logo Kompas.id
HiburanNusantara dari Anjungan VOC
Iklan

Nusantara dari Anjungan VOC

Oleh
Aminudin TH Siregar
· 6 menit baca

Kita seakan berada di sebuah anjungan kapal, di dalam ruang navigasi ekspedisi abad ke-17 yang meraba-raba jalur laut menuju Asia mencari sumber rempah-rempah. Atau bayangkan kita adalah Jan Pieterszoon Coen-si tukang jagal yang semula hendak menamakan Batavia (sebutan untuk moyang orang Belanda) dengan nama Nieuw-Hoorn-mengangkat sauh bertolak ke Nusantara. Proyeksi rekaman ombak yang bergulung-gulung mengelilingi ruangan pameran. Suara deburannya terdengar samar-samar membangkitkan aroma laut yang khas dan ganas. Boleh juga membayangkan ekspedisi itu sembari menatap peta tua dari arah laut Jawa yang memperlihatkan horizon kota Jaccatra (Jakarta) yang kosong melompong dengan armada yang siap berlabuh. Hanya sebuah benteng berdiri kokoh dengan latar gunung kebiru-biruan, mungkin Gunung Gede-Pangrango atau Gunung Salak meski bentuknya tidak akurat benar. Sejumlah atlas wilayah tak bertuan (terra incognita) yang tersaji di beberapa titik turut membangun imaji tentang penaklukan dan superioritas Belanda terhadap dunia. Lalu tumpukan surat, log-book, panji tata tertib awak kapal, buku-buku tebal, globe, perkakas navigasi, denah dan miniatur kapal, engraving, keramik, potongan kain sutra, gambar, lukisan, dan beberapa manekin saudagar menemani kita di anjungan yang gelap itu. Pameran arsip dan dokumen Perserikatan Dagang Hindia Timur bertajuk The World of VOC dengan tag line No Business Without Battle ini digelar di ruang pamer Arsip Nasional Belanda, Den Haag, mulai 24 Februari 2017 hingga 7 Januari 2018 dengan poster provokatif menampilkan potongan lukisan JP Coen yang angkuh. Setengah tubuhnya dibalut jas layaknya pelaku bisnis modern. Sejak Februari, poster itu sudah terpampang hampir di setiap stasiun kota dan berhasil mengusik ingatan kita pada sejarah Tanah Air. Tentu saja, materi pameran ini menghadirkan hanya sebagian kecil dari koleksi Arsip Nasional Belanda yang konon menyimpan arsip sepanjang 1,2 kilometer jika dibeberkan atau sekitar 25 juta halaman informasi mengenai negara-negara di Asia dan Afrika. Atas jumlah koleksi yang gigantis ini, UNESCO pada 2003 menahbiskan arsip VOC sebagai Memory of the World. Arsip VOC tersebar di sejumlah negara, termasuk Arsip Nasional Republik Indonesia yang memiliki koleksi sepanjang 2.500 meter.Awalnya berdagangDidirikan pada 1602 dari penggabungan sejumlah perusahaan kecil, VOC yang pada masanya merepresentasikan kapitalisme global ini terbilang sukses dibandingkan dengan perserikatan dagang lainnya, sebutlah East Indies Company (EIC) yang berdiri dua tahun sebelumnya di London. Pada abad ke-17 saja, VOC mengirim 1.700 kapal ke Asia. Di abad berikutnya, sebanyak 3.000 kapal. Sepanjang 1602-1700, kapal-kapal itu telah mengangkut lebih dari 300.000 orang ke Asia. Jumlah manusia yang diangkut itu berlipat dalam tempo 100 tahun kemudian. Namun, sejarah bermula dari empat kapal yang mendekati pantai barat Sumatera pada 5 Juni 1596 dengan menelusuri jalur Portugis sebelumnya. Belasan hari kemudian, ekspedisi Cornelis de Houtman yang disebut-sebut sebagai orang yang berlagak paham navigasi ke Hindia itu akhirnya berlabuh di Banten setelah 14 bulan melaut. Kedatangan Belanda disambut orang Portugis yang telah datang puluhan tahun terlebih dahulu. Pada hari-hari berikutnya, bangsawan Banten naik ke geladak kapal Houtman menyusul serombongan pedagang lainnya. Geladak itu, sebagaimana dicatat seorang pelaut Belanda, berubah menjadi pasar yang riuh. Sejarah mencatat, sambutan Banten, yang semula bersukacita terhadap ekspedisi empat kapal itu, tiba-tiba bersitegang pada minggu-minggu berikutnya akibat perilaku kasar Houtman. Ekspedisi ini pun melanjutkan pelayarannya melalui pantai utara Jawa. Setelah singgah sebentar di Sunda Kelapa, mereka kemudian bertolak ke Surabaya, Madura, dan