Estetika Seni Liyan
Hanya sebagian di antara senimannya yang hadir dalam pembukaan pameran pada Jumat (9/2) dan akan berlangsung hingga 24 Februari ini. Di antara segelintir seniman yang hadir itu adalah Hana Alfikih (26) yang lebih menyukai menggunakan nama Hana Madness. Sebanyak 18 karya lukisannya dipajang dengan kekhasan yang sangat mudah dijumpai, yaitu gambar-gambar menyerupai kartun monster anak-anak.
Uniknya, Hana memberi nama monster-monster di masing-masing lukisannya dengan unik. Ada monster yang dinamai dari obat-obatan yang pernah dikonsumsinya hingga monster bernama seperti Bipo, Polar, Skizo, Dopamin, atau Medico. Sempat salah didiagnosis menderita skizofrenia, Hana sesungguhnya memiliki riwayat gangguan psikologis bipolar yang memengaruhi perubahan suasana hati secara drastis.
Perubahan suasana hati itu pula yang terselami dari karya-karya lukisan Hana. Monster-monster dengan sentuhan aneka warna ceria tampak berjubelan tertawa dan tersenyum—bahkan ada yang berbentuk es krim—dalam karyanya berjudul ”In A Good Mood”. Karya lainnya berjudul ”Manic Depressive” yang merupakan istilah lain dari bipolar disorder berlatar belakang hitam dengan monster-monster lucu, tetapi saling menabrakkan diri satu sama lain seperti yang terjadi di alam pikirannya.
Lukisan Hanna berjudul ”Catching The Rainbow” menggambarkan suasana hatinya ketika sedang berada dalam posisi ternyaman dalam hidupnya. Masa ketika ia sedang mendapat banyak apresiasi. ”Aku mulai melihat dunia kayak pelangi. Aku suka aja dengan perpaduan warna warni. Dulu, ketika aku masih kacau, lukisanku lebih banyak hitam putih. Sekarang, enggak pernah lagi. Aku hanya ingin explore apa yang aku bisa dan mewakili diriku,” kata Hana yang tak tertarik membuat karya lain selain lukisan monster.
Pemberi kejujuran
Jika Hana bisa menjelaskan detail karyanya, berbeda lagi dengan seniman art brut lainnya, seperti Anfield Wibowo yang tunarungu dan mengalami gangguan asperger serta Dwi Putro yang mengalami gangguan mental organik. Mereka sulit berkomunikasi dan penikmat karya-karyanya hanya bisa menduga-duga apa yang sebenarnya ingin disampaikan lewat lukisannya.
Karya lukisan Dwi Putro berupa kumpulan gambar karakter wayang dijelaskan oleh pembina Art Brut Indonesia, Puri Hadiprana, sebagai karya tentang perang Baratayuda. ”Art brut adalah seni mentah. Art Brut Indonesia menjadi wadah komunitas dengan kelebihan kebutuhan khusus dan punya bakat di bidang seni,” kata Puri dalam pembukaan pameran.
Ayahanda Anfield (13), Donny Mardonius, mengenali perubahan keragaman karya anaknya seturut dengan perkembangan usia. Anfield melukis beragam jenis aliran seni, mulai dari ekspresif, impresif, naturalis, realis, hingga abstrak. Meski tak seorang pun bisa mengatur karyanya, semua lukisan Anfield memiliki satu irama goresan yang sama. Biasanya, ia menyelesaikan karyanya dalam waktu singkat dengan garis tegas. Jika suatu karya tak kelar dalam maksimal dua jam, sudah pasti lukisan itu tak akan pernah dirampungkan.
Seiring semakin sulitnya pendidikan yang harus dijalani di SLB B Pangudi Luhur dan makin ruwetnya lalu lintas Jakarta yang setiap hari harus dihadapi, Donny mengamati bahwa Anfield justru makin sering berkarya. Saat ini, setiap malam dia pasti harus melukis satu karya di atas kanvas. ”Kertas membatasi imajinasinya. Dan sekarang kanvasnya makin besar. Dia enggak pernah minta apa-apa. Dia pemberi kejujuran, karya dia orisinal. Tiap hari ada kejutan. Kadang pulang kantor jadi pengin cepat pulang, dia lukis apa lagi, ya?” kata Donny.
