Gesit, tegas, tajam, gagah, eksplosif, meledak-ledak, penuh tenaga—dan penuh pesona, itulah gerak-gerak dalam randai. Seni pertunjukan berupa teater tradisional yang tumbuh di ranah Minang itu dipentaskan kelompok Buluah Sonsang dari Kota Padang, Sumatera Barat. Mereka menampilkan lakon klasik Sutan Pamuncak Pulang Kabako.
Gerak-gerak randai itu menurun dari pencak silat yang beragam jenisnya di ranah kultural Minangkabau. Gerak-gerak silat itu telah mengalami semacam stilisasi, ”diperindah” untuk sebuah pertunjukan tari yang dipadu dengan teater. Sebuah paduan tari dan seni lisan dalam satu pertunjukan.
Meledak-ledak pula suara entakan galembong atau celana penari yang ditepuk atau tapuak galembong istilah lokalnya. Suara ritmis dan perkusif dari tapuak galembong itu menjadi bagian dari musik dalam randai, selain instrumen seperti perkusi dan saluang. Itulah gerak randai, salah satu bentuk teater rakyat
Ada 21 pemain yang terdiri dari 10 anak randai, atau ”pesilat” yang bergerak melingkar-lingkar atau bagalombang. Kemudian ada 6 penyampai narasi, dialog, dan pedendang, atau pelantun lagu, serta 5 pemusik yang memainkan perkusi dan alat tiup saluang. Cerita disampaikan lewat cara berdendang dengan gurindam,
Lakon Sutan Pamuncak Pulang Ka Bako mengisahkan tokoh Sutan Pamuncak yang akan dijodohkan oleh ibunya dengan bako atau anak dari garis keluarga Bapak. Sutan menolak karena sudah punya calonnya sendiri. Sutan dan sang ibu sama-sama keras dengan pilihan masing-masing.
Meski dipentaskan dalam format panggung, tetapi randai ala Randai Buluah Sonsang berusaha mendekati bentuk randai versi pertunjukan rakyat, yaitu dekat dengan penonton. Mereka menjadikan penonton sebagai bagian dari pertunjukan, bukan orang yang duduk pasif. Kebetulan arena studio Ladang Nan Jombang memungkinkan penonton merubung, lesehan di depan arena.
Salah seorang pemain Yumaritas atau Pak Oyong bahkan bisa turun ke tengah penonton, ”memarahi” dan bahkan minta minum pada penonton. Dia meminta pendapat pada audiens tentang apa yang harus dilakukan dengan pilihannya. Interaksi spontan antara pemain dan penonton menjadikan randai sebagai tontonan kolektif, milik bersama. Penonton bahkan bebas nyeletuk, teriak memberi ”komen” pada tokoh dalam cerita. Dan, sang tokoh menanggapi, lalu disambut gelak tawa dari orang dewasa hingga anak-anak.
Minangkabau hari ini
Gerak silat dan penari randai itu pula yang menjadi salah satu sumber garapan seniman tari hari ini. Termasuk antara lain oleh Ery Mefri. Sebelumnya karya tokoh tari, seperti Huriyah Adam, Gusmiati Suid, dan Boi G Sakti banyak terinspirasi oleh gerak randai, selain juga silat. Angga Djamar, penari dan Direktur Ladang Nan Jombang, perlu belajar silat dan randai sebagai basis tarinya.
Ery sengaja memilih randai sebagai program selama setahun pada Festival Nan Jombang sebagai penghormatan atas seni tradisi randai. Dia teringat masa sekitar 17 tahun silam ketika ia menjadi Sekretaris Dewan Kesenian Padang. Ketika itu ia menggelar pentas randai seminggu sekali di depan kantor dinas pertamanan, di sekitar Pantai Padang. ”Penonton pertama kami adalah kusir bendi. Kepala kuda mereka hadapkan ke pentas. Mereka nonton sambil duduk di bendi ha-ha-ha...” kata Ery di Ladang Tari Nan Jombang.
Pada tahun kedua, minat publik bertambah dan frekuensi pentas ditambah dua kali seminggu pada setiap Rabu dan Sabtu dan mampu berjalan selama 4 tahun. ”Selama empat tahun, setiap minggu dua kali saya nonton randai. Itu yang secara tak sengaja memengaruhi karya Ery berbasis randai,” ujarnya.
”Saya sangat percaya kata tetua dulu, menyimak lebih dari membaca, memperhatikan lebih dari praktik,” katanya melanjutkan.
Pentas randai setiap bulan di Ladang Nan Jombang itu menjadi bentuk ucapan terima kasih Ery pada randai. Seperti halnya acara bulanan bernama Festival Nan Jombang tanggal 3 yang merupakan bentuk terima kasih Ery pada seni tradisi, khususnya dari ranah Minang yang telah menumbuhkan dirinya sebagai seniman. ”Saya berterima kasih pada tradisi karena saya datang dari tradisi, saya belajar tari, karya saya berbasis tradisi,” kata Ery.
Ery mempelajari teknik-teknik yang ada di tradisi. Tradisi menjadi titik pijak, perangsang, yang kemudian diolah, dimodifikasi untuk karya kontemporer. Percaya pada kekuatan tradisi, Ery membuka Ladang Nan Jombang sebagai wadah bagi seni tradisi. Pelaku seni tradisi bisa tampil setiap bulan. Selain festival bulanan, di tempat yang sama juga digelar Festival Kaba setiap November. Dari ajang tersebut ia berharap lahir Ery yang lain. Ery yakin banyak potensi yang luar biasa di Minangkabau. ”Mereka perlu kesempatan untuk muncul,” kata Ery yang memerlukan waktu sekitar 25 tahun untuk kemudian bisa berpentas di panggung internasional.
Randai diharapkan Ery menginspirasi seniman muda dalam berkarya, dan terus berproses di atas pijakan kekayaan tradisi. ”Minang harus tampil di tempat terhormat,” katanya.