logo Kompas.id
HiburanTanah Air Para Penyintas
Iklan

Tanah Air Para Penyintas

Oleh
YUSRI FAJAR
· 5 menit baca

Berkali-kali kemerdekaan dirayakan, berkali-kali pula kita mendengar dan membaca tentang kemerdekaan yang belum sepenuhnya dirasakan. Di Tanah Air Indonesia upacara kemerdekaan setiap tahun dilangsungkan. Orang-orang menghormat bendera, menyanyikan "Indonesia Raya", dan mengheningkan cipta mengenang jasa pahlawan bangsa. Di kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri, upacara hari kemerdekaan juga dilaksanakan. Di kantor-kantor kedutaan itu tersimpan kenangan dan catatan atas para penyintas Indonesia yang tinggal di luar negeri. Meski sebagian dari mereka telah terasing, kehilangan kebebasan karena paspor mereka tak diperpanjang karena persoalan politik, Tanah Air Indonesia tetap mereka rindukan. Kisah para eksil Indonesia di mancanegara menjadi mata air yang terus menghidupkan berbagai cerita. Martin Aleida, penulis yang pernah merasakan bui di masa lalu melalui cerpennya "Tanah Air" (Kompas, 19 Juni 2016), yang dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2017, mengingatkan kita kepada orang-orang yang kehilangan kemerdekaan dan terbuang dari tanah airnya. Cerita ini membuka mata kita pada berbagai dampak peristiwa 65 yang hingga kini masih meninggalkan tanya dan trauma. Di tangan Martin, suara penyintas seakan terdengar kembali, mengartikulasikan sisi historis, humanis, sekaligus romantis dengan latar lintas bangsa dan tokoh-tokoh lintas generasi. Bicara dalam ASEAN Literary Festival 2017, Martin menegaskan daya proses kreatifnya, "Saya penulis. Saya tak bisa hidup tanpa kata-kata." Kebebasan menceritakan secuil kehidupan eksil Indonesia melalui sastra menjadi medium memberikan kesaksian meskipun cerpen seperti tak mampu menampung detail dan semua seluk-beluk kehidupan mereka. Cerpen Martin ini terfokus pada satu keluarga eksil, tetapi pada dasarnya memiliki sentuhan universal yang bisa dihubungkan dengan kisah para keluarga eksil lainnya, dan isu-isu seputarnya di masa lalu dan masa kini. Ajip Rosidi (2001) dalam pengantar untuk kumpulan cerpen penulis eksil, Utuy Tatang Sontani, menyatakan zaman boleh berlalu. Namun, orang-orang yang dikisahkan sang pengarang tetap hidup dalam imajinasi pembaca. Sisi-sisi kemanusiaan dari tragedi masa lalu bisa diselami secara mendalam melalui karya sastra, di luar sisi politik yang berulang-ulang menyulut perdebatan. Dalam tokoh-tokoh yang tak bisa mencecap kemerdekaan sebagaimana dikisahkan Martin, kita bisa merasakan suasana batin orang yang termarjinalkan. Hingga menjelang ajal, impian sang eksil untuk meraih kebebasan hanya menjadi igauan yang tak pernah menjadi kenyataan. Martin menuliskan ucapan tokoh bernama Ang, mantan wartawan, yang terlunta di Belanda, "Setengah jam lagi. Begitu matahari terbit, mereka akan datang membebaskan kita." Harapan dan janji atas kebebasan seperti terus menghantui, hingga menyebabkan depresi. Namun, penyintas dalam cerita Martin seperti tak ingin begitu saja menyerah, tak mau ditaklukkan oleh pengucilan dan masa lalu. Ia ingin menjaga sisa asa dengan bersama kembali dengan keluarganya yang telah lama ditinggal. Semangat ini seperti yang ditulis oleh Milan Kundera, pengarang asal Ceko yang bereksil di Perancis, "Kita tak boleh membiarkan masa depan musnah karena beban masa lalu." Indonesia dan BelandaHak yang terbatasi dan keharusan tinggal di negara lain membuat para eksil kehilangan kesempatan untuk menikmati waktu bersama orang-orang tercinta. Komunikasi yang hanya bisa