Kaba dan Keberagaman
Saat musik mulai mengalun, sosok Motoi Sano (21), yang berperan sebagai anak perempuan yang baru terbangun dari tidur panjang sekitar 100 tahun, tiba-tiba muncul. Mengenakan pakaian balerina, dia menari. Gerakannya lincah dan dinamis saat menyusuri setiap sisi panggung yang remang.
Menari seorang diri, ekspresi kaget, kagum, dan sumringah bergantiganti di wajah Motoi. Sesekali dia bergeming, lantas memperhatikan dengan saksama segala sesuatu di hadapannya. Saat menemukan sesuatu yang baru, dia melompat atau berguling-guling kegirangan.
Itulah sepotong karya sutradara asal Jepang, Shinji Nakamura, di panggung Taman Budaya Sumatera Barat (Sumbar), Kamis (3/8) malam. Tarian itu merupakan aransemen ulang Shinji pada kisah klasik Sleeping Beauty dalam versi kontemporer berjudul The Strange Sleeping Beauty. Berbeda dengan cerita aslinya yang menampilkan sosok yang sendu, versi Shinji terasa penuh gairah.
Tarian berdurasi empat menit yang pernah meraih juara pertama kompetisi tari kontemporer di Yokohama dan Kobe pada 2015 itu merupakan salah satu yang ditampilkan pada Kaba Festival 4 yang berlangsung pada 2-5 Agustus 2017.
Kaba Festival adalah "pesta" yang diselenggarakan Galombang Minangkabau, forum seniman untuk berpikir kreatif. Cikal bakal festival ini muncul pada 1988 dengan nama Gelanggang Tari Sumatera. Pada tahun 2000-an, kegiatan ini berganti nama menjadi Padang Bagalanggang. Nama Kaba Festival sendiri mulai digunakan sejak 2014.
Tiga tahun terakhir, penyelenggaraan Kaba Festival dipusatkan di Ladang Tari Nan Jombang, Balai Baru, Padang. Tahun ini, Kaba Festival diboyong keluar "sarang" dan 13 pertunjukan ditampilkan di Taman Budaya Sumbar. Keputusan itu diambil atas keinginan untuk menggairahkan kembali Taman Budaya Sumbar yang beberapa tahun belakangan "hening" dan kehilangan marwah sebagai tempat seniman unjuk kebolehan.
Berbeda-beda
Pada Kaba Festival 4 yang menjadi penanda sepuluh tahun perjalanan tur dunia Nan Jombang Dance Company dan meninggalnya maestro Tarik Adok dan Piring Menti Menuik ini, kelompok-kelompok yang tampil berasal dari sejumlah wilayah. Tidak hanya dari Sumbar, tetapi juga dari luar Sumbar.
Kelompok dari Sumbar adalah Nan Jombang Dance Company, Ranah Performing Arts Company, Impessa Dance Company, Komunitas Seni Nan Tumpah, dan Asa Etnica. Sementara dari luar Sumbar ada Pusat Latihan Tari Laksemana (Riau) dan Lembaga Teater Selembayung (Riau). Selain itu, ada juga penampilan tunggal Rianto Dewandaru (Solo-Jepang) dan pada hari terakhir, Ery Mefri, pemimpin Nan Jombang Group, juga berkolaborasi dengan dua koregorafer ternama, yakni Martinus Miroto (Yogyakarta) dan Mugiyono Kasido (Solo).
Selain itu, Kaba Festival 4 juga diikuti tiga kelompok dari luar negeri, yakni Delphine Mei and Artist Dadadaiii (Taiwan), Gerard Mosterd (Belanda), dan Natural Dance Theater yang dipimpin Shinji Nakamura. Meski berasal dari berbagai tempat, kelompokkelompok itu sama-sama menyajikan pertunjukan kontemporer.
Pada Kamis malam itu, Natural Dance Theater menampilkan tiga judul karya. Selain The Strange Sleeping Beauty, mereka juga membawakan Continuation Declaration dan Jinsei Konna Monsa C\'est la vie. Ketiganya sama-sama memadukan balet kontemporer dan modern dance.
