Air Menetes di Batu Tradisi
Balawan ibarat tumbuh di atas batu tradisi. Gemuruh industri pariwisata membuat kebudayaan Bali bergerak dalam kondisi paradoksal. Perangkat regulasi, seperti pariwisata budaya, menjebak kebudayaan berhenti sebagai artefak arkeologis. Sementara arus perubahan terus-menerus menuntut pemecahan dan penyikapan agar mesin kebudayaan bergerak maju.
Sepulang memperdalam musik jazz di Australian Institute of Music, Sydney, Australia, pada 1997, anak Bali bernama panjang I Wayan Balawan ini didera kegamangan. Sebagai ahli waris musik jazz yang tumbuh di Barat, ia terlihat aneh pada lingkungan yang sepenuhnya mengukuhi tradisi. Setelah mendirikan kelompok jazz di Australia, lalu mengikuti festival jazz di sejumlah negara, perlahan tumbuh kesadaran bahwa keunikan selalu menjadi identitas musik jazz. Ia melihat gamelan sebagai inspirasi, bukan semata menempelkannya pada musik kontemporer. Gamelan harus diperlakukan sebagai akar, suguhan utama, yang kemudian membentuk komposisi-komposisi musik kontemporer.
Bagaimana Anda mencapai kesadaran itu?
Saya umpamakan diri sebagai air yang menetes di batu tradisi. Meski berkarakter lembut dan cair, suatu waktu ia bisa melubangi batu lalu menjadi bagian di dalamnya. Tradisi itu seperti itu, puncak pencapaian kesenian atau kebudayaan pada masa lampau. Apalagi di daerah seperti Bali, tempat tradisi dianggap seksi, lalu jadi komoditas, wataknya jadi kuat karena dibutuhkan oleh industri lalu dipelihara.
Anda mengibaratkan diri sebagai air, maksudnya?
Kira-kira begitu. Ini, kan, perumpamaan saja. Kekerasan batu suatu kali ditembus oleh kesabaran air. Artinya, saya harus masuk ke dalam tradisi untuk memahaminya. Setelah paham, saya mengikutinya dan menciptakan komposisi berdasarkan bahasa kontemporer. Jadi, gitar harus mengikuti gamelan, jangan dibalik seperti dulu.
Karena itu Anda menggunakan teknik tapping dalam memainkan gitar?
Saya menguasai dua teknik sekaligus, touching dan tapping (menyentuh dan mengait). Oleh sebab itu, saya merancang gitar double neck, gitar berleher ganda, yang berisi 13 senar. Gitar dua leher ini sekaligus memainkan kord, melodi, dan bas.. Jadi, harusnya itu dimainkan tiga orang.
Balawan menyebut nama gitar rancangannya Stephallen Balawan. Gitar ini memiliki beberapa seri dan dibuat oleh Julius Salaka dari Sidoarjo, Jawa Timur. Teknik touching dan tapping, kata Balawan, memungkinkan ia mengejar kecepatan permainan gamelan. Dengan teknik ini kedua tangan Balawan secara aktif menyentuh dan mengait tali-tali gitar sebagaimana dalam permainan piano. Tak jarang tangan kanan dan kiri bersilangan di dua leher gitar. Untuk mengakomodasi sentuhan dan kaitan tangan itu, Balawan memasang sejenis mikrofon di pangkal senar. Teknik tapping tanpa sepengetahuan Balawan sebenarnya juga dimainkan oleh Stenley Jordan, gitaris asal Amerika Serikat.
"Namun, sewaktu saya main tapping, belum tahu nama Stenley Jordan. Cuma dia menggunakan gitar leher tunggal," ujar Balawan, pertengahan Juli 2017, di Denpasar. Waktu itu, Balawan dan anggota Batuan Ethnic Fusion (BEF) serta beberapa siswa Balawan Music Training Center (BMTC) Denpasar sedang berlatih gamelan.
"Saya sedang menggarap proyek orkestra gamelan. Jadi, komposisi saya buat berdasarkan gitar lalu dimainkan lagi oleh gamelan," kata Balawan. Secara bercanda, lelaki kelahiran 9 September 1973 ini kemudian berkata, "Ini tetangga sebelah sedang bangun rumah, apa nanti mereka terganggu, ya, dengan suara gamelan," ujarnya. Beberapa anggota BEF malah bertanya, "Lebih dulu mana sekolah musik apa rumahnya?" Tentu rumah ini, kata Balawan sigap.
Mengapa di sekolah yang Anda bangun diajarkan pula gamelan, bukan hanya gitar?
Itulah sebabnya tidak diberi nama sekolah gitar Balawan, misalnya. Saya menyebutnya Balawan Music Training Center karena yang diajarkan di sini termasuk musik tradisi, seperti gamelan. Anak-anak muda kota perlu kenal gamelan secara teknis.
