Belajar Jujur dari Suiseki
Suiseki ”Kakatua” berupa batu hitam yang menyerupai tubuh bagian atas burung kakaktua dengan paruhnya yang khas. Suiseki ”Misteri Danau Kotak” juga berupa batu hitam yang memiliki citra panorama pemandangan.
Di salah satu penampang batu ”Misteri Danau Kotak” terbentuk kotak yang diisi air. Sonny mengandaikan kotak itu sebagai danau di tengah panorama alam yang misterius.
Keindahan suiseki terbentuk dari batu yang digerus air terus-menerus secara alami selama bertahun-tahun, bahkan bisa mencapai ribuan tahun. Gerusan air membentuk cekungan atau sampai menjadi lubang di batu. Namun, hasil gerusan air yang paling lazim itu berbentuk oval atau melingkar.
”Cekungan batu berbentuk kotak ini menyimpan misteri. Suiseki yang baik selalu menyimpan dan memiliki misteri,” kata Sonny.
Sonny mendapatkan suiseki ”Kakatua” dan ”Misteri Danau Kotak” dari Ombilin, Sumatera Barat. Suiseki koleksi kolektor lain ada yang membentuk panorama seperti pulau karang di Tanah Lot, Bali. Ada juga suiseki yang menyerupai patung seorang ninja, kapal layar pinisi, robot, lumba-lumba, air terjun, gunung, kura-kura, dan sebagainya.
Dari beberapa referensi disebutkan, seni suiseki tertua sudah dikenal sejak 1.500 tahun silam di China, persisnya dari Dinasti Tan dan Sung pada periode tahun 618-907 Masehi.
Suiseki bisa ditampilkan secara mandiri atau berdiri sendiri. Meski demikian, suiseki juga bisa dipadukan dengan seni bonsai. Ini seperti yang ditampilkan pada bonsai koleksi Tora (44) dalam pameran tersebut.
Batu-batuan kapur dengan rongga-rongga alami disusun Tora menjadi media tanaman bonsainya. Setidaknya ada sembilan bonsai dengan tanaman utama, antara lain, pohon mustam (Diospyros montana) dan hokian tea (Carmona microphylla).
Berbeda dengan suiseki yang dapat secara alami terbentuk oleh faktor alam, bonsai dimungkinkan sebagai hasil campur tangan manusia.
Lima maestro
Chairman Jababeka Group SD Darmono menggagas pameran seni rupa Standing with the Masters dengan menampilkan karya utama lima maestro versi Oei Hong Djien, kolektor asal Magelang, Jawa Tengah. Kelima maestro meliputi Affandi, Kartika Affandi, Hendra Gunawan, Soedibio, dan H Widayat.
Menurut Oei Hong Djien, ada lima subject matter yang menginspirasi para maestro dalam sejarah seni rupa kita. Kelimanya meliputi potret, pemandangan, politik atau perang, kehidupan sosial, serta simbolisme atau mitologi.
Disebutkan, ada 159 karya lukisan, patung, bonsai, dan suiseki yang ditampilkan di Jababeka Convention Center. Lukisan para maestro hadir di sela lukisan-lukisan besar lain, seperti karya Nasirun, di beberapa bidang panel.
Selepas dari pintu masuk ruang pamer, dua dinding panel berhadap-hadapan membentuk lorong di tengahnya. Di salah satu dinding panel dipajang satu karya Nasirun berukuran besar. Di dinding seberangnya ada karya seni realisme oleh Djoko Susilo berupa potret beberapa tokoh publik, seperti Presiden Joko Widodo, Einstein, atau Affandi.
Karya Nyoman Gunarsa dipajang di ujung lorong. Lorong itu kemudian berbelok ke kiri memasuki arena pameran bonsai dan suiseki. Dari ruang pamer bonsai dan suiseki terhubung ruang pamer seni patung. Dari situ mengalir ke arena yang cukup luas untuk menggelar karya-karya lukisan.
Di sisi kiri lagi-lagi dijumpai lukisan dengan figur Presiden Joko Widodo karya Tato Kastareja. Ukuran lukisan itu termasuk besar. Wajah Joko Widodo menghadap ke muka ada di bagian kanan, sedangkan di bagian kiri terlihat sosok Joko Widodo dari belakang sedang mengawasi berbagai proyek infrastruktur.
”Ini ekspresi saya tentang Jokowi (Joko Widodo). Ia pemimpin bangsa yang tidak pernah berkata ’besok’ untuk menuntaskan pekerjaan. Jokowi itu gesit dan tanggap,” ujar Tato.
Tato selama ini menetap di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Sejumlah 32 seniman dari Ancol ini menampilkan masing-masing satu lukisan di pameran tersebut.
Tato bersama rekan-rekannya menampilkan karya-karya lukisan untuk pertama kalinya di Jababeka. Ia berharap intensitas pameran seni rupa di Jababeka terus digiatkan.
Jababeka menjadi sebuah kota mandiri yang berjarak sekitar 35 kilometer di sebelah timur Jakarta. Kawasan seluas 5.600 hektar ini dirintis Setyono Djuandi Darmono (69) sejak 1989 menjadi kawasan industri.
Kota Jababeka mencakup wilayah industri lokal dan asing. Setidaknya pernah tercatat sekitar 1.650 industri lokal dan multinasional di Jababeka. Industri multinasional dikelola lebih dari 30 negara.
Darmono menjadikan pameranStanding with the Masters untuk mempromosikan karya-karya seni rupa di Jababeka. Standing with the Masters sekaligus ditujukan untuk menunjang proses belajar dari para maestro. Senada dengan yang diungkapkan Darmono, Oei Hong Djien di salah satu panel lukisan menuliskan, ”Seni yang baik tak kenal zaman. Ia akan bertahan sepanjang segala masa”.
Karya para maestro menjadi ruang belajar seni bagi generasi berikutnya. Namun, seni itu sendiri kebenaran dan kejujuran. Tidak hanya dari karya-karya para maestro, dari suiseki kita juga bisa belajar soal kebenaran dan kejujuran. (NAWA TUNGGAL)