dilakukan melalui surat-menyurat yang dikirimkan melalui pos dalam jeda sangat lama telah menciptakan tekanan batin, kecemasan, dan prasangka. Belanda menjadi tanah tumpuan melanjutkan hidup karena tak bisa pulang ke Tanah Air sejati Indonesia. Martin menceritakan cara yang dilakukan eksil untuk tetap mendekatkan diri dengan Tanah Air Indonesia dan menempatkan Indonesia di hati mereka. Gumpalan tanah yang dulu sengaja dibawa dari Indonesia dan disimpan dalam kain putih oleh tokoh Ang dalam cerpen "Tanah Air" mencerminkan rasa cinta Ang kepada Indonesia. Tak ada yang bisa memisahkan dirinya dengan tanah air idaman, tempat ia lahir dan menumbuhkan cinta kepada istri tercintanya yang bernama An Sui. Di Tanah Air itulah perlawanan terhadap penjajah Belanda pernah dilakukan hingga titik darah penghabisan. Kini, dia harus hidup di Belanda, negara penjajah tanah airnya tetapi bisa menerimanya sebagai eksil. Belanda oleh Martin diceritakan sebagai "Tanah Impian" tempat Ang menggantungkan sisa hidupnya dan berharap istri dan anaknya bisa menyusulnya ke sana. Ang akhirnya berkalang tanah di Belanda ditemani istrinya dengan tetap menggenggam gumpalan Tanah Air Indonesia. Dengan demikian, yang sejati di hati Ang tetaplah Indonesia. Martin menuturkan perkataan Ang, "Ciumlah . Ini tanah Indonesia. Apa pun yang akan terjadi dia akan mempertautkan kita." Ang begitu yakin tanah Indonesia menjadi perekat dan tanda komitmen untuk saling mencintai. Mencium tanah air adalah ekspresi kecintaan sekaligus kesetiaan kepada Tanah Air Indonesia. Martin dalam kisah tersebut juga menempatkan Tanah Air Indonesia sebagai bagian dari semangat hidup dan tempat segala kenangan dan perjuangan pernah ditanam dan ditumbuhkembangkan untuk menjadi bekal bertahan. Kematian Ang dengan menggenggam tanah Indonesia secara simbolis menyiratkan keinginan Ang untuk "pulang" ke Indonesia meskipun sebenarnya Ang dari tatapan matanya juga menunjukkan ekspresi ketidakpuasannya terhadap penguasa yang telah membuatnya terlunta. Lintas generasi Dengan menggambarkan kesalahpahaman dan keterputusan komunikasi yang dialami suami, istri, dan anak keluarga eksil, Martin telah mengonstruksi penceritaan lintas generasi. Han, anak dari Ang dan An Sui, dikisahkan oleh Martin, tidak bisa menerima kepergian Ang. Han menilai Ang sebagai Ayah yang tidak bertanggung jawab. Tampaknya Han tak tahu persis persoalan dan tekanan politik yang dihadapi Ang di luar negeri sehingga dia menuduh Ang bersenang-senang di luar negeri sampai tak memedulikannya. Sementara Ang sempat mendengar kabar istrinya menjual diri di Tanah Air. Penilaian yang tidak tepat akhirnya melahirkan justifikasi dan stigma yang salah kaprah. Cerita Martin ini menyiratkan pesan bahwa diperlukan penjelasan lintas generasi tentang apa yang sesungguhnya dialami para penyintas itu sehingga tak ada penghakiman dan kebencian tanpa dasar yang benar. Penggambaran hubungan dua generasi berbeda, ayah ibu dan anak, yang dituturkan Martin juga menunjukkan negosiasi dan rekonsiliasi internal keluarga yang terkena imbas huru-hara politik. Pertemuan mereka di Belanda bisa dipandang sebagai sisa kemerdekaan untuk berjumpa dan mengekspresikan kebersamaan mereka meskipun perayaan kebersamaan itu tak lagi sempurna karena sang Ayah mengalami gangguan mental serius karena stres akibat dari, sebagaimana dituliskan Martin, "Kekuasaan yang begitu buruk rupanya". Kekuasaan seperti demikian tampaknya yang membuat kemerdekaan hakiki hanya tinggal mimpi.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000