Ada berapa banyak murid di BMTC?
Sebenarnya 700 orang, tetapi yang aktif sekitar 400 orang.
Apa semua mereka bercita-cita seperti Anda, jadi gitaris?
Tentu tidak. Namun, semua bermain musik, kontemporer dan tradisi. Hanya beberapa anak yang sudah mewarisi permainan gitar dengan teknik tapping, salah satunya Melyananda. Dia nanti ikut main dalam Laskar Bayaran di Jakarta. Melya bermain gitar double neck seperti saya.
Balawan bersama BEF turut mendukung pementasan lakon komedi Laskar Bayaran, 25-26 Agustus 2017, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Lakon ini merupakan seri ke-25 Indonesia Kita yang diprakarsai Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto. Pentas yang juga mengusung komedian Cak Lontong dan dalang wayang listrik I Made Sidia ini disutradarai Agus Noor.
Kelihatannya Anda juga menikmati berakting di panggung? Setidaknya sudah dua kali ini Anda ikut proyek pertunjukan Indonesia Kita?
Ha-ha-ha... di antara para musisi, saya selalu dijuluki pelawak. Kebetulan sejak dulu juga menyukai akting spontan. Ini tidak sekadar selingan karena saya juga diserahi menggarap musiknya oleh Agus Noor.
Baik. Kalau soal proyek orkestra gamelan itu, apa proyeksi Anda ke depan?
Perangkat gamelan ini sebenarnya hasil royalti yang saya dapat dari Hard Rock Bali. Gitar double neck saya dijadikan ikon oleh mereka. Saya harus tunjukkan ke mereka bahwa perangkat gamelan itu telah melahirkan anak-anak muda yang mencintai musik. Tentu itu hanya medianya. Saya ingin menjadikan gamelan sebagai basis berkreasi membangun komposisi kontemporer. Tradisi itu baru menginspirasi apabila ada upaya-upaya pengembangannya. Sekarang saya sudah memperlihatkan gamelan bisa membuat komposisi jazz jadi unik dan itu menjadi identitas Indonesia kalau saya bermain di luar negeri. Namun, saya juga ingin membuat komposisi berdasarkan seperangkat gamelan lengkap. Komposisi itu disusun dari unsur-unsur Barat dan Timur, yang benar-benar menyatu.
Anda pernah dengar komposisi Colin McPhee atau yang lebih pop Kompyang Raka dan Guruh Soekarnoputra, kan? Apakah Anda juga menuju seperti yang mereka capai?
Sebelum saya membentuk BEF kebetulan saya tidak tahu nama Colin McPhee dan Kompyang Raka. Kalau Guruh, saya hanya dengar Swara Mahardika saja. Suatu kali, seseorang datang memperkenalkan musik yang dikomposisi Colin, berupa gender dengan permainan piano. Sangat unik. Mungkin saya dalam bentuk berbeda menggunakan gitar untuk membangun komposisi. Namun, instrumen, seperti gamelan, reong, cengceng, rindik, dan kendang, masih saya gunakan aslinya.
Apakah musik Anda juga nanti akan berat dan klasik seperti Colin?
Kalau itu mungkin tidak. Karakter musik saya, kan, rileks, segar, dan selalu dalam nuansa edukatif kepada orang asing kalau konser di luar negeri. Prinsipnya, bagaimana memperkenalkan musik tradisi dengan bahasa berbeda. Kebetulan gitar datangnya dari Barat. Jadi, mungkin lebih mudah pengenalannya.
Kepiawaian Balawan memainkan gitar pada awal 2000-an pernah menjadi fenomena yang menarik sebagian anak muda untuk menekuni gitar elektrik. Mereka mengidolakan gitaris kelahiran Batuan, Gianyar, Bali, ini sebagai gitaris yang memiliki kecakapan teknis tinggi. Itu juga diperkuat kehadiran Balawan dalam konser-konser besar musik jazz dunia. Beberapa kali ia melakukan tur dunia di Amerika Serikat (2011), tur internasional gitar di 12 kota di Jerman (2001), lalu tur empat kota di Australia (2005). Bahkan, sebelum tahun 2000, nama Balawan lebih dikenal di dunia dibandingkan dengan di Tanah Air.
Apa yang belum tercapai dalam hidup Anda?
Memiliki anak perempuan, ha-ha-ha....
Sejak 7 Agustus 2017, Balawan telah memiliki tiga putra dari penikahannya dengan I Gusti Ayu Kamaratih. Anak pertamanya bernama Varendra Winatha Balawan (5) dan kedua Jiyestha Sayilendra Balawan (2).
Putra ketiga Anda siapa namanya?
Belum punya nama sampai sekarang. Masih cari di Google, ha-ha-ha. Dua anak sebelumnya namanya saya dapat dari Google juga.