Mantra Jazz untuk Bangka
”On Broadway” yang menjadi lagu standar jazz populer pada awal 1960-an. Lagu Barry Mann/Cynthia WeilJerry/Leiber/Mike Stoller itu makin populer setelah George Benson merekamnya pada 1977. Itu mengapa Mus Mujiono sebagai ”penghayat” George Benson naik panggung lagi untuk lagu tersebut. Sebelumnya, ia juga ber-”benson”- ria lewat ”Breezin” lengkap dengan scat singing, lantunan suara berbarengan dengan permainan gitar ala George Benson.
Garapan musik Idang Rasjidi dalam konser itu oleh Gubernur Babel Erzaldi Rosman Djohan disebut sebagai berkelas. Dan, oleh karena itu, bekerja sama dengan pengurus Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) setempat, ia menggagas perhelatan jazz yang kemudian dinamai Jazz on the Bridge. Nama hajatan itu dipilih karena Jembatan Emas menjadi salah satu landmark atau penanda Bangka sebagai bagian dari Provinsi Babel. Jazz dijadikan jembatan untuk mengantar orang datang ke Bangka yang dulu, oleh sebagian orang, hanya dikenal dengan tambang timahnya.
Jembatan Emas malam itu memang menjadi primadona. Ia menjadi pesona yang tak terpisahkan dari suguhan jazz di panggung. Dari arena penonton, jembatan yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Februari 2017 itu tampak elok. Jembatan berpendaran lampu warna-warni. Pendar-pendar cahaya melumuri tiang, dan besi-besi penahan jembatan sepanjang 700 meter itu. Ketika jazz sedang mengalun, jembatan dengan sistem buka-tutup itu sempat membuka atau mengangkat badan jembatan untuk dilewati kapal besar. Kedua badan jembatan yang menganga itu terpapar cahaya warna-warni, dan menambah pesona Jembatan Emas di kegelapan malam Kota Pangkal Pinang.
Timah ke pariwisata
Sebelum Jazz on the Bridge digelar, kawasan yang menjadi lokasi acara itu berupa belukar, dan warung-warung. Banyak warga Pangkal Pinang yang kurang hirau akan keindahan kawasan tersebut. ”Saya sendiri baru kali ini ke situ. Sebelumnya cuma lewat ha-ha-ha...,” kata Johan Riduan Hasan, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia, Provinsi Babel yang ikut mendukung acara tersebut.
Johan mengerahkan bulldozer untuk merapikan tanah di sekitar Jembatan Emas. Nyatanya, di sana terhampar areal indah, dimana orang bisa menikmati jembatan di antara pohon nyiur, sungai dengan lalu-lalang kapal, serta menikmati segarnya hawa laut. Tempat itu pula genderang tekad untuk memanggil orang datang ke Bangka ditabuh lewat Jazz on the Bridge.
Gubernur Babel Erzaldi Rosman Djohan yakin jazz akan menjadi jembatan yang baik datangnya wisatawan ke Bangka dan sekitarnya. Ia merencanakan pada gelaran ketiga jazz nanti, skalanya sudah festival jazz internasional. ”Ini salah satu strategi bagi kami untuk mengembangkan pariwisata Bangka Belitung,” kata Erzladi.
Bangka tampaknya sudah berbenah. Pengusaha yang sebelumnya bergerak di bidang tambang timah kini menggarap sektor pariwisata. Salah satunya Johan Riduan Hasan. Ia belajar dari keberhasilan Phuket, Thailand, dimana kawasan tambang kemudian disulap menjadi tujuan wisata. Phuket dulu berpikir tentang masa depan sebelum timah habis terkuras. ”Timah itu matematikanya rumit, dan tidak bisa untuk jangka panjang, bagaimana kalau timah habis, kita mau apa?” kata Johan dalam perbincangan di kafe.
Belajar dari Thailand, kata Johan, Bangka setidaknya harus menyiapkan tiga hal untuk pariwisata. Pertama adalah komitmen pemerintah, kesiapan sumber daya manusia, dan lingkungan hidup harus dijaga. Jazz on the Bridge menjadi salah satu bentuk komitmen tersebut. Untuk lingkungan hidup, Johan pada 2006 mengubah lahan 300 hektar yang sebagian besar merupakan bekas tambang, menjadi kawasan agrowisata bernama Bangka Botanical Garden atau BBG.
Tak terbayangkan, kawasan hijau dengan beragam jenis tanaman itu dulu lahan pertambangan timah. Ada hamparan telaga-telaga kecil, atau katakanlah kolam besar, dengan teratai yang menyejukkan mata. Ada barisan panjang pohon cemara di jalan lurus. Lokasi itu sering dijadikan latar berfoto. ”Mereka bilang
katanya mirip di Jeju, Korea,” kata James Luis dari BBG yang mengantar Kompas berkeliling taman.
Sebagian kawasan digunakan untuk peternakan dengan sekitar 300-an ekor sapi perah. Susu sapi dan ikan yang dihasilkan bisa dinikmati di kafe yang terletak di tepi telaga. Kotoran sapi diolah menjadi kompos. Ada belasan kolam ikan untuk pemancingan dan hasilnya juga bisa dinikmati di kafe.
Selain BBG, Bangka juga mengandalkan pantai-pantai dengan formasi batu granit yang khas. Termasuk antara lain di pantai Pasir Padi, Parai Tenggiri, Batu Perahu, dan Penyusuk. Di luar pesona panorama alam, tradisi Suku Haka yang masih dirawat dan dijalankan sebagian warga juga menjadi pesona Bangka. Ritual seputar Imlek, misalnya, masih dijalankan oleh warga keturunan Suku Haka. ”Kami ingin menjadi museum hidup
dari Suku Haka,” kata Sansan Arya Lukman, Sekretaris GIPI Babel.
Satu keping pembentuk wajah Indonesia ada di Bangka. Jika jazz dipilih sebagai pemanggil orang untuk datang ke Bangka, mungkin itu mantra yang pas. Karena jazz merangkul segala elemen budaya dalam tubuh musiknya.