logo Kompas.id
HiburanKeagungan Cut Nyak Dhien
Iklan

Keagungan Cut Nyak Dhien

Oleh
· 5 menit baca

Suara tetabuhan dengan syair lagu Aceh mengawali pementasan Sha Ine Febriyanti (41) lewat monolog Cut Nyak Dien di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (16/11). Ine makin memukau ketika memanggungkan monolog ini untuk kesembilan kalinya. Ine pun mengaku, batinnya kini makin mengendapkan keagungan Cut Nyak Dhien."Pementasan kali ini setelah dua tahun vakum. Ada yang beda. Saya lebih reda," ujar Ine seusai pentas.Monolog Cut Nyak Dien pertama kali dipentaskan pada 2014 di Jakarta. Ine mementaskannya delapan kali di beberapa kota hingga tahun 2015. Naskah monolog ini disusun oleh Agus Noor.Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 1964. Cut Nyak Dhien memiliki rentang masa hidup antara 1848 sampai 1908 di Aceh. Keagungan Cut Nyak Dhien, bagi Ine, kurang lebih karena ia menjadi sosok perempuan yang kiprahnya melampaui zamannya. Cut Nyak Dhien tidak hanya menjadi sosok istri yang penuh setia terhadap suami. Namun, kesetiaan Cut Nyak Dhien hingga mencapai titik api perjuangan suami meski terlebih dahulu meninggalkannya. Ine menangkap jiwa zaman Cut Nyak Dhien itu.Di awal pementasan, Ine berkerudung dan duduk terbungkuk di bangku kayu panjang. Ia menarasikan masa-masa akhir Cut Nyak Dhien yang ada di pengasingan di Sumedang, Jawa Barat. Periode sejarahnya antara 1906 sampai meninggal pada tahun 1908."Hampir setiap hari aku sedih di sini. Bukan kesedihan yang membuat aku pedih," tutur Ine ketika membuka monolognya.Ine mengisahkan kepedihan Cut di pengasingan. Meski ia buta, ia bisa melihat langit di atas sana bukanlah langit yang sama di tanah kelahirannya, tanah Nanggroe.Di pengasingan, Cut mengajarkan Al Quran. Ketika mendengar anak-anak melafalkan Al Quran, Cut makin saja terbelit rasa rindu dan ingin pulang ke tanah kelahirannya. Di pengasingan, Cut tidak bisa melupakan hutan-hutan di Nanggroe yang gelap. Hutan-hutan yang menjadi rimba gerilya Cut melawan kolonial Hindia Belanda. Hutan-hutan yang melindungi nyala api perjuangannya."Mempertahankan tanah itu ibadah," kata Cut.BangkitSeketika, layar putih di belakang panggung menampakkan suasana hutan. Cut lalu berdiri. Cut meneruskan kisahnya dengan suara makin lantang. "Dulu sekali.... di masa yang sangat lampau," ujar Cut ketika ingin mengawali kisah perlawanannya di Aceh.Cut menceritakan suasana hutan dengan sungai-sungainya. Ia berdiri gagah. Suaranya menggema. Layar makin menghidupkan suasana. Bayangan tubuh Cut di layar membangkitkan imaji keberadaan Cut kala itu seolah-olah benar-benar kembali ke Aceh. Iringan musik makin menghidupkan suasananya."Di dalam darahku mengalir darah Minangkabau yang tidak kenal takut," ujar Cut.Cut lantas berdendang menyanyikan lagu Aceh. Cut yang sedari awal pilu dan tampak renta, berubah menjadi sosok perempuan tegar. Tutur katanya penuh pesona. Tata kalimatnya penuh nyala api kebenaran. Ine berhasil menghidupkan kembali Cut Nyak Dhien di panggung.Suara terompet mengambil jeda alunan celo yang dimainkan Jassin Burhan. Cut membawa kisah masa kecil dahulu.Cut mengisahkan tentang ayahnya