Drama, Tawa, dan Air Mata di Mancanegara
Mereka pernah ditinggalkan sopir bus pengantar karena lebih dari 12 jam shooting belum selesai. Bus ditinggal begitu saja. Setelah menghubungi perusahaan penyewaan bus, baru dikirim sopir pengganti.
Suatu kali Asep bersama kru naik mobil mengelilingi kompleks sebuah gedung yang ternyata Istana Buckingham. Mereka berputar-putar sambil mengambil gambar video gedung hingga akhirnya dibuntuti petugas intelijen. ”Kami, kan, tak tahu kalau itu Istana Buckingham. Ternyata, ada larangan mengambil gambar istana. Jadilah kami dibuntuti intel. Untung kemudian dilepas,” kenang Asep yang film terbarunya, London Love Story 3, akan tayang awal Februari.
Lain lagi dengan pengalaman Ody Mulya Hidayat, produser dari Max Pictures. Ketika persiapan shooting film Runaway di Hong Kong, salah seorang kru ditangkap polisi gara-gara dicurigai membeli sejumlah benda tajam yang sebenarnya untuk properti film, seperti pisau dan kapak kecil. Setelah digeledah polisi, ditemukan enam kartu kredit yang juga untuk properti film. Kru tersebut telanjur dicurigai sebagai pemalsu kartu kredit.
”Kru yang lain sampai nangis-nangis karena bingung. Saya juga harus menunggui semalaman dan kasih keterangan. Polisi akhirnya melepas setelah mendapat konfirmasi dari bank. Kru yang ditahan malah santai. Katanya enak, pagi dikasih makan bubur ayam, siang dikasih steik,” ujar Ody.
Perhatian ekstra
Sutradara Guntur Soehardjanto sudah mengambil gambar di setidaknya 13 negara untuk sejumlah filmnya. Pada dasarnya, shooting di luar negeri sama dengan shooting di Indonesia terkait cara maupun peralatannya. Yang membedakan adalah kultur dan peraturan di negara yang bersangkutan. Kedua hal itulah yang perlu mendapat perhatian ekstra saat merencanakan shooting di luar negeri.
”Kultur itu menyangkut cuaca, makanan. Perut itu susah ditoleransi, apalagi dengan makanan yang tidak biasa kita makan. Cuaca sangat panas atau sangat dingin yang tidak kita alami di Indonesia juga sangat menentukan kinerja,” ujar Guntur.
Film yang dia garap dengan shooting di luar negeri di antaranya 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), Runaway (2014), Assalamualaikum Beijing (2014), Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016), dan Ayat-ayat Cinta 2 (2017). Dia menengarai, sejak film 99 Cahaya di Langit Eropa, shooting film di luar negeri menjadi semakin marak.
Assalamualaikum Beijing, misalnya, harus shooting di China. Lokasi yang dipilih, antara lain, di Temple of Heaven, Lapangan Tiananmen, Hohai, pusat belanja Wang Fujing, dan Tembok Besar. Film Runaway berlatar di Hong Kong. Shooting dilakukan di Causeway Bay, Avenue of Stars, Central, Kowloon, Harbour Grand, dan Jockey Club.
Guntur mengenang shooting di Italia saat musim dingin. ”Saya kira kalau dingin, kerja bisa nyaman. Ternyata efeknya sama dengan shooting saat musim panas. Terlalu dingin atau terlalu panas sama-sama gampang bikin emosi, ha-ha-ha,” tuturnya.
Saat shooting di Hong Kong dalam cuaca sangat panas, kamera overheat. Saat shooting di Italia di tengah salju, baterai kamera cepat sekali drain. Yang terakhir, saat shooting Ayat-ayat Cinta 2 di Edinburgh, Skotlandia, musim panas menjadi sangat panjang, dari pukul 07.00 hingga 22.00.
Dari pengalaman shooting di 13 negara berbeda, yang paling harus diperhatikan adalah persiapan. Kru tidak bisa setiap saat cek lokasi. Kerja sama perlu dilakukan dengan rumah produksi lokal dan kru lokal untuk keinginan shoot seperti apa. Korespondensi harus detail. Yang penting kita mengikuti peraturan yang ada di negara tersebut.
