Dialita Mengalirkan Harapan
Tujuh belas ibu berusia
senja, berbaju warna-warni berkilauan, berdiri. Mereka khusyuk menyanyikan ”Indonesia Raya” dalam versi tiga stanza, diikuti penonton yang memenuhi Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.
Mereka adalah para ibu yang pernah dicederai oleh intrik politik negara tahun 1965. Menyaksikan mereka menyanyikan lagu wajib yang biasa dinyanyikan saat upacara bendera, acara instansi pemerintah, ajang olahraga, pentas seni dan kebudayaan, hingga konser pop internasional itu, sungguh menghadirkan rasa yang berbeda.
Malam itu mereka berkumpul di acara Lagu untuk Anakku, Konser Perempuan untuk Kemanusiaan. Konser itu digelar untuk menyambut Hari Pergerakan Perempuan Indonesia atau yang dikenal dengan Hari Ibu.
Dulu, mereka adalah tahanan politik (tapol) yang pernah hidup di penjara hingga belasan tahun tanpa diadili. Mereka masygul ketika direbut paksa dari anak-anaknya. Mereka pasrah ketika teman sesama penghuni tahanan dipanggil dan tak kembali.
Kecintaan pada seni, terutama musik, membuat mereka bertahan hidup. Mereka mencipta lagu dari hal-hal yang mereka rasakan sehari-hari. Bukan lagu berisi kutukan, makian atas kesialan, atau hal-hal gelap lainnya. Mereka justru mencipta lagu tentang indahnya taman, romantika bunga mawar, dan rona senja menjingga. Nyaris tak berbeda dengan pemusik kasmaran masa kini.
Para ibu penyintas yang menyukai musik dan bernyanyi itulah yang kemudian berkumpul membentuk paduan suara Dialita, akronim dari ”Di atas lima puluh tahun”, sesuai usia rata-rata anggotanya. Dialita lantas menyanyikan lagu-lagu yang pernah menjadi pelipur lara ketika dulu menjadi ”orang penjara”.
Meski begitu, bukan hal mudah menyanyikan kembali lagu-lagu itu karena lagu-lagu tersebut tak pernah dituliskan lirik ataupun notasinya. Kertas dan pena adalah benda terlarang. Mereka menghafal dengan berlatih sepanjang hari.
Utati Koesalah adalah salah seorang pengingat lagu-lagu itu. Tahun 1968, Utati mencipta lagu berjudul ”Ibu”. Seperti yang tertulis dalam catatan pertunjukan, kala itu Utati mencemaskan ibunya di Purworejo, Jawa Tengah, sementara ia telah setahun mendekam di Penjara Bukit Duri, Jakarta. Di penjara, ia dilarang menelepon siapa pun, termasuk sang ibu.
Utati, yang senang bernyanyi dan bermain alat musik, bersenandung kala terbayang sosok ibunya. Lirik itu mengalir ketika senandung nada ia dapatkan. ”Terkenang s’lalu kasihmu yang abadi/Cintamu yang abadi ikhlas dan murni/Teringat s’lalu belai sayangmu ibu/Kata dan nasehatmu terngiang s’lalu/Kuterbayang wajahmu ibu/Harapanku padamu sehatlah s’lalu.”
Endah Widiastuti kebagian menyanyikan lagu itu dalam konser yang tiketnya habis terjual tersebut. Endah tampil sendirian tanpa didampingi suaminya, Rhesa Aditya. Teman duetnya itu hadir sebagai penonton.
”Dia (Rhesa) menguatkan saya karena lagu ini beratnya luar biasa. Waktu latihan pertama, saya cuma bisa menyanyikan setengah lagu saja,” kata Endah dengan nada sendu, tak seriang biasanya.
Endah adalah satu dari enam penyanyi yang tampil. Lima lainnya adalah Bonita Adi, Kartika Jahja, Endah Laras, Sita Nursanti, dan Junior Sumantri. Mereka diiringi musik yang solid oleh Petrus Briyanto Adi (bas), Achi Hardjakusumah (biola), Jonathan Palempung (keyboard), Imada (gitar), dan Wizra Uchra (drum). Bintang utamanya, Paduan Suara Dialita.
Lagu tema konser, ”Untuk Anakku” karya dua mantan tapol, Mayor Djuwito dan Heryani Busono saat berada di kamp Ambarawa, Jawa Tengah, dinyanyikan dengan sempurna oleh Bonita. Lagu ini diangkat dari kegelisahan ribuan tapol yang meninggalkan anak-anak mereka dan harus ikut menanggung penderitaan, kehilangan kasih sayang ibu dan ayah.
