Film Jepang dalam Kerumunan
Film karya sutradara Jepang bertajuk Tremble All You Want hanya meraih penghargaan Audience Award. Penghargaan ini tentu saja kalah bergengsi dengan Tokyo Grand Prix yang disabet oleh film Grain karya sutradara Semih Kaplanoglu dari Turki. Bahkan, predikat Best Director diraih sutradara Malaysia, Edmund Yeo. Ada apa dengan film-film Jepang?
Sebenarnya ada dua film karya sutradara Jepang yang masuk dalam kompetisi utama Tokyo International Film Festival (TIFF) ke-30, 25 Oktober-3 November 2017 di Tokyo, dari 15 film yang lolos mengikuti kompetisi. Selain Tremble All You Want (sutradara: Akiko Ooku), ada pula film The Lowlife (sutradara: Takahisa Zeze). Meski tidak mengomentari secara langsung, Festival Director TIFF Takeo Hisamatsu mengatakan bahwa festival ini penting karena masyarakat Jepang bisa melihat pertumbuhan industri perfilman di negara lain. Lebih-lebih, ”Kami bisa melihat kebudayaan dari banyak negara lewat film,” kata Takeo.
TIFF berlangsung dalam peralihan musim panas menuju musim gugur. Pepohonan belum sepenuhnya berwarna-warni, tetapi hujan dan angin kerap menerobos langit Tokyo. Saat perhelatan red carpet, Rabu (25/10) sore, Tokyo seperti tak henti diguyur hujan. Akhirnya salah satu bagian terpenting dalam festival film itu digelar di bawah beranda gedung-gedung di seputar Roppongi Hills, Tokyo. Kendati begitu, red carpet yang juga diikuti aktris Karina Salim (Indonesia) ini beberapa kali terganggu hujan dan badai. Para penggemar bintang-bintang terpaksa terbirit-birit lari mencari tempat berteduh.
Cuaca barangkali menjadi faktor penting yang harus diperhatikan jika menonton film-film Jepang. Sebutlah film klasik seperti Gate of Hell yang dibesut sutradara Teinosuke Kinugasa. Film yang diproduksi tahun 1953 ini menjadi peraih Grand Prix Cannes Film Festival Ke-7. Kritikus film asal Perancis, Jean Cocteau, menyebut film yang berkisah tentang roman hubungan cinta para samurai di masa Jepang klasik ini mencapai puncak keindahan. Film lainnya, The Ballad of Narayama garapan sutradara Shohei Imamura. Film yang diproduksi tahun 1983 dan mengisahkan situasi Jepang primitif (1.000 tahun lalu) ini juga menjadi salah satu peraih penghargaan bergengsi di Cannes Film Festival. Barangkali karakter tokoh-tokoh serta konstruksi alur kedua film ”klasik” ini sangat dipengaruhi oleh perilaku dasar orang Jepang yang sering kali dianggap ”misterius”. Mereka jarang sekali terlihat tersenyum, tetapi ungkapan katanya selalu terdengar ”menggeram”. Sisi lainnya, dialog-dialog dalam kedua film ini sangat menonjol dalam memperhitungkan tempo. Tokoh-tokoh lawan bicara tidak segera memberikan keputusan atau jawaban terhadap pernyataan atau pertanyaan dari seorang tokoh.
Peneliti Jepang, Maiko Nakano, menyebutnya sebagai ajaran ”ma”, yakni jeda di dalam sebuah dialog dianggap bagian dari dialog itu sendiri. ”Masing-masing meresapi dari dalam apa yang baru saja diungkapkan oleh seorang tokoh,” kata Maiko. Itulah barangkali yang menyebabkan kedua film klasik tadi berkesan terseok-seok dalam alur, jika kita terbiasa menonton film-film besutan Hollywood.
Ciri khas
Film-film yang diproduksi kemudian, seperti Life and Death On the Shore dari sutradara Michio Koshikawa dan film Our Homeland karya Yang Yonghi. Film pertama berkisah tentang sebuah pulau bernama Amami, di dekat Okinawa. Latar peristiwa Perang Dunia II menjadikan film ini mendapatkan pijakan kuat untuk mengisahkan kondisi di Jepang. Lantaran ancaman serangan dari Amerika Serikat, Jepang menempatkan tentara di Amami, yang kemudian bertugas melindungi penduduk setempat. Namun, film Life and Death On the Shore lebih fokus menyoroti perjuangan Toe Ohira (Hikari Mitsushima), seorang gadis yang tetap mengajar anak-anak Amami di sekolah meski setiap kali ancaman serangan Amerika mengintainya. Toe kemudian berkenalan dengan Letnan Saku (Kento Nagayama), yang selalu siap melindungi warga dari ancaman perang. Dalam relasi dua anak muda, yang kemudian saling menyayangi itulah, kita diajak mengembara pada kedalaman perasaan kedua tokoh ini.
Pertemuan dan percakapan adalah unsur utama yang mengendalikan alur. Begitu pun scene yang kerap kali berulang, walau dalam intensi yang berbeda, membuat film ini ”terkesan” lamban dan terseok-seok menuju puncak ketegangan, ketika akhirnya Saku pergi untuk berperang.
Para sutradara Jepang sangat suka membiarkan kamera berhenti pada ekspresi wajah seorang tokoh yang tidak berbicara sepatah kata pun. Walaupun ekspresi yang ditunjukkan tokoh-tokoh itu terkesan sangat natural. Begitu pun yang terjadi dalam film Our Homeland. Meski berlatar konflik Jepang dengan Korea Utara, film ini berkisah tentang kegaduhan dalam rumah tangga Sungo (Arata Iura), saat ayah dan ibunya mengalami ketegangan ketika Sungo berangkat kembali ke Korea Utara untuk menjadi semacam mata-mata negara itu.
Sejak masa film-film yang berkisah tentang masa klasik sampai film-film masa kini, karya-karya para sutradara Jepang memiliki ciri khas: mengelola tempo menjadi bagian dari alur cerita. Kesan lamban yang muncul dalam scene demi scene, barangkali karena kita selalu memakai pendekatan film-film Barat dalam memahaminya. Padahal, pengelolaan terhadap tempo itu menjadi satu bagian dari kebiasaan orang Jepang dalam menjalani hidup mereka, selalu mengeduk perasaan terdalam dari seseorang. Itulah ajaran empati, dengan idiom: jika saya dalam posisi kamu, yang membuat Jepang menjadi negara paling aman dan toleran di dunia.
Film-film jenis ini kini berada dalam kerumunan film-film thriller seperti Grain atau film-film Hollywood, yang banyak dikonsumsi masyarakat dunia perfilman kita. Kendati begitu, kesan ”kelambanan” itu telah menjadi ciri utama film-film Jepang dan itulah yang menjadi cermin utama untuk meneropong kondisi psikologis masyarakat ”Negeri Sakura”.