Hamlet Ketemu Miss Tjitjih
Ini pementasan Miss Tjitjih pertama kali dengan naskah dari luar. Yang sudah-sudah, naskah dari babad cerita di Nusantara,” kata sutradara Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih, Imas Darsih, menjelang pementasan, Kamis (14/12), di Gedung Kesenian Jakarta.
Selama ini, Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih yang sudah berusia 89 tahun, dikenal sering kali mementaskan horor dari kisah- kisah hantu yang berkembang di tengah masyarakat.
Khusus pentas Hamlet, Imas menulis ulang naskahnya dalam bahasa Sunda. Ia menceritakan isi naskah tersebut dibagi ke dalam tujuh babak. Babak pertama diberi judul ”Kamar Hamlet”. Ini menceritakan Hamlet di kamarnya yang sedang berduka karena ayahnya meninggal secara misterius. Ibu Hamlet, Ratu Gertrude, mendatangi Hamlet di kamarnya.
Sepeninggal ibunya, Hamlet dalam kesendiriannya mendengar suara arwah ayahnya. Dari situlah Hamlet tahu kalau ayahnya dibunuh Claudius, pamannya yang kemudian menikahi ibunya.
Babak kedua, ”Pesta Perkawinan Ibu Suri dan Claudius”. Di tengah pesta, Hamlet pura-pura gila. Hamlet mengemas kisah yang menuturkan ayahnya mati karena diracun ibunya sendiri.
Babak ketiga, ”Kaputren”. Hamlet berdebat dengan ibunya di Kaputren, ruang peraduan permaisuri.
Babak keempat, ”Walungan”. Walungan itu dalam bahasa Sunda artinya ’sungai’ atau ’kali’. Walungan menjadi tempat kematian Ophelia, calon istri Hamlet. Ophelia anak Polonius, penasihat raja, ayah Hamlet.
Babak kelima, ”Pelabuhan Perbatasan”. Babak keenam, ”Aula Adu Pedang”. Babak ketujuh, ”Perang Tanding Hamlet Melawan Laertes”.
Beberapa referensi, naskah Hamlet diperkirakan ditulis Shakespeare pada 1599-1602. Hamlet sangat melegenda. Kisah ini berulang-ulang diangkat menjadi film bertaraf internasional.
”Di dalam naskah yang saya buat, nama-nama tokoh sesuai naskah Hamlet yang asli. Mengapa? Toh, orang-orang kita juga banyak yang memiliki nama-nama dari Barat,” ujar Imas.
Imas bukanlah penulis yang fasih berbahasa asing. Lalu, dari mana kemampuannya untuk mengalihbahasakan kisah drama Hamlet bikinan pujangga Inggris itu ke dalam bahasa Sunda?
”Wawacan”
Hamlet menjadi salah satu naskah sandiwara tragedi karya Shakespeare yang terpanjang. Beberapa bulan lalu, Imas disodori Dadang Badoet, asisten sutradara Miss Tjitjih, sebuah wawacan atau bacaan berbahasa Sunda.
Di sampul depan bacaan itu bertuliskan Tjarita Anoemashoer Pangeran Hamlet. Tina Karangan Shakespeare. Anggitan Margosoelaksana.
Dalam bahasa Indonesia, kira-kira judul itu bermakna Cerita Termasyhur Pangeran Hamlet. Dari karangan Shakespeare. Karya Margosoelaksana. Diterbitkan Balai Pustaka. Tidak disebutkan angka tahunnya.
Dadang memperoleh bacaan itu dari Hawe Setiawan, Kepala Ketua Lembaga Budaya Sunda Universitas Pasundan, Bandung, Jawa Barat. Hawe mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan.
”Di dalam riset saya, Wawacan Pangeran Hamlet dalam bahasa Sunda ini diperkirakan diterbitkan pada tahun 1933 oleh Balai Pustaka,” ujar Hawe Setiawan.
Pada masa itu, Balai Pustaka menjalankan misi seperti yang dianjurkan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengalihbahasakan naskah-naskah sastra dari Eropa.
”Saya menduga, bacaan Hamlet ini dari bahasa Belanda yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Sunda,” kata Hawe.
Margosoelaksana mengubah bentuk penulisan dari naskah drama Hamlet menjadi prosa berbahasa Sunda. Namun, di dalam prosa itu tetap mengikuti pola persajakan tetap. Ia menjadi puisi terikat.
”Maksudnya, di dalam berbagai pengulangan ada aturan persajakan. Ada guru lagu, ada guru wilangan,” ujar Hawe.
Guru lagu atau guru wilangan adalah pola persajakan yang tetap. Ini mengubah naskah drama Hamlet menjadi ala novel Barat.
”Gaya pengubahan dari naskah drama menjadi prosa ini menunjukkan kompleksitas karya Barat dan Timur,” ujar Hawe.
Margosoelaksana terpengaruh gaya penulisan Jawa dengan menyusun naskahnya ke dalam beberapa pupuh. Pupuh pertama, Asmarandana. Dilanjutkan pupuh Kinanti, Asmarandana, Mijil, dan diakhiri dengan puisi Maskumambang.
Hawe menyimpan salinan naskah karya Margosoelaksana itu sekitar 40 lembar. Naskah inilah yang kemudian diterima Imas Darsih untuk dikembalikan sesuai bentuk asalnya, yakni bentuk naskah drama.
Margosoelaksana dikenal menulis pula Wawacan Diarah Pati (Diancam Kematian) pada 1930. Kisah ini seperti novel detektif. Kemudian, pada 1938, Margosoelaksana menulis Wawacan Rara Mendut.
Imas mengatakan, naskah Hamlet karya Margosoelaksana itu berisikan cerita yang sangat serius. Ketika dijadikan sebagai naskah drama, Imas mengupayakan bagian-bagian tertentu diselingi humor.
”Seperti pada cerita di babak kedua, Pesta Perkawinan Ibu Suri dan Claudius. Saya sertakan humor dari raja-raja perbatasan yang diundang untuk hadir di pesta tersebut,” kata Imas.
Tokoh raja-raja perbatasan diperankan para pemain kelompok Wayang Orang Bharata di Jakarta. ”Saya raja dari Water Gold,” tutur salah satu raja ketika diminta memperkenalkan diri.
Kata ”Water Gold” kemudian dijelaskan sebagai kata ”Banyumas”. Raja itu pun bertutur dengan logat Banyumas, Jawa Tengah. Humor mereka mengocok perut para penonton.
Inilah transformasi unik pementasan Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih. Perkembangan pementasan Miss Tjitjih yang tidak pernah disangka.
”Itu karena kami seperti menemukan harta karun berupa naskah Hamlet berbahasa Sunda yang dibuat tahun 1933,” kata Imas Darsih.
Miss Tjitjih gigih dan konsisten mementaskan drama berbahasa Sunda. Mendiang pujangga Shakespeare dari Inggris bisa berbangga. Salah satu karya terbesarnya dipentaskan dalam bahasa Sunda.