Musik Jazz: Dari Ubud, Bromo, sampai Prambanan
Perhelatan musik jazz melanglang dari keindahan alam di Ubud, Bali, melintasi pepohonan dan kabut dingin di kawasan Gunung Bromo, hingga menyapa kemegahan Candi Prambanan di Sleman, Yogyakarta. Di tengah lautan manusia dan kemegahan bentang alam, musik mewujud sebagai bahasa universal, meluluhkan seluruh sekat dan perbedaan.
Sejak Jumat (18/8) hingga Minggu (20/8), kawasan Candi Prambanan, di Sleman, Yogyakarta, sesak oleh ribuan penonton. Tua muda, laki-laki perempuan, berbondongbondong menyaksikan perhelatan Indihome Prambanan Jazz Festival 2017 yang digelar Rajawali Indonesia Communication.
Ini adalah perhelatan Prambanan Jazz Festival yang ketiga digelar selama tiga hari sejak siang hingga tengah malam. Dua tahun sebelumnya, Prambanan Jazz Festival hanya digelar masing-masing satu dan dua hari.
Pada hari pertama, penonton dihibur para penampil yang ratarata band-band era 90-an. Emerald, T-Five, Lingua, /RIF, Shaggydog, Base Jam, Ada Band, The Groove, Katon Bagaskara, hingga Andre Hehanusa. Di panggung special show, tampil Shakatak, band jazz legendaris asal Inggris, dan Shane Filan, personel Westlife yang kini bersolo karier.
"Festival ini merupakan media untuk memperkenalkan Candi Prambanan sebagai warisan budaya Indonesia kepada dunia internasional sekaligus menjadi alternatif tujuan konser musik yang menampilkan kearifan budaya lokal ke pentas global," ujar CEO Rajawali Indonesia Communication Anas Syahrul Alimi.
Tak hanya musik dan budaya, Prambanan Jazz Festival juga menghadirkan suguhan seni yang melibatkan perupa Dipo Andy. Dipo merespons Sarah Brightman dalam karya seni rupa kontemporer yang ditampilkan di lokasi Prambanan Jazz Festival. Ada juga Pasar Kangen yang menghadirkan berbagai jenis makanan dan produk khas Yogyakarta. Ambience Yogyakarta terasa kental di tengah perhelatan Prambanan Jazz Festival.
Kemarin, di antara riuh irama musik yang mengentak dan memicu ingatan pada masa kejayaan lagu-lagu era 90-an, Candi Prambanan yang agung tegak bergeming. Dalam diam, Prambanan seolah menjadi saksi bagi setiap detik berharga yang tercipta di panggung Prambanan Jazz Festival sejak matahari masih tegak di atas kepala hingga tenggelam ke peraduan.
Pada malam hari, tata lampu yang membias dari atas panggung menambah magis kemegahan Candi Prambanan. Para penampil, khususnya yang dari luar negeri, selalu memuji keindahan Candi Prambanan yang menjadi latar belakang panggung. "Sungguh apa yang Anda miliki ini (Candi Prambanan) sangat indah dan mengagumkan. Rasanya saya ingin tinggal di sini," ujar Shane.
Penonton pun tampak menikmati suasana. Saat The Groove tampil di panggung, penonton yang mayoritas berusia dewasa hingga tengah baya larut dalam entakan lagu-lagu yang mereka akrabi di masa nyaris 20 tahun lalu. "Hanya Karena Cinta", "Satu Mimpiku", hingga "Dahulu", sukses membuat penonton bergoyang, bergerak mengikuti instruksi Rieka dan Reza dari atas panggung. Semua melebur dalam iringan musik.
"Sekali-sekali melepaskan ketegangan. Kebetulan saya kenal lagu-lagunya. Ya, sudah, goyang aja," lontar Andi (45) yang sejak The Groove muncul di atas panggung tak pernah berhenti menggerakkan badan. Di sebelahnya ada temannya yang juga penuh semangat bergoyang tanpa henti hingga lagu terakhir selesai dinyanyikan.
Keduanya menghilang ke belakang dengan wajah berseri-seri dan tubuh penuh keringat begitu The Groove turun dari panggung. Pemandangan serupa juga terjadi kala Ada Band, Shakatak, dan Shane Filan tampil di panggung hingga menjelang dini hari.
Pada hari kedua, sejumlah penampil kembali meramaikan panggung Indihome Prambanan Jazz Festival 2017. Yura Yunita, Rio Febrian, Marcell, Naif, Tulus, dan Afgan, dengan penampilan istimewa dari Sarah Brightman yang tampil dengan iringan orkestra. Sementara pada hari Minggu ini ada Payung Teduh, Stars & Rabbit, Syaharani, Yovie & Nuno, Kahitna, dan penampilan khusus Raisa x Isyana dan Kla Project. Hingga hari ketiga, diprediksi penonton membeludak hingga 30.000 orang.
Kabut tipis
Pada hari yang sama dengan dimulainya perhelatan Indihome Prambanan Jazz Festival, di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur ,juga digelar Jazz Gunung Bromo. Tahun ini adalah perhelatan ke-9.
Mengusung tema "Merdekanya Jazz Meneguhkan Indonesia", Jazz Gunung Bromo menghadirkan sejumlah musisi, seperti Surabaya All Stars, Paul McCandless, Monita Tahalea, Dewa Budjana, Maliq & D\'essentials, Glenn Fredly, Indra Lesmana Keytar Trio, Idang Rasjidi yang berduet dengan Soimah, Sri Hanuraga Trio feat Dira Sugandi, dan Seni Sono Ensemble.
