Setelah sukses dengan seri The Story of God, Freeman meneruskan pencarian untuk mengulik sisi kehidupan manusia dalam The Story of Us with Morgan Freeman. Seri dokumenter produksi Revelations Entertainment ini ditayangkan saluran televisi National Geographic mulai Januari 2018. Sebanyak enam episode dikemas dengan berbagai tema, di antaranya cinta, kebebasan, perdamaian, kekuasaan, dan pemberontakan, yang menjadi kekuatan dasar pendorong kemanusiaan.
Dalam pengantar yang ditulis Morgan Freeman, Lori McCreary, dan James Younger selaku produser eksekutif, sejak pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016, pandangan tentang pemerintah terbelah di kalangan masyarakat. ”Banyak orang mulai memutus pertemanan di media sosial agar tidak mendengar pandangan yang bertentangan dengan pandangannya sendiri. Banyak orang hanya mendengarkan siaran televisi dan orang-orang yang menyetujui pandangannya sendiri,” demikian pengantar tersebut.
Namun, demokrasi tidak bisa dan tidak boleh berjalan seperti itu. Demokrasi berfungsi dengan baik saat kita mendengarkan pandangan orang lain, bukan hanya yang sepandangan dengan kita.
Dari situlah tim produksi beralih dari tema ilahi ke tema manusiawi.
The Story of Us menuturkan cerita-cerita tentang bagaimana kita semua terhubung sebagai umat manusia. Perjalanan yang ditempuh Freeman sejauh ribuan kilometer hendak menegaskan betapa sebenarnya kita semua sama. ”Kami temukan bahwa meski kita berbeda dalam bahasa, pengalaman, dan ambisi, sejatinya inti kita sama,” katanya.
Enam episode merangkum sejumlah konsep besar seputar kehidupan manusia. Episode pertama bertajuk ”The March of Freedom” yang membahas tentang konsep kebebasan. Episode kedua, ”The Fight for Peace”, menyoroti perang dan perdamaian. Selanjutnya episode ketiga, ”The Power of Love”, mempertanyakan apakah cinta bisa mengubah dunia.
Episode keempat berjudul ”Us and Them”, mempersoalkan perpecahan antarumat manusia. Episode berikutnya, ”The Power of Us”, menyoal pembagian kekuasaan politik. Episode terakhir, ”The Spirit of Rebellion”, mengungkap kisah orang-orang yang diasingkan, whistle blowers, dan pemimpin pergerakan.
Fisik versus pikiran
Pada episode ”The March of Freedom”, Freeman mengangkat pertanyaan tentang dorongan memperjuangkan kebebasan. Apa arti kebebasan untuk orang- orang yang terkekang, apa yang membuat mereka mau berjuang, dan kapan mereka merasa bebas, adalah beberapa pertanyaan di antaranya.
Freeman menemui Shin Dong-hyuk, yang sejak lahir tinggal di kamp kerja paksa untuk tahanan politik di Korea Utara. Dia tidak pernah mencicipi kebebasan sampai saat dia melarikan diri. Kepada Freeman, Shin menuturkan bahwa fisiknya telah bebas, tetapi pikirannya masih terpenjara. ”Saya kehilangan perasaan kekeluargaan. Bagi saya, orangtua pun hanya sesama tahanan,” ujarnya.
Setelah memulai hidup baru di Korea Selatan, lalu di Amerika Serikat, barulah Shin menemukan kebebasan bagi pikirannya. Caranya dengan memiliki keluarga baru. Dia bisa memutus rantai keterbelengguan akan masa lalu.
Sebaliknya, cerita Alfred Woodfox yang hanya memiliki kebebasan fisik hanya satu jam setiap hari selama 43 tahun justru merasa bebas pikirannya. Di ruang isolasi yang sempit, dia tidak membiarkan pikirannya dibatasi. Woodfox dipenjara karena tuduhan perampokan bersenjata tahun 1972, tetapi tidak mendapat perlakuan layak karena dia keturunan Afro-Amerika.
Dalam episode ”The Fight for Peace”, Freeman bepergian ke Etiopia, ke tempat suku yang sudah berperang turun-temurun, Dassanech dan Nyangatom. Konflik tersebut kebanyakan dipicu perebutan sumber daya alam yang menyokong hidup.
Episode ini juga menyoroti kondisi para prajurit AS yang mengalami gangguan stres pasca- traumatik yang mengoperasikan drone yang mengincar tersangka teroris, padahal mereka tidak berlaga di garis depan.
Selain bepergian ke sejumlah tempat yang menjadi sumber persoalan, Freeman juga bertemu dengan tokoh-tokoh dunia yang menyuarakan keprihatinan mereka tentang suatu hal. Salah satunya presiden ke-42 AS, William Jefferson Clinton, yang ditemui saat membahas tema ”The Power of Us”. Keduanya berdiskusi tentang kesulitan dan tanggung jawab yang dihadapi seorang pemimpin di era demokrasi modern.
Tema-tema yang terlihat berat itu disampaikan dengan penuturan yang menarik. Freeman menggali cerita sosok-sosok yang ditemuinya, memberi ruang bagi mereka untuk mengungkapkan apa yang telah terjadi dan bagaimana mereka mengatasi persoalan tersebut hingga keluar sebagai pemenang pada akhirnya.
Orang-orang ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang ditemui Freeman telah menemukan cara untuk mengatasi isu-isu menantang. Mereka memformulasi gagasan, mengembangkan kebiasaan-kebiasaan, dan melompati batas-batas dengan cara masing-masing. Dia berharap cara-cara yang dikembangkan orang-orang itu bisa menginspirasi orang atau kelompok lain untuk melakukan hal serupa.
”Kami harap diskusi dalam tayangan ini akan membuat Anda semua memulai dialog yang sangat diperlukan tentang ide, nilai, dan aspirasi yang dimiliki seluruh umat manusia daripada hanya fokus pada perbedaan,” ujar Freeman.
Kita perlu melihat perbedaan di dalam masyarakat adalah sesuatu yang bisa dijembatani. Mungkin bisa dimulai dengan pertanyaan, ”Saya perlu memahami bagaimana kamu memandang sesuatu.” Dan, sekaranglah saat untuk memulainya.