Melampaui Batas Realitas
Begitu cairan itu menetes masuk ke matanya, Ren Amari langsung kehilangan kesadaran. Beberapa detik kemudian, saat membuka mata, perempuan itu telah berada di ruangan sempit yang akan menjadi penjara baginya selama setahun ke depan. Di tempat itu terdapat layar besar berisi angka yang menandakan sudah berapa lama Amari terkurung.
Selama 365 hari berada di penjara, Amari merasakan siksaan kesepian dan kebosanan yang luar biasa berat. Selain tak bisa bebas beraktivitas dan berinteraksi dengan orang lain, ia juga tak bisa melihat dunia luar sama sekali. Bahkan, ia juga tak pernah bertemu dengan penjaga penjara karena makanan dan minuman untuknya seolah muncul secara otomatis setiap hari di sebuah kotak penyimpanan.
Lalu, di manakah lokasi penjara tempat Amari diisolasi itu? Jawabannya ternyata mengejutkan karena penjara itu sesungguhnya tidak benar-benar ada. Ruang isolasi itu merupakan ”penjara virtual” yang hanya eksis di otak Amari. Namun, meski tidak benar-benar riil, siksaan akibat terkurung di penjara itu terasa sangat nyata berkat ”cairan ajaib” yang menyebabkan otak Amari tak mampu lagi membedakan realitas rekaan dan realitas sungguhan.
Kisah ihwal ”cairan ajaib” yang menghapus batas realitas dan khayalan itulah yang menjadi poros utama film fiksi sains asal Australia, OtherLife. Film yang disutradarai Ben C Lucas itu pertama kali dirilis pada Juni 2017 di Sydney Film Festival, Australia. Setelah itu, film berdurasi 96 menit tersebut diputar di sejumlah festival di Australia, Jerman, dan Amerika Serikat (AS). Mulai Oktober 2017, OtherLife juga ditayangkan di situs layanan film digital Netflix.
Awal tahun ini, OtherLife hadir ke Indonesia melalui Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) yang berlangsung di empat kota, yakni Jakarta, Makassar, Surabaya, dan Denpasar, 25-28 Januari. Pada FSAI yang berlangsung di Jakarta, OtherLife diputar pada Jumat (26/1) sore.
Selain OtherLife, FSAI 2018 juga memutar sejumlah film lain yang berasal dari Australia dan Indonesia. Dari Australia ada Ali’s Wedding, Red Dog: True Blue, Dance Academy, Killing Ground, dan Rip Tide. Sementara dari Indonesia, ada Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, Melbourne Rewind, dan beberapa film yang merupakan finalis kompetisi film pendek FSAI 2018.
”Kehidupan lain”
Skenario film OtherLife ditulis berdasarkan adaptasi yang longgar atas novel Solitaire karya penulis AS, Kelley Eskridge. Bersama Ben C Lucas dan Gregory Widen, Kelley juga ikut menulis skenario film tersebut.
Plot utama OtherLife bercerita tentang Ren Amari (Jessica De Gouw), peneliti dan pendiri sebuah perusahaan teknologi yang berupaya mengembangkan perangkat lunak biologis yang mampu menghadirkan realitas virtual di otak manusia. Perangkat lunak biologis itu berupa cairan yang dimasukkan ke otak melalui mata. Begitu cairan itu masuk ke otak seseorang, ia akan merasakan sebuah pengalaman yang telah diprogram di dalam perangkat lunak tersebut.
Awalnya, teknologi itu diciptakan sekadar untuk memberi pengalaman baru atau sebuah ”kehidupan lain” (other life) pada penggunanya. Mereka yang belum atau tak berani memanjat tebing tinggi atau meluncur dari gunung es, misalnya, bisa merasakan pengalaman mendebarkan semacam itu dengan memanfaatkan perangkat lunak biologis ciptaan Amari. Tentu saja pengalaman itu tidak riil, hanya rekaan alias palsu, tetapi sensasi merasakan pengalaman tersebut terasa sangat nyata.
Namun, saat pengembangan perangkat lunak biologis mendekati tahap akhir dan hendak dijual secara komersial, rekan Amari, Sam (TJ Power), berupaya menggunakan produk tersebut untuk tujuan lain. Ia menjalin kerja sama dengan lembaga pemerintah untuk membuat ”penjara virtual” berbasis perangkat lunak tersebut. Malangnya, karena suatu kasus, Amari akhirnya dijadikan kelinci percobaan sebagai penghuni ”penjara virtual” itu. Ia pun harus bersusah-payah keluar dari realitas rekaan yang mengurungnya dan merebut kembali hasil risetnya yang hendak disalahgunakan.
Biaya murah
Dalam dunia perfilman internasional, tema tentang realitas virtual sudah berkali-kali muncul dan dieksplorasi. Kita mengenal sejumlah film Hollywood yang mengeksplorasi ihwal kaburnya batas realitas dan khayalan atau mimpi, misalnya trilogi The Matrix, Inception, dan Total Recall. Dibandingkan dengan film-film Hollywood itu, OtherLife bisa jadi kalah dalam hal efek visual dan kemegahan setting karena film ini diproduksi dengan biaya yang jauh lebih murah.
Menurut salah seorang produser OtherLife, Aidan O’Bryan, biaya produksi film tersebut hanya sekitar 2 juta dolar AS. ”Ini film yang diproduksi dengan biaya yang sangat murah, bahkan untuk ukuran film Australia,” katanya seusai menghadiri pemutaran OtherLife di Jakarta. Sebagai perbandingan, film pertama The Matrix yang diproduksi tahun 1999 menghabiskan biaya 63 juta dolar AS, sementara Inception (2010) membutuhkan biaya 180 juta dolar AS.
Meski begitu, OtherLife tetap merupakan film fiksi sains yang layak untuk ditonton. Apalagi, selain unsur sains, film ini juga menyajikan ketegangan yang terus memuncak. Pada satu titik, sutradara Ben C Lucas bahkan mengaduk dan mengacaukan realitas sungguhan dan realitas rekaan di film tersebut sehingga penonton pun harus berpikir keras untuk memilah mana peristiwa yang sungguhan terjadi dan mana kejadian yang merupakan pengaruh perangkat lunak biologis ciptaan Ren Amari.
Selain itu, unsur drama yang emosional juga cukup mewarnai OtherLife, terutama terkait hubungan Amari dengan ayah, adik lelakinya, dan sang kekasih. Saat cerita film ini bergulir makin jauh, motif Amari mengembangkan perangkat lunak biologis itu pun akhirnya terkuak. Penonton pun kemudian tahu bahwa ada alasan yang sangat personal di balik keputusan dan ambisi Amari.
Meski begitu, pada akhirnya, Amari juga mesti menghadapi dua pilihan sulit, yakni terus mengembangkan temuannya untuk melampaui batas realitas atau justru berhenti dan menerima realitas sebagaimana adanya. Pilihan mana yang akan diambilnya? (Haris Firdaus)