Para musisi tampil di ampiteater terbuka Jiwa Jawa Resort, Bromo, yang berselimut kabut tipis, disaksikan ribuan penonton. Membuka hari pertama adalah Surabaya All Stars. Grup yang dibentuk tahun 2007 ini menyuguhkan "Shaker Song", "Soul the Capitalize", serta "The Look of Love" dan "Chick to Chick" yang berirama swing.
Di pengujung senja, tampil Paul McCandless yang berkolaborasi dengan grup Charged Particles. Ada juga Monita Tahalea, Dewa Budjana, Maliq & D\'Essentials, dan Sono Seni Ensemble .
"Kami tak mau mengklaim ini jazz atau bukan, tetapi kami coba beri bahasa musik baru dalam keroncong. Barangkali tidak ditemukan dalam keroncong-keroncong yang selama ini kita dengar dan kita akan memperoleh warna berbeda dengan bahasa musikal baru," ujar Joko S Gombloh, Direktur Artistik Sono Seni Ensemble.
Di luar pertunjukan, yang menjadi ciri khas Jazz Gunung Bromo adalah perpaduan unsur musik dan lingkungan. Harmoni ini kembali diwujudkan melalui kegiatan bersih-bersih sampah, Sabtu pagi di kawasan Bromo. Monita Tahalea, Duta Sahabat Bromo, turun dalam kegiatan itu bersama komunitas Sahabat Bromo. Tahun ini, Jazz Gunung Bromo juga memberikan penghargaan kepada almarhum Jack Lesmana.
"Butuh perjuangan sampai jungkir balik untuk bisa mencapai saat ini. Perjuangannya luar biasa dari awalnya hanya ditonton 300 orang sampai sekarang ditonton ribuan orang," kata Djaduk.
Menurut Djaduk, menggelar festival di tengah kondisi bangsa yang menghadapi persoalan ekonomi adalah sebuah kemewahan. Jazz Gunung Bromo, ujarnya, merupakan kemewahan. Bukan kemewahan dari sisi ekonomi, melainkan semangat berkebudayaan. Semangat berkebudayaan itu yang menyebabkan seni pertunjukan yang mahal bisa terlaksana karena dukungan seniman yang punya visi sama.
"Semangatnya bukan saja industrial, melainkan juga kultural. Ini hendaknya diposisikan sebagai produk kultural yang mewarnai kesenian kita," kata Butet Kartaredjasa yang juga penggagas Jazz Gunung Bromo.
Intim dan sarat dialog
Suasana yang intim, sarat dialog, dan lekat dengan suasana yang menyenangkan juga terlihat dalam perhelatan Ubud Village Jazz Festival (UVJF) di Museum Arma Ubud, Bali, 11-12 Agustus lalu. Tahun ini, UVJF mengusung tema "Beautiful Music for Beautiful Minds".
Sebagaimana Indihome Prambanan Jazz Festival dan Jazz Gunung Bromo, UVJF yang telah digelar sejak 2015 pun tak pernah sepi penonton. Tahun ini angkanya mencapai 4.000-an orang.
Tepuk tangan mereka mewarnai penampilan para musisi tatkala mereka tampil. Penonton dan penampil saling membaur. Panggung tidak lagi menjadi sekat bagi pemain dan penonton.
Bonny Man (56), pianis jazz asal Jakarta yang tinggal di Bali, tampil sebagai pembuka di hari kedua bersama Bonny Trionya. Musik yang dibawakan merupakan aliran jazz tradisional dengan dominasi permainan piano, bas, dan drum.
"Kebanggaanlah manggung di UVJF. UVJF ini menyajikan jazz yang benar-benar jazz," kata Bonny. Nesia Ardi (24), penyanyi asal Jakarta, turun dari panggung dan menyapa penonton sambil bernyanyi dan berimprovisasi saat tampil bersama musisi Yuri Mahatma (gitar) dan musisi lainnya di panggung Padi. Penonton berbaur, baik yang duduk di kursi ataupun lesehan di atas tikar anyaman bambu menikmati suasana. "Spesial sekali terpilih tampil di UVJF. UVJF mampu menampilkan jazz dalam suasana persaudaraan," ujar Nesia.
Penggagas UVJF, Yuri Mahatma dan AA Anom Wijaya Darsana, berupaya mempertahankan agar jazz yang disajikan di UVJF merupakan sebenar-benarnya jazz. Karena itu, Museum Arma sebagai latar dan panggungnya menjadi ciri perdesaan Ubud yang menjadi daya tarik menikmati jazz sejati di alam asri.
Tahun ini UVJF mengundang pianis penerima dan unggulan Grammy Awards asal Amerika Serikat, Gerald Clyton. Selain Gerald, UVJF juga menghadirkan pianis Stave Barry (Australia), vokalis Maaike Den Dunnen (Belanda), terpmpet Benny Brown (Jerman), bas Joe Sanders (Amerika Serikat), saksofon Samy Thiebault (Perancis), drum Gregory Hutchinson (Amerika Serikat), gitaris Balawan, dan beberapa musisi Indonesia.
Keragaman dan kebersamaan yang ditawarkan di UVJF tak hanya panggung musik, tetapi juga makanan dan minuman yang melengkapi suasana sore hingga malam. Di bawah naungan langit Ubud dan suasana malam perdesaan, permainan lampu menyemarakkan jazz, melengkapi warna Museum Arma.
(Defri Werdiono/Ayu Sulistyowati)