Wadah Membangun Ingatan
”Begitulah, ingatan atau kenangan. Di dalam pikiran, ingatan atau kenangan itu ada dan menjadi milik seseorang yang tak dapat dijamah dan dirampas orang lain,” ujar Hanafi.
Narasumber lain, Farhan Siki, seniman mural dari Yogyakarta, menyampaikan pengenalan material di dalam pembuatan seni mural di ruang publik. Materi bertemakan ”Transformasi dari Seni Ruang Publik ke Desain” disampaikan Enrico Halim.
Muhammad Nur Alam dan Elang Erlangga berbagi tentang riwayat pembuatan kampung 3D (Tiga Dimensi) di Depok. Seniman Heru Joni Putra memaparkan konsep seni sebagai memori kultural.
”Lokakarya selain berguna untuk membekali hal teknis, juga mengajarkan proses penciptaan karya,” kata Hanafi.
Kerangka berpikir menjadi hal penting di dalam proses penciptaan karya. Mencari titik pijakan mutlak dibutuhkan. Di dalam kegiatan pembuatan mural yang dikemas sebagai program Dimensi Ingatan di Ruang Publik tersebut, Hanafi mencontohkan tentang keadaan terkini berupa ingatan di ruang publik yang diseragamkan.
”Ketika menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, masyarakat membuat dan menghias gapura-gapura. Ini membangun ingatan di ruang publik. Tetapi, ingatan yang diseragamkan justru membosankan dan menghilangkan kenangan itu sendiri,” kata Hanafi.
Di sini muncul persoalan. Mudah dibayangkan, apa yang akan terjadi di tengah masyarakat ketika kenangan tersebut hilang dan masa depan belumlah digenggam. Dinamika sosial bergerak tanpa arah yang menentu. Tanpa cita- cita yang jelas. Masyarakat pun kehilangan jiwa, kehilangan identitas, kehilangan jati dirinya.
”Coba, lihat sekarang. Desa membangun hal yang sama dengan kota. Desa menjadi kehilangan karakteristiknya,” ujar Hanafi.
Seni media
Direktur Kesenian pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan mengatakan, kerja sama dengan komunitas Studiohanafi sebagai wujud edukasi seni media di tengah publik. Seni media untuk program Dimensi Ingatan di Ruang Publik juga diusulkan menggunakan media kereta komuter di Jakarta atau stasiun kereta sebagai ruang publik. Namun, pihak yang bersangkutan dalam pengelolaan sarana transportasi massal perkotaan ini tidak berkenan.
”Seni media ruang publik masih harus diperjuangkan,” kata Restu yang turut hadir di dalam lokakarya di Studiohanafi tersebut.
Tiga hari berikutnya hingga 2 Desember 2017, para perupa bekerja bersama melukis mural di ruang publik. Mereka terbagi ke tiga lokasi, meliputi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Sekolah Dasar Islam Terpadu Darojaatul Uluum di Limo, Depok, serta area terbuka di Studiohanafi.
Di LBH Jakarta, mural lukisan dimensi terbangun melalui figur- figur pembela hak asasi dan kemanusiaan, seperti figur Adnan Buyung Nasution, Abdurrahman Wahid, dan penyair Wiji Thukul.
Di LBH Jakarta, Hanafi melukis ilustrasi tiga dimensi gulungan pita police line atau garis polisi. Di situ, ia menyampaikan konteks atau pesan bahwa segala sesuatu di mana pun terdapat garis pembatas berupa kebijakan atau aturan hidup atau aturan main.
Di antara gulungan pita itu, ada yang satire diungkapkan lewat bahasa teks. Misalnya, dituliskan, undang-undang tentang pelarangan buku.
Para perupa lainnya merespons dinding-dinding di LBHJakarta dengan lukisan tiga dimensi, seperti tangan yang mendobrak tembok dan menggenggam timbangan keadilan. Ada yang melukiskan perempuan dengan kaki tertanam di balok semen untuk penolakan rencana pembuatan pabrik semen.
Lokasi berikutnya, di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Darojaatul Uluum. Para perupa merespons dinding terbuka dengan lukisan-lukisan tokoh kartun populer. Ada lukisan astronot di ruang angkasa pula.
Ada lukisan bentang alam tentang gunung dan pemandangannya, langit, laut, ikan, dan keriangan anak yang sedang bermain.
Menurut Manajer Program Seni Studiohanafi Adinda Luthvianti, seni media ruang publik di sekolah dasar menunjang pengembangan imajinasi dunia anak. Para pendidik di sekolah dasar itu menyebutkan, mural di dinding-dinding sekolah itu menjadi lukisan-lukisan yang menyegarkan.
Mural tiga dimensi di Studiohanafi di antaranya, lukisan mendayung sampan di atas mega-mega. Hanafi menuturkan, mendayung di atas mega-mega itu tak akan berbatas dan tidak berkesudahan.
”Ini menceritakan tentang keinginan mewujudkan sungai atau kali yang terus-menerus hidup memiliki kesinambungan. Air sungai yang terus mengalir seperti tiada batas, seperti mega di langit yang tiada batasnya,” ujar Hanafi.
Mendayung sampan di antara mega-mega ibarat kita terbang setinggi-tingginya. Namun, tidak lupa akar tradisi sebagai negeri maritim.
Ada lagi sebuah lukisan tiga dimensi sebuah lorong Pink Floyd dibuat di sisi kanan dinding halaman muka Studiohanafi. Di bagian atas dinding itu, Hanafi memajang sebuah ranjang besi nyata secara vertikal.
”Ranjang tidur ini menjadi simulasi wujud tiga dimensi di sebuah bidang,” kata Hanafi.
Para perupa yang terlibat berkreasi di tiga lokasi itu di antaranya berasal dari Lombok, Lampung, Semarang, Bandung, Tangerang, Bogor, Depok, dan Jakarta. Adinda mengatakan, ada keunikan di antara para perupa muda tersebut.
”Seperti perupa yang bernama Dewo dari Lampung. Ia memiliki kebiasaan melukis di bak truk yang sedang berhenti selama dua jam istirahat di Lampung,” kata Adinda.
Dewo terlibat memural dinding LBH Jakarta. Di sana ia melukis wajah beberapa tokoh pembela kemanusiaan. Dewo memiliki kemampuan melukis wajah realis dengan cepat.
Yusuf, rekan Dewo lainnya dari Lampung. Yusuf memiliki kebutuhan khusus wicara. Ia memiliki perspektif menarik terhadap karya-karya lukisnya.
”Yusuf menangkap bahasa visual melalui mata sehingga apa yang dilukisnya harus benar-benar sesuai dengan rekaman visual matanya,” kata Hanafi.
Seperti makna dari police line, semua aktivitas memiliki batasan ruang gerak atau kapling masing- masing. Begitu pula dalam menghadirkan karya seni media ruang publik.
Kali ini, batasan itu ada dan berupa dimensi ingatan atau kenangan di ruang publik. ”Kenangan adalah sah milik setiap pribadi, yang orang lain tidak bisa menjamahnya atau mencuri darimu,” ujar Hanafi.
Salah satu kenangan di ruang publik yang masih dicita-citakan Hanafi bisa hadir di setiap kampung di kota, hadir di desa-desa, hadir di setiap perbatasan wilayah kota, dan sebagainya. Bahkan, kenangan atau dimensi ingatan itu diidamkan hadir menjadi misteri. Seperti misteri kota perbatasan, yang di dalamnya menyimpan ruang bagi identitas kota, atau jati diri masyarakatnya.