Continuation Declaration yang untuk pertama kali ditampilkan di depan penonton umum berdurasi 5 menit 50 detik. Tarian ini terinspirasi dari pengalaman pribadi sutradara sekaligus penarinya, Yamato, salah satu anggota Natural Dance Theater.
Continuation Declaration menggambarkan secara terbuka dan jujur dilema seorang ayah di Jepang. Karya yang dibawakan Yamato bersama rekannya, Ryo Sawamura, itu memperlihatkan bagaimana konflik batin ketika dihadapkan pada dua pilihan yang penting. Suara hati atau tanggung jawab.
Penggambaran kondisi itu amat jelas karena menggunakan dua penari langsung. Yamato berperan sebagai dirinya sendiri, sedangkan Ryo adalah "cermin" atau suara hati Yamato. Gerakan keduanya kadang serempak, kadang berbeda arah. Begitu juga dengan ekspresi masing-masing. Adakalanya Ryo mendominasi, kadang Yamato yang mengambil alih kendali. Setelah pergelutan panjang, di bagian akhir, dua pilihan itu akhirnya berdamai yang digambarkan dengan langkah keduanya ke satu arah yang sama.
Tidak jauh berbeda, Jinsei Konna yang disutradarai dan dibawakan Motoi dan Riyo juga menggambarkan kehidupan masyarakat modern Jepang di mana perempuan jauh lebih mendominasi. Dominasi itu terlihat dari gerakan-gerakan penari perempuan yang lebih tegas dan kuat dibandingkan dengan penari laki-laki. Meski perempuan mendominasi, Shinji tak lantas menggambarkan laki-laki Jepang sebagai sosok yang lemah. Gerakan penari laki-laki juga tetap bisa menyeimbangkan gerakan perempuan.
Sementara itu, sutradara Gerard Mosterd berusaha membangkitkan alam bawah sadar tentang proses pencarian tubuh Asia dan Eropa melalui karya audio visual abstrak Unfolding. Karya tersebut berupa video teater warna-warni berdurasi 20 menit yang memadukan cahaya, suara, video, teater fisik, dan animasi. Teater fisik dibawakan oleh Mohd Shafiq Bin MD Yussof asal Malaysia.
Gerard membebaskan penonton untuk membuat interpretasi sendiri tentang eksperimen yang pernah mengikuti Festival Musik Elektronik Belanda pada 2004. "Saya tidak ingin penontonnya berpikir, tetapi merasakan tiap bagian karyanya itu," kata Gerard.
Karya Gerard diawali saat penari yang bertelanjang dada bergerak bebas, lantas membentuk tubuhnya seperti katak. Gerakan itu mengikuti visual katak yang tiba-tiba muncul di layar. Lalu secara perlahan, seperti sebuah proses evolusi, gerakan itu menjadi bentuk utuh manusia lengkap dengan seluruh bagian tubuhnya mengikuti gambar yang ditampilkan.
Karakter Asia dalam karya Gerard tidak hanya dilihat dari gambar digunakan seperti katak, anak kecil, perempuan penari Jawa, tetapi juga bunyi-bunyian khas Indonesia serta gerakan sang penari yang penuh kontrol terhadap tubuh, kaki, tangan, dan jari-jarinya. Kelenturan itu amat berbeda dengan karakter Eropa yang digambarkan lewat gerakan tubuh dan lainnya yang serba cepat.
Kian dewasa
Pemimpin Nan Jombang Group Ery Mefri dan Direktur Kaba Festival 4 Angga Djamar menilai, perkembangan kelompok yang terlibat dalam Kaba Festival semakin bagus, baik Sumbar maupun luar Sumbar. Hal itu terlihat dari kedewasaan, warna, dan kekuatan karya-karya yang mereka tampilkan. Perkembangan itu lantas diperkuat dengan kehadiran peserta dari luar negeri.
Menurut keduanya, dari perkembangan itu, terlihat bahwa kelompok-kelompok yang ambil bagian terus menjalani proses kreatif yang tanpa kenal lelah dalam penciptaan karya seni. Berbekal itu, mereka tidak hanya mampu mengabarkan pada dunia tentang estetika dan etika Minangkabau, tetapi juga diharapkan pada akhirnya bisa mengarahkan pada situasi di mana tontonan menjadi sebuah tuntunan.