Film ini merupakan adaptasi dari buku berjudul Horse Soldiers karya Doug Stanton yang bercerita tentang prajurit paramiliter CIA dan US Special Forces yang dikirim ke Afghanistan tak lama setelah serangan 9/11. Pasukan yang terdiri atas 12 orang ini adalah pasukan pertama yang turun ke medan perang di bawah Kapten Mitch Nelson (Chris Hemsworth) yang belum pernah sekalipun berperang.
Alam yang keras dan jauh dari markas pasukan AS di Uzbekistan seolah memberi tiket sekali jalan kepada pasukan Nelson. Memenangi pertempuran adalah satu-satunya tiket pulang yang harus direbut dalam waktu 21 hari sebelum musim dingin tiba dan ”menyembunyikan” keberadaan pasukan Taliban. Pasukan Nelson sebenarnya menjalankan misi yang hampir tidak mungkin karena, menurut perhitungan, target baru bisa dicapai dalam waktu enam minggu. Namun, Nelson, sang kapten yang nol pengalaman ini justru berkeras bisa melakukannya dalam waktu tiga minggu sehingga pasukannya terpilih terjun pertama kali.
Pasukan Nelson di bawah tim Operational Detachment Alpha (ODA) 595 diminta mendekati Jenderal Abdul Rashid Dostum (Navid Negahban) dari Aliansi Utara. Dalam perjalanannya, Dostum bisa mendukung satu kubu, tetapi di lain waktu bisa berbalik memusuhi. Namun, ia tidak pernah mendukung dan sebaliknya sangat membenci Taliban. Kesamaan kepentingan untuk menghancurkan Taliban ini yang menyebabkan AS mendekati Dostum.
Pasukan Nelson ditugasi menguasai Mazar-i-Sharif, kota keempat terbesar di Afghanistan yang diduduki Taliban. Kota ini dulu pernah dikuasai Dostum. Kondisi alam membuat Nelson dan pasukannya harus bertempur sambil berkuda yang disediakan oleh Dostum. Berkuda adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukan pasukan Nelson sebelumnya. Nelson sendiri beruntung mengetahui banyak hal tentang kuda karena besar di peternakan. Tidak begitu dengan anak buahnya. Namun, adaptasi ternyata berjalan cukup lancar seperti terlihat di layar.
Saling melindungi
Tantangan pasukan Nelson bukan sekadar memikirkan strategi mengalahkan Taliban sekaligus menaklukkan rintangan alam, melainkan juga bernegosiasi dengan Dostum. Ketidakpercayaan yang sempat muncul di antara kedua pihak menciptakan gesekan yang dapat berakibat fatal. Namun, konflik, terutama antara Nelson dan Dostum, ternyata di belakang hari mempererat hubungan keduanya.
Di medan perang, kedua pihak saling melindungi. Di darat, pasukan Nelson banyak bergantung pada Dostum yang memahami medan. Ketika hendak menyerang Taliban, giliran Nelson memanggil serangan udara dengan bom-bom B-52 yang memusnahkan. Daerah demi daerah menuju Mazar-i-Sharif mulai dikuasai. Namun, menjelang masuk Mazar-i-Sharif, Dostum justru mundur karena kecewa AS menerjunkan pasukannya lainnya untuk bekerja sama dengan Jenderal Atta untuk menguasai kota itu dari arah lain. Pasukan Nelson nyaris berjuang sendirian.
Sebagai film perang, 12 Strong cukup menarik untuk ditonton. Namun, jangan berharap terlalu banyak pada aspek humanitasnya, terutama terkait kisah masyarakat sipil di Afghanistan yang membuat penasaran. Film lebih berfokus pada perjuangan pasukan Nelson, heroisme pasukan AS ala Hollywood. Hanya satu dua kali terselip kisah kehidupan masyakat Afghanistan, yakni saat pasukan Nelson tawar-menawar harga domba dengan petani yang melintas dan kisah seorang ibu yang ditembak mati di depan ketiga anak kandungnya karena membacakan mereka buku-buku. Taliban melarang anak perempuan di bawah usia delapan tahun mendapat pendidikan.
Dari segi visual, lanskap alam tempat shooting yang berlokasi di New Mexico, AS, cukup menggugah dan menggoda mata. Film lebih banyak mengunggulkan sosok Mitch Nelson yang digambarkan cerdas, taktis, dan berjiwa kepemimpinan tinggi. Nelson dan pasukannya menjalankan misi rahasia. Meski memenangi pertempuran, kepulangan mereka seolah-olah seperti baru pulang dari bepergian biasa ke luar negeri. Tidak ada penyambutan khusus. Hanya saja, beberapa tahun setelahnya, dibangun patung prajurit berkuda di area WTC sebagai penghargaan terhadap pasukan berkuda Nelson. Narasi ini dituliskan di bagian akhir film.
Di luar itu, perang selalu menimbulkan ironi. Peperangan yang hanya dipahami sekelompok orang, tetapi lebih banyak mengorbankan orang-orang tak berdosa, yakni mereka yang harus menanggung ambisi sekelompok orang terhadap nafsu kuasa.