Bali. Ketika kembali ke Eropa, kapal itu hanya tersisa tiga buah. Beberapa awak kapal bahkan memutuskan untuk tidak kembali lagi. Kedatangan Houtman ketika itu membuat orang Portugis merasa perlu membangun persepsi buruk bahwa orang Belanda itu sebenarnya adalah "perompak". Hal ini dilakukan Portugis guna menghambat kelancaran dagangan Belanda lebih jauh. Tiga tahun kemudian, gelombang ekspedisi Belanda ke Hindia berlangsung dengan kelengkapan armada yang lebih kuat dibandingkan dengan Houtman. Kedatangan armada Belanda kali ini sukses menjalin niaga dan memberi keuntungan bagi raja-raja di Nusantara. Hanya Aceh dan Madura yang tidak seberapa antusias menerima kedatangan mereka. Ketika Houtman kembali pada 1599, perangainya yang brutal dan kasar membuatnya terbunuh di Aceh. Pada abad berikutnya, VOC tampil dengan gencar melanjutkan perniagaan ke Timur. Tak hanya kota-kota penting Nusantara, armada mereka mampir ke India, Jepang, China, Sri Lanka, Filipina hingga pantai utara Australia. Bukti itu bisa kita temukan di sejumlah titik dalam pameran The World of VOC ini. Transaksi budaya pun berlangsung sehingga menarik untuk disimak bagaimana kita diperlihatkan bukti tentang keramik Delft Blue yang masyhur itu dipengaruhi keramik China: No Delft Without China-sebagaimana tercetak di brosur pameran. Sepanjang abad ke-17, keramik China yang kaya dengan detail itu diekspor ke Belanda dan konon hanya orang kaya yang kemudian mampu membeli. Belanda baru menirunya pada 1620 ketika pasokan ke Eropa tersendat.Coen, si tukang jagalDi antara pembesar kompeni, JP Coen mungkin yang paling populer dan kontroversial dalam sejarah Belanda maupun Indonesia. Tekadnya untuk membangun imperium niaga di Asia dengan Batavia sebagai pusatnya menunjukkan ambisi monopolistik Coen. Meski kemudian Jawa, khususnya Batavia menjadi pusat dari imperium, VOC sebenarnya mengincar kepulauan Ambon, Maluku, dan Banda. Lokasi-lokasi itu telah dikenal menghasilkan cengkeh, pala, dan bunganya yang mahal. Visi yang jauh ke depan, imajinasi, dan kekejamannya yang barbar sangat membantu Coen mencapai ambisi tersebut sekalipun harus melalui peperangan. Dia, misalnya, membantai banyak penduduk Banda guna memastikan terciptanya monopoli perdagangan pala di sana. Kelakuan Coen ini tentu menuai kecaman di Belanda. Namun dalam arsip suratnya, ia dengan enteng membalas, "Jika saya tidak membantai penduduk Banda, mungkin VOC tidak akan ada." Coen juga mengejek para pengecamnya dengan mengatakan, "Kalau hati nurani Anda yang murni itu mendorong Anda sekali lagi mengeluh tentang kekejaman, Anda harus ingat bahwa: itu merupakan uang dari Kompeni (VOC) yang kemudian membangun kota-kota di Republik Belanda; itu juga adalah uang dari Kompeni yang membayar potret-potret wajah yang menghiasi rumah Anda dan balai kota. Itu karena buah pala yang membuat kita memperoleh kekayaan ini."Pada 2011, penduduk kota Hoorn mempersoalkan patung sang Gubernur Jenderal yang telah berdiri lebih dari 100 tahun. Di akhir abad ke-19, dia memang dipandang sebagai pahlawan nasional. Namun, genosida yang dilakukannya di Banda dinilai tidak pantas dikenang, tidak hanya bagi kota Hoorn, tetapi seluruh Belanda. "Dia adalah seorang penjahat!" Demikian kampanye masyarakat.Kisah tentang VOC sebenarnya mengerikan dan sarat akan kekejaman, kekerasan, dan represi. Dengan sadar pameran The World of VOC ini seperti mengantongi dilema itu. Sikap arif yang pantas dilakukan adalah bahwa warisan arsip dan dokumen mereka bagaimanapun merupakan bahan berlimpah bagi kita, sekurangnya, untuk menata kembali historiografi Nusantara yang komprehensif. Di luar itu, kendati menawarkan simulasi anjungan atau suguhan interaktif bagi pengunjung, pameran dengan kerumitan arsip maupun informasi berbahasa Belanda yang berjejalan di ruangan kecil itu bisa membuat kita tersesat mengurai ujung pangkal kisahnya.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000