logo Kompas.id
HiburanSENIBuku, Panggung, Literasi
Iklan

SENIBuku, Panggung, Literasi

Oleh
Bre Redana
· 5 menit baca
Iklan

Buku Chairil karya Hasan Aspahani adalah buku menarik, mudah-mudahan setidaknya 42 persen penduduk Jakarta membacanya-jumlah yang lebih dari cukup untuk menandai keberadaban sebuah kota. Bicara riwayat hidup penyair Chairil Anwar (1922-1949), di situ kita melihat Indonesia bangkit melalui gerakan sastra. Angkatan sastra mendahului angkatan bersenjata. Melalui sastra, melalui peradaban, kita membangun bangsa yang dilahirkan dan dijaga oleh banyak pihak."Buku paling lengkap dan paling indah tentang kisah hidup Chairil Anwar yang pernah ditulis. Buku Indonesia yang paling saya rekomendasikan untuk dibaca tahun ini!" tulis M Aan Mansyur, penyair, pada sampul buku.Kalau dianggap sebagai buku biografi, melalui buku ini kita juga belajar bahwa menulis biografi adalah hal yang muskil, tepatnya: suatu hal yang tidak mungkin. Hasan, kelahiran Kutai Kartanegara tahun 1971, mengonstruksi Chairil dari banyak buku, banyak tulisan, karya-karya Chairil sendiri, serta beberapa sumber yang masih hidup. Di luar itu dan paling utama, nah ini dia: imajinasi dia sendiri. Persis di situlah persoalan paling krusial menyangkut penulisan biografi: adukan memori berbagai pihak; memori dengan luka, kesedihan, cinta dan lain-lain; memori dengan keterbatasan kita untuk mengingat dan melupakan; serta bias tujuan dari merangkai memori itu sendiri. Merekonstruksi memori itu untuk apa? Dalam hal ini, merekonstruksi kenangan atas Chairil itu untuk apa?Melalui cara penceritaan yang indah, yang terbaca dari Hasan lewat bukunya adalah seorang Chairil dengan kelebihan dan keterbatasannya sebagai manusia, dengan cinta yang berkali-kali kandas, dengan kesulitan hidup dan kelaparan sehari-hari, serta api yang dikobarkannya untuk kebangunan Republik.Biografi ini menjadi sangat meyakinkan justru karena imajinasi penulis yang tidak lagi peduli mana fakta mana fiksi, mana nyata mana ilusi. Menceritakan kunjungan pertama Chairil ke rumah gadis bernama Mirat yang kemudian menjadi kekasihnya, Hasan menulis: "Sore nyaris lesap, gelap membentang setipis sutra. Chairil datang dengan pakaian yang persis sama dengan yang dikenakannya di pantai. Mungkin hanya kebetulan sama, atau memang dia tak punya pakaian lain? Mirat tak peduli. Ia terlalu gembira menyambut lelaki yang setelah berkenalan baru ia tahu bernama Chairil Anwar. Pekerjaan: penyair." (hal 166)Kalau kalian masih berkutat dengan fakta, siapa yang tahu bahwa sore itu "gelap membentang setipis sutra"? Siapa yang terlalu yakin dengan perasaan Mirat "yang terlalu gembira"?Kiranya Chairil dengan sajak-sajaknya yang luar biasa yang memungkinkan lahirnya narasi-narasi seperti dikutip di atas. Dari rangkaian fragmen kehidupan serta sajak-sajak Chairil, terdapat detail-detail cerita bagaimana hubungan Chairil dengan sastrawan-sastrawan dan seniman seangkatannya, serta dengan para pendiri republik, seperti Sukarno, Hatta, dan terutama Sjahrir, di mana Chairil pernah menumpang di rumahnya.Ia menjalani hidup tanpa kompromi. Sebagai manusia bebas ia tidak menggadaikan hidupnya untuk kepentingan siapa saja. Ia ambil bagian dalam gerakan bawah tanah Sjahrir, antara lain dengan mencuri radio yang kemudian digunakan Sjahrir untuk memantau perkembangan Asia pada tahun 1940-an. Berkali-kali tubuh ringkih Chairil digebuki tentara Jepang.Tak juga kebebasannya ia serahkan pada sangkar bernama cinta bersama wanita. Ia menjadi pujaan banyak wanita, sebaliknya mengagumi banyak wanita, tetapi hatinya tak bersarang pada satu pun darinya.Sampai kemudian saatnya tiba, seperti sajak John Conford yang diterjemahkannya:"Dan jika untung malang menghamparkan/Aku dalam kuburan dangkal/Ingatlah sebisamu segala hal yang baik/Dan cintaku yang kekal."Dari buku ke panggungDari teks ke teks, dari teks ke panggung. Teks Chairil telah melahirkan buku tentangnya yang indah. Buku ini kemudian menginspirasi karya panggung yang baru saja dipentaskan di TIM berjudul Perempuan Perempuan Chairil produksi Titimangsa Foundation yang dikomandani Happy Salma. Disutradarai Agus Noor, naskah ditulis oleh Agus Noor, Hasan Aspahani, dan Ahda Imran.Seperti bunyi sebuah firman, pada mulanya sebenarnya adalah kata. Didukung oleh segenap kru yang menggarap artistik panggung dengan bagus, tata lampu efektif, musik yang liris, tontonan ini berhasil menghadirkan suasana puitis sepanjang dua jam pertunjukan.Selain apresiasi terhadap para pemain yang terdiri atas para bintang film kinyis-kinyis, yakni Reza Rahadian, Marsha Timothy, Chelsea Islan, Tara Basro, Sita Nursanti, seluruh produksi ini berutang pada teks Chairil yang kuat, yang terus hidup dari zaman ke zaman.Sangat romantik seperti sajak "Cemara Menderai Sampai Jauh", di lain pihak pementasan ini tak kehilangan arah menempatkan kepeloporan Chairil dalam dunia persajakan Indonesia dan perjuangan kemerdekaan negeri. Sebab, kita tahu, di ujung ekstrem yang lain dari "cemara menderai sampai jauh" yang mengiris hati, bangsa ini kala itu tersentak dengan gelora dia seperti dalam kumpulan Deru Campur Debu. Di situ terdapat bunyi sajaknya yang terkenal: "Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang."Melihat pementasan ini, melihat Chelsea Islan, ah, rasanya menjadi teringat "Senja di Pelabuhan Kecil". Melihat Tara Basro sebagai Mirat, teringat sajak: "Masih berdekapankah kami/atau mengikut juga bayangan itu?" Untuk Happy Salma sebagai produser dengan keberaniannya, pantaslah sajak ini baginya: "Jiwa di dunia yang hilang jiwa/Jiwa sayang, kenangan padamu."Chairil pembaca buku yang rakus. Sering ia mencuri buku. Ia menuliskan sajak pada kertas dengan tulisan tangan. Ia tumbuh dalam budaya literasi yang telah melahirkan peradaban, termasuk sebuah negara bangsa atau nation state. Tanpa literasi, hanya dengan peranti digital, jangan harap kalian bisa ke mana-mana. Apalagi kalau cuma bergegas ingin cepat sukses dan melulu memikirkan uang. Tak akan menjadi seperti dia, yang dikenang dengan cinta, oleh perempuan-perempuan itu, Tara Basro, Marsha Tomothy, dan lain-lain.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000