego, menghayati pandangan lawan bicara, memahaminya, hingga berdamai dengan perbedaan," ujar Jeihan.Pesan kontemplasi dan saling menghargai yang diutarakannya bukan isapan jempol. Di tengah-tengah diskusi buku seusai buka puasa, suara muazin terdengar dari masjid tak jauh dari tempat acara. Mendengar itu, moderator diskusi spontan menghentikan acara itu sementara. Diskusi dimulai lagi setelah "pertemuan dengan Tuhan" rampung dilakukan.Di akhir acara, Jeihan kembali membacakan pesan penuh arti. Pendek tetapi penuh makna bagi yang mendengarkannya. Suaranya masih lantang meski usianya di ujung senja."Puncak gerak, diam. Puncak tahu, tidak tahu. Puncak hidup, mati. Saya sudah mulai mengerti. Saya sudah mulai belajar diam. Saya sudah mulai tidak tahu. Dan sudah siap mati. Insya Allah dalam puncak kehidupan ini, saya menuju ke suwung. Sekian." tutup Jeihan malam itu. (Benediktus Krisna Yogatama)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000