Dalam catatan I Made Susanta Dwitanaya, seni klasik batuan telah disebut dalam Prasasti Batuan (1022 M). Prasasti yang ditulis pada masa raja Marakata dari Dinasti Warmadewa ini menyebut istilah ”citrakara” yang merujuk pada kehidupan seni gambar di masa lalu.
Sulit memang melacak artefak-artefak yang tersisa mengingat seni gambar menggunakan medium yang rentan terhadap kerusakan. Pada prasasti juga disebut istilah ”sulpika” (pematung) dan ”undagi” (arsitek). Dwitanaya menafsir, sungguh mustahil lahir seni ukir atau patung tanpa didukung oleh seni gambar. ”Sebab, untuk menciptakan relief pastilah didahului dengan tahapan menggambar,” tulis Dwitanaya dalam katalog pameran seni lukis batuan bertajuk The Dynamic Heritage. Pameran yang menampilkan karya-karya 12 perupa asal Desa Batuan, Gianyar, ini berlangsung 29 Januari-23 Februari 2018 di Griya Santrian Gallery Sanur, Bali.
Prasasti Batuan juga bisa menjadi titik pancang untuk mengukur perjalanan seni rupa klasik batuan yang sudah merentang dalam kurun waktu satu melinium (1.000 tahun). Namun, baru pada dekade 1800-an, artefak seni rupa batuan bisa dicatat antara lain dengan munculnya pelukis Dewa Putu Gede Kebes (1874-1962) dan I Dewa Nyoman Mura (1877-1950). Keduanya kemudian dianggap sebagai ”nenek moyang” seni rupa batuan yang berkembang sampai saat ini. Meskipun pada tahun 1930-an ketika perkumpulan perupa Pita Maha lahir di Ubud, tiga pelukis Batuan: I Ketut Ngendon, Ida Bagus Togog, dan I Nyoman Djata bergabung di dalamnya. Ketiga tokoh ini tidak larut dalam euforia seni rupa bergaya Ubud, yang ditandai dengan dominasi flora dan fauna.
Ngendon, Togog, dan Djata justru kemudian memperoleh perspektif seni rupa Barat lewat kehadiran duet Rudolf Bonnet (Belanda) dan Walter Spies (Jerman). Keduanya dikenal sebagai motor penggerak Pita Maha, baik dalam soal estetika maupun memperkenalkan seni rupa Bali ke pasar internasional. Pita Maha kita kenal kemudian telah berhasil mengukuhkan keberadaan seni rupa bergaya Ubud dan Batuan, yang berkembang sampai sekarang.
Generasi kini
Pameran The Dynamic Heritage jelas sekali menggambarkan satu kondisi seni lukis batuan yang terus bertumbuh sejak masa klasik dahulu. Kedua belas pelukis yang lahir pada rentang waktu 1960-an–1990-an tetap memegang teguh dasar-dasar utama teknik melukis batuan, seperti ngorten (sketsa), nyawi (kontur dan detail sketsa), ngucek (gelap terang), manyunin (sigar mangsi), ngewarna (pemberian warna), dan ngidupang (pencahayaan). Tahapan-tahapan melukis yang baku ini tidak pernah ”dilanggar” oleh para pelukis. Mereka seolah ingin mewarisi teknik melukis klasik ini secara utuh dan menyeluruh.
Realitas teknis semacam ini tidak pernah menjadi teknik seni rupa komunal di dalam dunia seni rupa kontemporer. Situasi terbalik justru terjadi pada seni lukis klasik, penjelajahan hanya dimungkinkan dari sisi tematik, sesuai dengan penjelajahan intelektual dari para perupa.
Sebutlah karya-karya Made Karyana, I Wayan Budiarta, I Wayan Diana, I Made Sujendra, Pande Made Dwi Artha, dan I Wayan Aris Sarmanta. Pelukis termuda dari deretan nama ini adalah Aris Sarmanta, lahir tahun 1995, dan tertua Sujendra lahir 1964. Sarmanta tetap menerapkan teknik melukis batuan, tetapi ”mengintervensinya” secara tematik, dengan memasukkan tema-tema kekinian yang ia pungut dari khazanah sosial Bali.
Lukisan bertajuk ”Pria Bali di Bak Mandi” (2017) menggambarkan seorang lelaki sedang berbaring di bathtub dengan shower yang mengucurkan air. Bathtub dan shower menjadi penting karena mewakili modernitas, tetapi gelungan (mahkota), gunung, hewan, anak-anak telanjang, dan perahu adalah ikon-ikon tradisional yang hampir selalu muncul dalam lukisan batuan.
Lukisan karya I Wayan Diana berjudul ”Ular vs Kucing” mengembangkan tema korupsi, yang kini banyak dilakukan para pejabat. Diana membuat setting gedung-gedung tinggi lalu di sekitarnya para tikus sedang berpesta-pora. Sementara di sebuah altar seekor kucing dililit ular. Bisa ditafsir, penegak hukum (kucing) tak luput dari belitan masalah di saat para tikus (koruptor) merajalela.
Karya I Wayan Budiarta, ”Rare Angon”, memperlihatkan bocah gembala (tradisional), dilatari oleh bocah-bocah ingusan yang ketagihan bermain gawai. Lukisan ini mendedahkan dua dunia yang kontras di masa lalu dan masa kini. Lukisan paling responsif berjudul ”Mengungsi” karya Made Karyana. Ia menggambarkan kepanikan warga berlarian mengungsi melewati lautan di tengah amukan erupsi Gunung Agung beberapa waktu lalu.
Beberapa hal yang bisa dicatat, para pelukis batuan terkini sampai yang paling muda pun tetap setia menekuni tahapan-tahapan melukis sebagaimana diajarkan para leluhur mereka. Kendati menjelajah pada tema-tema kontemporer, citraan-citraan yang membentuk figur subject matter tetap mengacu kepada gaya melukis wayang, sebagaimana kita temukan dalam lukisan wayang Kamasan, yang menjadi babon dari seni lukis Bali.
Catatan-catatan ini (mungkin) bisa dijadikan pegangan untuk mengatakan bahwa lukisan batuan di masa kini, setidaknya yang diperlihatkan oleh kelompok Baturulangun, tetap merunut gaya klasik. Mereka memegang teguh warisan leluhur sebagai wahana ekspresi kendati terus mencoba berkomunikasi terhadap lingkungan kebudayaan, sosial politik, dan gaya hidup, yang melingkungi hidup mereka. Itulah cara generasi Batuan kini untuk terus bertumbuh di kancah seni rupa dunia, yang semakin hari semakin rentan terhadap serangan pemodal.