logo Kompas.id
HiburanSeni Baru di Pekanbaru
Iklan

Seni Baru di Pekanbaru

Oleh
Herry Dim
· 5 menit baca

Medio Juli 2017 terjadi sebuah peristiwa akbar dan bisa dikatakan untuk pertama kali seni serumpun yang diperkenalkan dengan nama seni media baru (new media) itu hadir dalam satu perhelatan, menampilkan karya-karya dari 28 seniman. Semula dan sesuai keberangkatan latar kesenimanan para kreatornya, seni media baru kerap hadir sebagai bagian dari perhelatan seni rupa, fotografi, seni video, seni instalasi, dan sebagainya. Perhelatan itu terangkum di dalam satu medan Pekan Seni Media 2017 dengan tema "Arus Balik Dimensi Teknologi dalam Seni", 9-14 Juli 2017, di Bandar Seni Raja Ali Haji, Pekanbaru, Riau. Memang demikianlah adanya, segenap konvensi seni (rupa, gambar, suara, tubuh, gerak, fotografi, rekam gambar hidup, multimedia, ruang dalam kategori seni instalasi), pun ilmu sosial yang terkait sejak moda riset hingga sosial-politik-religiositas, teknologi informatika, dan komunikasi hingga teknologi terapan dan eksperimental itu terkandung sebagai medium di dalam seni media baru. Namun, ajaibnya, seni media praktis tak dapat didefinisikan sebagai seni rupa, suara, tubuh, gerak, rekam gambar hidup, multimedia, dan ilmu-ilmu lainnya. Ia semakin tegas menjadi seni yang mandiri, seni "yang bukan itu semua" melainkan seni media baru. Meski demikian, semua konvensi itu bisa dijadikan kunci sekaligus pintu masuk untuk menikmati atau memahaminya. Seorang yang berlatar ilmu riset sosial, misalnya, bisa memberlakukan ilmunya sebagai kunci sekaligus pintu masuk untuk kemudian berada di dalam dan menyelami seni media. Jejak-jejak watak dan/atau konvensi yang pernah lahir sebelumnya memang masih bisa terlacak, terlihat, terdengar, dan teraba. Prinsip seni bunyi yang terkategorikan kepada musik elektro akustik dan musik elektronik yang pernah tumbuh di Indonesia pada 1980-an, misalnya, muncul kembali pada tampilan duet Julian Abraham dan Reza Afisina di pentas Anjung Seni Idrus Tintin saat penutupan. Demikian halnya prinsip "ruang" seperti halnya di dalam seni teater ataupun pola pendekatan baru terhadap ruang, seperti pada umumnya seni instalasi, dan kehadiran tubuh serta benda-benda, seperti halnya pada performance art, itu masih menjadi penanda pada tampilan seniman asal Bandung dan Medan ini.Impresi yang baru dan terbarukan oleh seni media baru, relatif, adalah keakraban hingga penggunaan segenap teknologi baru yang saling berkait antara digital, elektronika, dan mekanika. Teknologi pengulangan bunyi secara terus-menerus (looping), misalnya, dahulu kala hanya bisa dilakukan dengan cara membongkar dan memotong-sambungkan pita kaset. Ini antara lain pernah dilakukan Harry Roesli untuk pameran "Senirupa Ritus-Ritus Senirupa" (1986) sehingga untuk mendapatkan delapan pola bunyi yang berbeda-beda mesti diputar pada delapan buah alat putar kaset yang ditempatkan secara terpisah. Kini, perangkat lunak (software) untuk melakukan hal tersebut bertebar bahkan ada di genggaman tangan.Revolusi digital Tentu persoalannya bukan pada "dulu ada itu" dan "kini begini," tetapi diam-diam sesungguhnya telah terjadi perubahan besar pada peradaban umat manusia yang salah satu cikal bakal pendorongnya adalah perkembangan teknologi (digital) yang demikian pesat. Sepertinya sederhana dan sepele semisal hanya berupa perubahan cara komunikasi karena adanya telepon genggam dan bahkan kini sudah sampai pada zaman telepon cerdas. Namun, di balik itu sesungguhnya telah terjadi perubahan cara pandang, cara menyampaikan pesan, cara menarik kesimpulan serta muatan simpul-simpulnya. Nyaris semua pola kehidupan kita ini telah mengalami perubahan