yang menikahkan dirinya dengan Teuku Ibrahim Lamnga ketika ia berusia 12 tahun. Itu berarti di tahun 1860. Cut menuturkan tentang suaminya, Ibrahim, yang tidak pernah tunduk pada kuasa pemerintah kolonial Hindia Belanda di Aceh. Ibrahim mengobarkan perlawanan bersenjata melawan pasukan Hindia Belanda. Oleh suatu pengkhianatan bangsa sendiri, di tahun 1878 Ibrahim tewas. Ia tertembus peluru ketika melawan pasukan Hindia Belanda.Pasukan Hindia Belanda memukul mundur perlawanan rakyat Aceh. Cut menuturkan, rakyat Aceh makin memberontak ketika Masjid Agung pun dibakar. "Sudah puluhan kali aku melepas Teuku perang. Tetapi, baru kali ini aku cemas," ujar Cut.Sebelum suaminya menemui ajal di medan perang, Cut merasakan kecemasan yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Benar saja, kecemasan yang luar biasa ini menandai suaminya, Teuku Ibrahim, menemui ajalnya."Aku menatap Ibrahim. Ibrahim menatap aku dengan dalam.... Suamiku akan pulang!" begitu tutur Cut menghalau kecemasannya.Ajal Ibrahim tak terelak. Cut berkata, "Sebaik-baiknya mati adalah syahid."Cut meratap. Ia mengatakan, satu per satu para prajuritnya pun mati."Kami memang hancur. Tetapi, tak ada sedikit pun kami menyerah," kata Cut.Kemudian Cut menceritakan tentang Teuku Umar. Saat itu Teuku Umar melamarnya. Ia menolak lamaran itu. Tetapi, Teuku Umar berhasil meyakinkan Cut ketika menjadi istrinya diperbolehkan ikut berperang. Cut pun menerima lamaran Teuku Umar. Keduanya gigih memimpin rakyat Aceh melawan pasukan Hindia Belanda.Sekali lagi, adanya pengkhianatan mengakibatkan perlawanan mereka dapat dipatahkan. Ketika itu Teuku Umar memimpin penyerangan ke Meulaboh. Teuku Umar tewas. Kejadian itu pada tahun 1899.Cut Nyak Dhien berhasil menyelamatkan diri. Cut tak mau menyerah. Ia lari ke hutan bersama sisa prajuritnya. Lagi-lagi soal pengkhianatan. Cut mengisahkan tentang Pang Laot, pengikutnya yang menunjukkan kepada Hindia Belanda tentang keberadaannya di hutan."Enam tahun sudah sejak peristiwa khianat itu.... Langkahku kian lembut. Mataku nyaris tak bisa melihat," kata Cut.Cut menuturkan, di suatu malam di hutan persembunyiannya datanglah pasukan Hindia Belanda menyergapnya. Mereka datang tanpa perlawanan prajurit anak buah Cut. Cut melolong sedih. Ia mencabut rencong, lalu mengayun-ayunkan ke sekelilingnya. Cut ingin melawan. Tetapi, apa dayanya. Ia ditangkap pasukan Hindia Belanda, hingga akhirnya menyadari itu berkat ulah Pang Laot, pengikutnya, yang telah mengkhianatinya."Pengkhianatan Pang Laot itu dari sudut pandang Cut Nyak Dhien. Pang Laot sendiri melakukan itu dengan dasar rasa iba terhadap kondisi Cut Nyak Dhien di hutan," ujar Ine di usai pementasan.Ine mengatakan, sejarah tidak selamanya sama benar. Sejarah bahkan bergantung narasi yang dikehendaki penguasa."Dari sudut pandang Cut Nyak Dhien, ketika itu jelas menghadapi musuh kolonial Hindia Belanda. Konteks kekinian dari pementasan ini tentu sama, tetapi yang dihadapi musuhnya tentu diri kita sendiri," kata Ine.Ine mengagungkan Cut Nyak Dhien. Tetapi, Ine menyadari pula konteks kekiniannya. (NAWA TUNGGAL)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000