Junior Sumantri berusaha meringankan suasana konser dari kesenduan berlarut. Sebelum menyanyikan lagu ”Mawar Merah”, dengan gurauannya, ia menyeru punya kekasih baru bernama Ibu Mujiati. Ibu Mujiati adalah tapol di Penjara Bukit Duri.
Ceritanya, Mujiati pernah naksir pemuda yang sering mengurusi listrik dan tata suara untuk acara kesenian di penjara. Suatu ketika, ia dipanggil kepala blok yang menggenggam setangkai mawar berwarna merah. Rupanya, bunga itu dipetik sang pemuda dari halaman belakang, lalu dititipkan untuk Mujiati.
Kenangan manis itu menginspirasi tahanan lainnya, Sri Sulistyawati, menulis larik puisi. Zubaidah Nungtjik memberinya notasi sehingga menjadi lagu, dan sering dinyanyikan di penjara. Sayang, romansa itu tak berujung manis.
Setelah selesai bernyanyi, Junior turun panggung dan memberikan setangkai mawar warna merah kepada Mujiati. Mereka lantas berpelukan diiringi tepuk tangan penonton.
Didengar generasi muda
Tak kurang ada 10 lagu yang dilantunkan bergantian di konser yang diselenggarakan Institut Ungu itu. Kesepuluh lagu yang sarat berbagai cerita dan kenangan pahit di masa lalu itu diaransemen ulang oleh musisi-musisi muda, yakni Bonita, Petrus Briyanto Adi, dan Junior Soemantri.
Di ujung acara, Paduan Suara Dialita membawakan lagu ”Kabut Putih” dan ”Relakan”. Dua lagu itu tak masuk dalam album Dunia Milik Kita yang diterbitkan label Yes No Wave tahun 2016.
Album itu memuat 10 lagu. Di antaranya dibawakan di konser itu, seperti ”Ujian”, ”Salam Harapan”, ”Taman Bunga Plantungan”, dan ”Lagu untuk Anakku”. Peracik musik untuk album itu adalah pemusik muda, seperti Leilani Hermiasih, Lintang Radittya, Bagus Dwi Danto, Cholil Mahmud, dan Nadya Hatta.
Album dan konser itu sejalan dengan harapan Utati dan anggota Dialita lainnya. Mereka bersusah payah mengingat-ingat lirik dan notasi selama bertahun-tahun. Cita-cita mereka adalah agar lagu itu bisa didengar generasi penerus.
”Orang-orang muda mau mengerti kami, bahwa ada lakon yang hampir dihilangkan di negeri ini. Kami tidak mendendam. Kami juga tidak membenci. Kami sudah berdamai dengan masa lalu,” kata Utati dalam rekaman video.
Utati sangat lega dan bahagia bisa terlibat dalam konser tersebut. Apalagi lagu-lagu yang sebelumnya hanya sebuah angan-angan akan dinyanyikan dan didengar banyak orang, kini benar-benar terwujud. Lagu ”Ibu” yang dulu ditulis dalam pikirannya dan disimpan bertahun-tahun dan tangisan sendiri, kini bisa dinyanyikan dan didengar banyak orang.
”Saya bahagia sekali, ternyata lamunan itu jadi kenyataan. Saya mencatat lagu itu, kapan ya ada orang menemukan dan bisa menyanyikannya. Ternyata sekarang dinyanyikan anak-anak muda, dan saya bisa ikut,” kata Utati.
Bonita dan kawan-kawan, yang awalnya dilanda kekhawatiran konser tersebut akan menghadapi berbagai tantangan, juga merasa lega, akhirnya konser terwujud. Dari konser itu, dia bahkan merasa memperoleh banyak hal.
Sebagai generasi muda yang tidak banyak tahu sejarah, ada banyak hal yang didapat dari proses menuju konser tersebut. ”Menemukan banyak jawaban dari para ibu, hal yang kami tidak tahu bahkan diserongkan. Melalui musik, sebuah kejadian yang begitu pahit bisa dipersembahkan lewat seni. Ini luar biasa dan hebat,” kata Bonita.
Begitulah, harapan itu mengalir tak putus kepada generasi muda. Lagu-lagu yang semula bisu telah sampai pada telinga kaum muda, seperti terlihat dari mayoritas usia penonton malam itu. Lagu tersebut, seperti diucapkan produser konser, Faiza Mardzoeki, memberikan makna bahwa keindahan bisa tercipta dari situasi penderitaan yang sunyi dan menyiratkan harapan bagi pendengarnya.