Pernah pula ada masa ketika Anfield yang sudah melukis sejak kecil ini sama sekali tidak mau melukis selama tiga bulan. Karena tunarungu, ia cenderung fokus setiap kali berkarya dan tidak pernah takut untuk menggoreskan kuas. Gangguan asperger yang dideritanya juga menciptakan perspektif beda dengan imajinasi tanpa batas. Berbagai kelemahan yang dimiliki ternyata justru menjadi bahan bakar dan kekuatan ampuh dalam berkarya.
Pianis Ananda Sukarlan yang turut membuka pameran dan merupakan penderita asperger menyebut bahwa jika seorang seniman merupakan penyandang disabilitas, bukan berarti bahwa karyanya kurang dibandingkan mereka yang tergolong normal. ”Kami yang katanya disable ini menawarkan kelebihan. Kontribusi kami adalah karena bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda. Kami bukan inferior, tapi hanya berbeda,” kata Ananda yang didiagnosis asperger ketika berusia 28 tahun di Bulgaria.
Senjata kuat
Bagi Anfield, melukis bukan 100 persen untuk terapi, melainkan lebih untuk memuaskan imajinasi. Kepercayaan diri dalam berkarya juga menjadi modal besar untuk tidak takut salah. Donny menyebut bahwa lukisan-lukisan Anfield merupakan fotokopi dari apa yang sedang dipikirkan oleh otaknya. Pada salah satu lukisan yang kali ini dipamerkan, misalnya, ia menggambar pohon hitam rimbun dengan latar matahari merah dengan sejoli sedang berdansa yang merepresentasikan gadis idaman di usianya yang remaja.
Hana menyebut melukis awalnya memang menjadi sebuah bagian dari terapi untuk kesembuhan. Namun, seiring waktu seni menjadi senjata yang kuat baginya untuk turut memperjuangkan dan terus vokal tentang isu kesehatan jiwa. ”Kamu harus tunjukkan warna asli kamu. Aku menikmati proses dalam penciptaan warna. Kalau pas aku sedang berantakan, sebuah lukisan bisa diselesaikan berminggu-minggu. Tapi ada juga yang tiga hari selesai. Meski depresi, tetap berkarya,” ujar Hana yang juga bekerja sebagai freelance desainer grafik.
Gangguan mental yang dialaminya, menurut Hana, membuat proses berkaryanya menjadi panjang dan melelahkan. Ia didiagnosis gangguan mental pada 2010 dan sempat masuk keluar rumah sakit hingga pernah kabur dari rumah. Sempat salah penanganan dan dianggap kerasukan, Hana menemukan seni sebagai jalan untuk mengapresiasi diri. Seiring waktu, apresiasi dari orang lain dan keluarga pun perlahan mulai mengalir. Apalagi, Hana tergolong aktif berpameran dengan 35 kali pameran pada tahun lalu dan pernah ikut Festival Bebas Batas atau Unlimited Festival yang digelar di London, Inggris.
Hana berharap karya art brut tak lagi termarjinalkan di Indonesia. Orang harus mulai menghargai karya tersebut, bukan karena siapa pembuatnya dan bukan karena kasihan. Dengan terus berkarya, Hana pun memetik manfaat lain. Dalam empat tahun terakhir, ia sudah lepas dari obat-obatan dan memilih menjadi vegetarian demi meredam emosi. Jika halusinasi mulai datang, Hana belajar mengikuti ritmenya. ”Melukis jadi doping buat aku. Aku memilih jalan seni. Seniman katanya butuh konflik untuk inspirasi berkarya. Aku punya banyak banget konflik, sayang kalau enggak disalurkan. Push your limit!” tuturnya.