Patung Lumutan dari Halaman
Budayawan Sindhunata membuka pameran itu. Di dalam sambutannya, Sindhunata menegaskan ungkapan Djoko Pekik tentang karya seni yang menggetarkan.
Sindhunata menyinggung era reformasi di tahun 1998, ketika itu Djoko Pekik melukis ”Berburu Celeng” dan terjual senilai Rp 1 miliar. Lukisan itu cukup kontekstual di masa lengsernya Presiden Soeharto, pemimpin pemerintahan yang pernah memenjarakannya antara 1965 sampai 1972. Djoko Pekik pernah dipersalahkan rezim Soeharto karena dinilai terlibat Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Di dalam lukisan ”Berburu Celeng”, Djoko Pekik tidak pernah secara tegas menggamblangkan gambar celeng tambun yang tertangkap itu adalah sosok penguasa rezim. Djoko Pekik kuat dan rapat dalam menyimpan misteri ini.
Kehadiran tema karya ini dimenangkan oleh momentum sejarah. Momentum peristiwa lengsernya penguasa rezim itu membawa sukacita rakyat. Djoko Pekik di dalam lukisannya menggambarkan sukacita orang banyak yang berhasil menangkap buruan celeng tambun.
”Dari era reformasi sampai sekarang dianggap belum ada lagi karya seni yang menggetarkan. Saya kemudian menanyakan kepada Djoko Pekik, mengapa Djoko Pekik tidak membuat lagi karya seni yang menggetarkan?” kata Sindhunata.
Menurut Sindhunata, Djoko Pekik bermain apologi bahwa dirinya sudah tua. Djoko Pekik berharap seniman-seniman muda yang harus berupaya menghasilkan karya-karya seni yang menggetarkan saat ini.
Seorang kolektor karya seni rupa, Oey Hong Djien (79), hadir pula di situ. Ia mengatakan, tidak adanya karya-karya seni generasi sekarang ini karena senimannya kurang nakal dan kurang gila.
Hong Djien menyebut salah satu contoh kenakalan dan kegilaan seniman Hendra Gunawan (1918-1983). Hendra seperti Djoko Pekik. Ia dipersalahkan dan dipenjarakan rezim Soeharto antara 1965 sampai 1978 karena terlibat di Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra di bawah PKI.
”Seniman sekarang kurang edan. Seniman sekarang takut di-bully (dihina). Kita merindukan seniman yang bebas, tidak takut dikritik,” ujar Hong Djien.
Samuel Indratma, kurator Pameran Rendheng, memberikan tanggapan soal itu. Di panggung ia berujar, ”Kepada para seniman yang hadir di sini, selamat menggilai diri sendiri!”
Pembacaan ulang
Seniman Bambang Heras juga bertindak sebagai kurator Pameran Rendheng ini. Bambang mengatakan, sejumlah karya seni patung luar ruang dipamerkan di Plataran Djokopekik itu sebagai upaya pembacaan ulang.
”Sebagian besar karya seni patung ini karya lama. Melalui pengemasan dan penyajian yang berbeda di luar ruang, terjadi pembacaan ulang untuk melihat ke depan,” kata Bambang.
Patung-patung yang dipamerkan meliputi karya Djoko Pekik, Nasirun, Putu Sutawijaya, Budi Ubrux, Edi Priyanto, Laksmi Shitaresmi, Sutopo, Dunadi, Hedi Hariyanto, Komroden Haro, Nyoman Ateng Adiana, Wahyu Santosa, dan Win Dwi Laksono. Selain itu, sembilan patung karya studi mahasiswa Institut Seni Indönesia (ISI) Yogyakarta ditampilkan.
Sebanyak sembilan patung karya studi mahasiswa ISI itu tidak diketahui nama pembuat dan tahun pembuatannya. Patung-patung itu dibuat dengan teknik pahat dengan batu-batu alam.
Sebagian di antaranya sudah tampak berlumut. Batu alamnya selain berwarna hitam, ada pula yang berwarna putih.
Koleksi patung lainnya yang terbilang tua adalah karya Sutopo. Sutopo merupakan mahasiswa seni patung ISI Yogyakarta pertama di tahun 1957. Sutopo menghasilkan patung-patung potret wajah.
Karya Nasirun ditampilkan di bagian depan Plataran Djokopekik. Nasirun membuat patung berbentuk lima lembaran daun pisang yang berdiri tegak. Dari kejauhan hanyalah tampak patung lembar daun pisang berwarna abu-abu yang ditegakkan di atas tanah.
Ketika didekati, lembaran-lembaran daun pisang memuat goresan-goresan tulisan dan gambar-gambar wayang punakawan dengan warna abu-abu yang sama dengan warna dasarnya. Relief-relief itu menggambarkan pawukon.
”Pawukon itu horoskop Jawa,” ujar Nasirun.
Seniman Putu Sutawijaya menampilkan patung berjudul ”Keterikatan”. Sosok lelaki ada di dalam sebuah lingkaran. Ekspresi geraknya tetap berpegangan lingkaran tadi.
”Keterikatan yang saya maksudkan, itu keterikatan terhadap masa lalu yang menjadi identitas diri. keterikatan itu adalah keterikatan pikiran,” kata Putu.
Putu menceritakan, dirinya yang berasal dari Bali, dan sekarang menetap di Yogyakarta, tetap saja memiliki keterikatan dengan kebudayaan Bali. Keterikatan dengan masa lalu di ranah kebudayaan itu tidak ada yang disalahkan dan tidak ada yang salah.
Keterikatan dengan kebudayaan dan masa lalu tidak akan mudah sirna. Putu menyinggung sebuah ungkapan tentang manusia Jawa. Wong Jawa ilang Jawane atau ’orang Jawa kehilangan kejawaannya’. Ia tidak percaya hal itu akan berlangsung dengan mudahnya.
”Sekarang terjadi ada gerakan mencerabut akar kebudayaan, gerakan yang berupaya menghilangkan identitas lama dengan identitas baru. Saya tidak yakin dengan gerakan seperti itu akan mendapatkan dukungan yang banyak,” kata Putu.
Narasi dari setiap patung karya seniman lainnya tak kalah seru. Ketika mengacu tema pameran, yaitu Rendheng atau musim penghujan, menurut Sindhunata, inilah awal sukacita rakyat agraris untuk kembali menanam tanaman pangan.
Sukacita di musim penghujan adalah sukacita produktivitas. Sukacita dalam berkarya. Sukacita dalam bekerja. Ini relevan melalui pembacaan ulang karya-karya seni patung lama di dalam pameran ini untuk menatap ke depan.
”Ini berbeda ketika memasuki rendheng atau musim penghujan bagi masyarakat kota, yang justru harus menjadi waspada karena menghadapi datangnya ancaman bencana banjir,” kata Sindhunata.
Patung-patung di Plataran Djokopekik menyuguhkan narasi Rendheng. Tentu dengan narasi yang positif, seperti diharapkan seniman Djoko Pekik. Narasi Rendheng untuk bersukacita dalam berkarya menatap ke depan. Narasi Rendheng untuk mendorong buah karya-karya seni yang menggetarkan.
(Nawa Tunggal)