Perangkap Hantu Ingatan
Lelaki sepuh bernama Bram itu merupakan satu dari tiga tokoh yang hadir dalam pertunjukan Memori Disorder yang dipentaskan oleh Teater Stasiun di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu (28/1). Pentas tersebut merupakan bagian dari Djakarta Teater Platform, program Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta yang bertujuan mengembangkan kualitas pementasan teater.
Program Djakarta Teater Platform dimulai sejak tahun lalu dan telah menampilkan pertunjukan dari tiga kelompok teater, yakni Teater Payung Hitam dari Bandung serta Teater Poros dan Bandar Teater Jakarta yang berasal dari Jakarta. Setelah tiga pertunjukan pada 2017, program tersebut kembali dihadirkan pada tahun ini dengan menampilkan Teater Stasiun, sebuah kelompok teater yang berdiri tahun 1993 atas prakarsa para pengurus Karang Taruna Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
”Kelompok ini kami namai Teater Stasiun karena tempat kami, kan, dekat dengan Stasiun Angke,” kata tokoh Teater Stasiun, Edian Munaedi, yang juga menyutradarai pertunjukan Memori Disorder. Edian menambahkan, awalnya Teater Stasiun memang hanya beranggotakan para remaja di Kelurahan Angke. Namun, seiring berjalannya waktu, anggota kelompok teater ini berasal dari banyak wilayah dan latar belakang.
Tiga tokoh
Memori Disorder bercerita tentang tiga orang tua yang terus-menerus dihantui oleh kenangan-kenangan masa silam. Tiga tokoh itu, yakni Bram (Joind Bayuwinanda), Merry (Anggun Anggendari), dan Bardi (Indra Prasetio), selalu dibayang-bayangi memori buruk ihwal peristiwa yang terjadi pada masa muda mereka. Akibatnya, saat mereka beranjak tua, kehidupan Bram, Merry, dan Bardi menjadi tidak tenang, penuh tekanan, dan diwarnai aneka ragam kekacauan.
Bram merupakan bekas tentara yang dulu pernah bertugas di Timor Timur dan ikut dalam Operasi Seroja pada dekade 1970-an. Kenangannya saat mengikuti perang di Timor Timur, juga rasa trauma atas kematian sang istri, membuat masa tua Bram diwarnai kesuraman. Pada masa tua itu, ia tinggal bersama sahabatnya bernama Bardi yang pincang.
Sementara itu, Merry adalah perempuan yang pada masa lalu pernah diperkosa oleh Bram. Akibat perbuatan biadab itu, Merry akhirnya melahirkan seorang bayi. Pengalaman traumatik itulah yang mewarnai kehidupannya hingga masa tua.
Edian mengatakan, cerita tentang orang-orang tua yang terperangkap dalam memori buruk itu diilhami oleh pengalaman sejumlah orang, termasuk kerabat Edian sendiri. Selain itu, para anggota Teater Stasiun juga mengunjungi panti wreda untuk menggali informasi lebih banyak tentang kehidupan orang-orang lanjut usia yang tinggal di sana.
Awalnya, kata Edian, cerita tersebut hendak dituangkan ke dalam sebuah pertunjukan teater realis. Naskah awal pentas Memori Disorder yang ditulis Edian pun awalnya berbentuk lakon realis. Namun, dalam proses penggarapan yang melibatkan tukar gagasan dengan sejumlah pihak, pertunjukan ini menemukan bentuknya yang baru dan sangat berlainan dari rencana awal.
”Naskah awalnya adalah naskah realis biasa, tetapi kemudian mengalami perubahan. Naskah awal itu mungkin hanya sekitar 20 persen yang akhirnya kami pakai,” ujar Edian.
Simbolik
Dari segi bentuk, pentas Memori Disorder memang tak bisa dikategorikan sebagai pertunjukan teater realis sebab alur cerita dalam pentas ini tidak dibangun melalui dialog dan adegan di antara tokoh-tokohnya. Memori Disorder lebih banyak menyampaikan cerita melalui cara-cara yang simbolik dan porsi dialog antar-tokoh dalam pertunjukan itu tampaknya memang sengaja diminimalkan.
Untuk mendukung dunia simbolik yang hendak dibangun, Teater Stasiun memanfaatkan aneka properti dan teknologi, misalnya topeng, boneka, dan video. Penggambaran rasa kehilangan Bram atas kematian sang istri, misalnya, dilakukan dengan menghadirkan sebuah boneka seukuran manusia yang bertugas ”memerankan” istri Bram yang bernama Putri.
Dalam berbagai adegan, ditampilkan bagaimana Bram menganggap boneka itu sebagai istrinya yang masih hidup dan sehari-hari terus bersamanya. Itulah kenapa Bram terus mengajak boneka itu berbicara, memberinya bunga mawar sebagai tanda cinta, dan bahkan mengajak boneka tersebut untuk berdansa. Ketika boneka itu hendak dihancurkan oleh tokoh lain, Bram berlutut dan memohon ampun agar ”sang istri” selamat.
Selain aneka ragam properti yang digunakan, unsur utama yang membangun dunia simbolik dalam Memori Disorder adalah koreografi atau gerak tubuh para pemainnya. Gerak tubuh ini antara lain tampak dominan untuk menampilkan kepedihan hidup Merry.
Pada satu adegan, Merry ditampilkan tengah mengalami pemerkosaan oleh Bram. Adegan pemerkosaan itu ditampilkan di balik layar putih sehingga penonton hanya bisa melihat siluet dua sosok yang saling bergumul—satu di antara sosok itu bukan orang sungguhan, melainkan hanya boneka.
Pada adegan lain, Merry yang tengah hamil hadir berguling-guling di panggung, tubuhnya menggelepar-gelepar menandakan kesakitan. Tak lama kemudian, ia telah memegang seorang bayi (tentu saja diperankan oleh sebuah boneka) yang kemudian digendongnya dengan penuh kasih sayang.
Gerak tubuh itu—yang antara lain diambil dari gerakan bela diri—juga hadir dominan pada akhir pentas saat Merry datang ke rumah Bram untuk menuntut pertanggungjawaban. Di sana, perempuan itu kemudian bertemu dengan Bardi yang ternyata pernah memiliki hubungan dengannya pada masa lalu.
Saat menyimak pertunjukan ini, penonton barangkali tak bisa mendapatkan sebuah kisah utuh yang padu dan detail seperti ketika menonton pentas teater realis. Itu karena dunia simbolik yang dibangun dalam Memori Disorder tampaknya memang kurang mampu menyampaikan cerita secara lancar.
Akan tetapi, bisa jadi, pentas ini memang tak bertujuan menyajikan sebuah kisah utuh, tetapi sekadar menghadirkan sketsa-sketsa untuk menggambarkan bagaimana ingatan bisa begitu menyiksa dan mengurung kita dalam trauma.