Membentuk Citra Festival Film
Ia tidak segan-segan berkonfrontasi langsung dengan sang ayah di hadapan adik-adik tirinya yang masih kecil. Kisah pergulatan emosi antara anak dan ayah ini mengambil setting alam Patagonia yang liar, termasuk saat mereka berburu bersama.
Begitulah kisah Hunting Season, film debutan sutradara asal Argentina, Natalia Garagiola, yang diganjar sebagai film terbaik dalam International Film Festival and Awards Macao (IFFAM) yang berlangsung 8-14 Desember lalu di Makau, China.
Hunting Season berhasil menyisihkan sembilan film lainnya yang tidak kalah bagus dan menarik, yakni Beast (Inggris), Borg McEnroe (Swedia), The Cakemaker (Israel, Jerman), Custody (Perancis), Foxtrot (Israel, Jerman, Perancis, dan Swiss), The Hungry (Inggris, India), My Pure Land (Inggris), Three Peaks (Italia, Jerman), dan Wrath of Silence (China).
”Film ini orisinal dan konstruksinya kuat. Ada kesegaran baru yang ditawarkan. Pembuat filmnya juga masih sangat muda. Kisah tentang hubungan anak dan ayah ini mengalir dan subtil,” kata Lawrence Osborne dari dewan juri.
Hunting Season pertama kali diputar saat Critics Week dalam Festival Film Venesia tahun ini. Film ini juga menjadi film pilihan penonton di ajang yang sama. Upaya membangun cerita didekati dengan sudut pandang kamera yang lebih banyak disangga dengan tangan sehingga bergerak dinamis, termasuk untuk membuat kesan tegang pada adegan-adegan tertentu. Terkesan eksperimental dibandingkan pendekatan yang diambil film-film lainnya.
Sebagai sutradara yang baru kali ini membuat film panjang, Natalia justru menyoroti kesulitannya berhadapan dengan cuaca ekstrem yang sangat dingin. ”Ini menjadi problem yang sulit aku kontrol,” kata Natalia yang sebelumnya membuat film-film pendek.
Membentuk citra
Sebagai festival film yang masih sangat muda, sangat penting bagi IFFAM untuk membentuk citranya guna menarik perhatian para pembuat film dari seluruh dunia. Salah satunya lewat kategori film kompetisi.
Film-film yang masuk 10 finalis kategori kompetisi sengaja dipilihkan yang merupakan karya pertama atau kedua seorang sutradara untuk jenis film panjang atau feature. Jika film itu kelak menemukan takdirnya menjadi populer, maka IFFAM akan dianggap berjasa dan masuk catatan sejarah film itu.
Beberapa film bahkan baru pertama kali ditayangkan (premiere) di IFFAM yang masuk tahun kedua penyelenggaraan. Panitia juga memilih dewan juri cukup yang mewakili dunia Barat dan Timur. Mereka kebanyakan berlatar belakang sebagai sutradara, produser, dan penulis, seperti Jean Cantet (Perancis), Jessica Hausner (Austria), dan Rosyton Tan (Singapura) serta Joan Chen (pemain film dan produser asal China yang kini tinggal di Amerika Serikat) dan Lawrence Osborne (penulis dari Inggris).
Makau bisa disebut sebagai cawan budaya Barat dan Timur. Dengan kebudayaan asli China, Makau juga mendapat pengaruh budaya Barat lewat kehadiran Portugis yang sempat menjajah wilayah kecil itu.
Makau boleh dibilang konsumen film, itupun pasarnya kecil. Sangat sedikit produksi film di wilayah ini. Kebiasaan menonton film juga masih rendah. Panitia tampak berusaha keras mendatangkan penonton ke tiga lokasi yang dijadikan tempat pemutaran film oleh IFFAM.
Keragaman cerita
Namun, film-film kompetisinya boleh dibilang cukup berhasil menyajikan keragaman. Penonton seperti diajak berkelana menyelami kehidupan dan budaya masyarakat, setidaknya lewat film-film yang diputar. Meskipun kenyataan yang terjadi boleh saja tidak benar-benar sesuai dengan yang dikesankan oleh film-film tersebut. Itulah pentingnya film, bisa digunakan untuk menyuarakan sesuatu atau dimanfaatkan sebagai alat kampanye, mulai dari ideologi, politik, hingga pariwisata.
Di sini, kita akan mendapat film-film dari Timur lebih banyak bercerita tentang isu sosial, korupsi, dan ketimpangan jender. Film-film ini sejak awal menggedor lewat musik latar dan gambar-gambar simbolik atau vulgar, seperti Wrath of Silence yang bercerita tentang kerusakan lingkungan, korupsi, dan ketamakan manusia. Akting bagus dipertunjukkan Song Yang yang menjadi pria bisu dan berjuang mencari anaknya yang hilang di tengah isu eksploitasi tambang. Song Yang meraih penghargaan pemain terbaik dalam IFFAM. Film Wrath of Silence juga menyabet Jury Prize.
Manusia bisa keji melebihi binatang digambarkan dalam The Hungry yang juga berkisah tentang keserakahan dan praktik suap di India. Akhir yang ekstrem, melampaui perkiraan, akan membuat penonton tercekam sekaligus merefleksi diri. Sementara My Pure Land berkisah tentang perempuan yang berhasil mendobrak batasan kultural di tengah isu sengketa tanah di Pakistan.
Film-film dari negeri yang mapan, lebih banyak berkisah tentang relasi dengan sesama manusia, seperti Three Peaks yang berkisah tentang pria yang berjuang merebut hati calon anak tirinya. Borg McEnroe bercerita di balik pertandingan Wimbledon 1980 yang menjadi pertaruhan antara Bjorn Borg dan John McEnroe.
Borg McEnroe terasa ringan seperti pendekatan film Hollywood, tetapi dalam dan intens penggarapan ceritanya. Film yang mudah dicerna ini menjadi favorit atau film pilihan penonton dalam IFFAM yang diperoleh lewat pemberian nilai atau bintang oleh penonton umum setiap kali selesai menonton.
Film-film ini diceritakan dengan gambar dan pendekatan yang tenang dengan pengungkapkan emosi yang subtil atau halus. Dalam film Custody yang sejak awal bernarasi tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga hampir sejam tidak tampak adegan KDRT-nya. Pengungkapan dilakukan secara halus lewat tutur kata yang lama-lama berubah menjadi bentakan hingga di bagian akhir film di mana sang suami mengamuk brutal kepada anak dan istrinya. Sutradara Custody, Xavier Legrand, terpilih sebagai sutradara terbaik.
Pesan halus juga disampaikan The Cakemaker dan Foxtrot.The Cakemaker bercerita tentang pasangan gay antara pria Jerman dan pria Yahudi. Foxtrot berkisah tentang keluarga di Israel yang kehilangan anak laki-lakinya yang menjadi prajurit. Sebuah ungkapan menarik disampaikan seorang prajurit. ”Perang ini sebenarnya untuk siapa”. Pagi dan malam menjaga perbatasan yang lebih sering dilintasi unta. Namun, toh ketegangan mental tidak bisa dihindari yang kadang-kadang menjadi pemicu kesalahan fatal, seperti rombongan mobil berisi anak muda yang diberondong peluru gara-gara sang penjaga salah mengira kaleng coke sebagai granat.
Selera juri kali ini agaknya lebih ke arah pengungkapan yang subtil, seperti tren yang tengah berlaku saat ini. Penonton pun mungkin lelah dengan gedoran pada syaraf mereka. Sebagai gantinya, film yang dengan cara unik dan cerdas mengangkat suatu pesan akan menjadi pilihan.