Realisme Magis Genevieve
”Ada hasrat spiritual untuk melampaui realita. Inilah gaya realisme magis Genevieve,” ujar Jean ketika memandu kunjungan wartawan menjelang pembukaan pameran lukisan Genevieve Couteau: The Orient and Beyond.
Deretan lukisan para biksu Buddha lainnya dilukiskan dengan napas yang sama. Di situ terasa hasrat spiritual Genevieve yang tak mudah diraih deskripsinya. Namun, goresan garis dan sapuan warnanya terasa khidmat.
Lukisan ”Monk/Oraison au Vat Chanh” menggambarkan seorang biksu seperti larut dalam permenungannya sendiri. Lukisan ”Praying” dengan tiga biksu menunduk sedang berdoa takzim.
Genevieve berhasil menghadirkan citra kerohanian atau hasrat spiritual dari para biksu di Laos. Berbeda ketika Genevieve menghadirkan sosok-sosok orang Bali yang diinterpretasikan secara figuratif memiliki suatu keriangan. Genevieve menemukan sosok orang-orang biasa di Bali dan melukis mereka tatkala dalam ruang keseharian. Ruang yang dipenuhi perayaan dan keriangan.
Lukisan ”Puppet Show Theatre” menggambarkan pementasan wayang dengan seorang dalang yang dikerumuni sebagian besar ibu-ibu. Ada seorang ibu yang sedang menggendong anak kecilnya. Raut muka ibu-ibu dilukiskan sedang larut dalam kisah pementasan itu.
Perempuan menjadi obyek penting dalam setiap karya Genevieve tentang Bali. Seperti lukisan ”Papillon Vole ou Cerfs Volants”. Di situ dilukiskan betapa riang sekelompok gadis bermain kain yang diikatkan di pinggang. Kemudian kedua tangannya menarik kedua ujung kain sisi lainnya dan berlarian. Kain itu pun menggelembung seperti layar kapal. Gadis-gadis itu seperti kupu-kupu bersayap yang ceria. ”Di situ ibu saya seperti ingin lepas dari realitas kesehariannya,” kata Jean.
Selamat datang
Pameran lukisan Genevieve Couteau: The Orient and Beyond dibuka Duta Besar Perancis untuk Indonesia dan Timor Leste Jean-Charles Berthonet, Rabu (24/1) malam. Sebelumnya, sejak pagi hingga sore, digelar Simposium Pasca-Orientalisme dan Masalah Apropriasi Budaya.
Hadir beberapa narasumber simposium, yakni Anak Agung Rai, I Gede Arya Sugiartha, Eddy Soetriyono, Wayan Kun Adnyana, Radhar Panca Dahana, Bambang Sugiharto, Goenawan Mohamad, Taufik Rahzen, dan Garin Nugroho. Diskusi dipandu Jean Couteau dan Nirwan Dewanto. Perdebatan berbagai hal mengenai apropriasi atau pengambilalihan budaya meletup.
”Akan tetapi, ini semua terlepas dari apa yang dipamerkan,” ujar Radhar seusai menjadi salah seorang narasumber.
Kritikus dan pengamat seni rupa Agus Dermawan T dalam catatannya di buku pameran itu menuangkan tulisan berjudul ”Selamat Datang Genevieve!”
Ia mengutip buku Lexicon of Foreign Artists Who Visualized Indonesia atau tentang susunan perupa asing yang melukis tentang Indonesia oleh Leo Haks & Guus Maris pada periode 1600 sampai 1950.
”Seandainya buku terbitan 1995 tersebut memperlebar pengamatannya sedikit sampai 1990, misalnya, niscaya nama Genevieve Couteau, yang pernah tinggal dan melukis di Bali, akan ditelusuk dan dibongkar riwayatnya, serta dideskripsikan segenap lukisan Balinya,” begitu tulis Agus Dermawan.
Genevieve dilahirkan di Paris, Perancis, dari keluarga pedagang saham yang ulet. Menjelang Perang Dunia II, Genevieve dibawa mengungsi keluarganya ke Nantes, Perancis. Di Nantes inilah Genevieve menyelesaikan studinya menjadi alumnus terbaik di Sekolah Tinggi Seni Rupa Nantes pada 1951. Di Nates itu pula Genevieve menemukan pasangan hidupnya, Joseph Couteau (1916- 2004). Dari pasangan itu, lahirlah Edmee, Jean, dan Pierre.
Pada tahun 1952, Genevieve menerima anugerah Penghargaan Lafont untuk Gambar Hitam Putih (Prix Lafont Noir et Blanc). Jean Couteau menyebut karyakarya ibundanya termasuk dalam tradisi pelukis penjelajah (peintre voyageur). Dengan medium hitam putih, mula-mula Genevieve menggurat obyek di Galicia, Spanyol, kemudian Venesia, Italia, dan Paris, Perancis.
Dalam karya lukisannya yang berwarna, Genevieve melukis obyek-obyek yang ditemuinya di Laos, Bali, Yunani, Venesia, dan terakhir di Mali. Genevieve datang pertama kali ke Asia, yaitu Laos, pada tahun 1968. Selama enam bulan hingga 1969, Genevieve tinggal di Laos atas undangan Perdana Menteri Laos Pangeran Souvannah Phouma. Genevieve diundang untuk melukis potret keluarga Perdana Menteri.
Penjelajahan di Laos merangsang hasrat spiritual Genevieve berikutnya tentang Bali. Menurut Jean, untuk pertama kalinya Genevieve datang ke Bali pada tahun 1972. Pada waktu itu, Jean sudah terlebih dahulu singgah dan tinggal di Bali.
”Genevieve baru menelusuri Bali secara mendalam pada tahun 1975,” kata Jean. Seingatnya, Genevieve mengunjungi Bali selama lima kali, mulai 1972 hingga 1996.
Genevieve terkesan betul dengan para pelukis tradisi di Ubud, Bali. Mereka melukis dengan hanya lengan yang bergerak-gerak sambil berdiri. Melukis bagi orang-orang Ubud seperti kebiasaan tradisi sehari-hari. Ini jelas berbeda dengan tradisi melukis di Barat.
Dari sekian banyak gambar tentang sosok orang-orang Bali, ada salah satu gambar yang sangat menarik. Gambar dengan goresan garis hitam di atas kertas berwarna putih itu diberi sapuan warna pastel dan diberi judul ”Old Lempad”. Itulah gambar imajinatif tentang seniman I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978).
Di era 1970-an, perempuan Bali masih seperti di era tahun 1930-an. Mereka masih bertelanjang dada, menjadi sebuah eksotisme yang banyak digunakan sebagai obyek lukisan tubuh perempuan yang menarik. Genevieve tidak tergoda untuk melukis keindahan tubuh perempuan. Ia menekankan ciri kesamaan perempuan Bali dengan perempuan-perempuan lainnya yang pernah ditemui Genevieve, baik di negerinya sendiri maupun negeri lainnya.