besar dan dalam tempo demikian singkat.Contohnya karya Ade Darmawan yang berjudul "Insya Allah" berupa representasi kata yang dijadikan judul, sebuah rehat dan sebuah "kitab" di atasnya. Mungkin di antara kita pun masih ada yang menangkap "Insya Allah" itu dalam arti leksikal atau berdasar pengertian kamus sehingga hanya ada makna tunggal, yaitu "semoga Allah berkenan". Namun, seperti dibuktikan Ade Darmawan melalui karyanya, manakala kata tersebut diterakan pada mesin pencari di jejaring internet; muncullah ribuan hingga mungkin jutaan "pemaknaan" sejak pemaknaan leksikal yang konvensional hingga simpul-simpul baru yang presentasinya tidak hanya berupa teks, tetapi bisa juga berbentuk grafis, foto, gabungan foto dan teks, hingga gambar hidup (video). Jika kita percaya bahwa "medium itu sendiri adalah pesan," seperti dicetuskan Marshall McLuhan pada 1960-an, maka "makna" itu tidak hanya berupa tekstual, tetapi cara penampilan atau rupa pun menambah bahkan bisa menggeser makna tekstual sebab efek mediumnya itulah yang lebih mengedepan. Lebih jauhnya lagi tentang kata, nada atau cara pengucapan, pola rupa hingga aspek lain semisal garis hubung antara komunikan-pesan yang dikomunikasikan-dan penerima pesan dalam setiap kondisi dan lingkungannya, seperti diteorikan di dalam langue dan parole oleh Saussure, itu bisa menghasilkan makna yang berlapis-lapis bahkan berbeda. Demikian halnya semua itu manakala dibaca dalam konteks semiotik.Revolusi digital itu mengalir, menggelombang, bahkan menghajar konvensi-konvensi lama hingga menjadi sama sekali baru. Isi  suatu pesan bisa itu-itu juga, tetapi dengan cara "gaul" baru serta perangkat yang serba baru, maka daya jangkau, daya bisik hingga daya gedor, serta impak-impaknya itu amat berlainan jika dibandingkan dengan zaman pradigital. Contohnya peradaban baru yang disebut tagar (#), itu mengalir, menggelombang, bahkan menggedor di media-media sosial, muatannya pun bisa dari gurau hingga masalah-masalah yang sangat serius. Dampaknya pun bisa sejak cekikikan sendiri di kamar hingga menggerakkan massa yang jumlahnya hingga jutaan orang.Moda-moda semacam itu pula yang antara lain "dimainkan" di dalam kerja kreatif seni media (baru).Berbasis riset Setelah atau bahkan saat masih berkeliling melihat karya-karya yang terpajang di Gedung Dewan Kesenian Riau di pelataran Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji, tampilan di Anjung Seni Idrus Tintin, serta dengan membaca bio-kreatif tiap-tiap karya yang ditampilkan; muncul kesan umum bahwa karya-karya seni media ini amat kuat berbasis kepada riset bahkan ada pula yang menampilkan gambaran kerja serta buah dari risetnya itu sendiri.Sebut misalnya "Manusia Asap" karya Heri Budiman. Karya yang beranjak pada kasus lokal kebakaran hutan di Riau yang ternyata menjadi persoalan nasional dan bahkan internasional itu bukan sekadar tampilan estetisisme patung "manusia asap" yang kemudian direkam video secara estetis pula, melainkan terbaca sekaligus terlihat lewat arsip-arsipnya yang juga dipajang, bahwa karya ini melewati sejumlah riset, pengumpulan data sejak 1997, dan dokumen tagar #melawanasap sejak 2014 yang sanggup menggerakkan massa hingga mengubah kebijakan-kebijakan setempat bahkan berpengaruh terhadap kebijakan nasional di dalam mengatasi persoalan kebakaran hutan.Tak terbahas satu demi satu, tetapi perlu disampaikan secara umumnya saja bahwa peristiwa Pekan Seni Media 2017 ini sungguh mengesankan dan membukakan mata terhadap fenomena seni baru, maka respek kepada Hafiz Rancajale selaku kurator yang bertrio dengan Andang Kelana dan Mahardika Yudha. Tabik.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000