Lebih jelas
Terkait aturan, terutama perizinan, seperti dialami sutradara Monty Tiwa, percaya atau tidak, shooting di luar negeri lebih mudah dan jelas. Kalaupun harus membayar izin lokasi, harganya sudah pasti. Kalau di dalam negeri, justru lebih sering dipersulit dan harga sewa lokasi bisa berubah-ubah.
”Misalnya, lokasi A yang tadinya hanya membayar sewa ke satu pihak tiba-tiba bisa didatangi ormas setempat yang minta jatah. Kalau secara biaya, mungkin pada akhirnya shooting di dalam atau luar negeri jadi beda tipis. Dengan kondisi demikian, tentu tidak bisa disalahkan bila banyak produser memilih shooting di luar negeri,” ujar Monty yang menggarap Critical Eleven di New York dan Sabtu Bersama Bapak di Denmark.
Hal senada disampaikan sutradara Fajar Nugros yang menggarap beberapa film di luar negeri, seperti Refrain, Cinta Selamanya, dan Me & You vs The World. ”Di Indonesia atau di
luar negeri sama-sama melewati proses perizinan. Hanya kalau di luar negeri, seusai mengantongi izin, semua akan berjalan sesuai yang diizinkan. Berbeda dengan perizinan di Indonesia. Kadang-kadang meskipun sudah mendapat izin, mereka masih terhalangi hal-hal lain yang memusingkan tim produksi,” paparnya.
Salman Aristo, sutradara Satu Hari Nanti, menuturkan, bicara soal aturan, semua harus terukur. Misalnya ingin shoot di sini, lalu harus ada orang berjalan di belakang. ”Itu enggak bisa dadakan, enggak bisa seperti di Indonesia. Bagian belakang itu harus ada izin juga. Semua yang ada di frame harus jelas izinnya,” katanya.
Tim Salman punya fixer yang perannya sudah mirip polisi. Sampai ada kesimpulan, ini bukan rapi, melainkan kaku. Ini kaku, bukan lagi disiplin.
Pengalaman para pembuat film ini sedikit berbeda dengan salah satu pendiri rumah produksi di Amerika Serikat. Maya, sebut saja demikian, seorang Indonesia yang selama ini kerap menerima permintaan bantuan dari kalangan sineas Indonesia yang ingin shooting di AS. Persoalannya, sering sekali para sineas itu enggan mengurus izin secara sepatutnya.
”Padahal, kalau mau dilakukan, prosedurnya mudah dan tidak sulit. Di sini semua aturan sudah jelas dan tinggal diikuti. Sayang, orang kita maunya gampang, enggak mau prepare, enggak mau repot sedikit, dan senang jalan pintas, padahal melanggar,” tuturnya.
Maya mencontohkan, di New York tidak perlu city permit untuk film yang dibuat pelajar atau mahasiswa. Film produksi internasional diharuskan bekerja sama dengan rumah produksi lokal dan menggunakan kru lokal untuk kru yang bisa digantikan. Seluruh pihak terkait film, warga non-AS, harus memiliki visa kerja kreatif.
Nawang, orang Indonesia yang tinggal di New York, mengatakan, sejumlah pembuat film Indonesia yang shooting di AS kerap tidak memberi penghargaan atas bantuan dari sesama orang Indonesia. ”Ah, pakai orang Indonesia saja biar enggak bayar.
Lha memangnya kami enggak pakai ongkos transportasi? Belum lagi kalau ada yang menitip anak dan menyewa pengasuh. Saya keluar uang juga,” katanya.
Tak jarang juga film Indonesia yang belum mengantongi izin mengakali dengan menggunakan kamera kecil yang tidak perlu izin. Kalau ketahuan, tinggal bilang saja rekaman untuk pre-wedding.
Masih banyak cerita lain yang mewarnai pembuatan film Indonesia di luar negeri. Ada drama, ada tawa, ada pula air mata. Namun, semua itu tak menyurutkan niat para pembuat film untuk terus menampilkan latar luar negeri dalam karya-karyanya. Ada sisi dunia lain yang selalu bisa bikin penasaran penonton. Jadi harapannya, makin banyak yang nonton, kan?
(EKI/FRO/MHF/WKM/SF)