Kekuatan Perempuan Borobudur
”Kekuatan perempuan-perempuan sebagai kekuatan yang sering disepelekan, kadang justru oleh perempuan-perempuan itu sendiri,” ujar Landung, seusai membacakan sajak-sajaknya pada pembukaan Pameran Perempuan (di) Borobudur, Selasa (20/2) di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Landung mengisahkan kehadiran sosok perempuan membawa bunga lotus dengan tangkainya yang panjang di relief Candi Borobudur. Sosok perempuan seperti ini banyak dihadirkan pula oleh Dyan Anggraini dalam lukisannya.
Itulah sosok perempuan Dewi Tara, dewi welas asih. Relief Dewi Tara banyak dijumpai di bingkai-bingkai relief Candi Borobudur.
Kisah Dewi Tara hadir sebagai sosok sang putri bodhisattva perempuan. Bodhisattva dalam Buddhisme Mahayana mengandung pemahaman sebagai makhluk yang membaktikan diri demi kebahagiaan makhluk lain, selain dirinya sendiri di alam semesta.
Suatu ketika, capaian sang putri mengundang rasa kagum para biksu. Para biksu menyarankan agar sang putri memohon untuk kelahiran berikutnya dilahirkan sebagai pria, agar tarafnya bisa meningkat lagi.
Sang putri pun menjawab, masalah jender bukan penghalang dalam upaya mencapai suatu pencerahan. Ia memutuskan untuk selalu dilahirkan sebagai bodhisattva perempuan sampai samsara tiada lagi hingga kemudian menjelma menjadi Dewi Tara.
Dewi Tara menjadi inspirasi gerakan feminisme dalam Buddhisme. Ini seperti ditegaskan pemimpin Buddhisme Tibet, Dalai Lama, dalam suatu konferensi tentang Tindakan Welas Asih (Compassionate Action) di Newport Beach, Amerika Serikat, pada 1989.
Landung mengaitkan kisah sosok perempuan lain, bernama Hariti. Meskipun sosok Hariti ada di relief Candi Mendut. Candi Mendut berjarak sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur.
Hariti adalah sosok raksasa perempuan dengan diiringi 500 anak. Hariti suka memakan anak manusia. Hingga suatu ketika, dengan bantuan Buddha, Hariti berhasil mengubah dirinya menjadi sosok perempuan raksasa yang penyayang dan keibuan.
Hariti pun tidak lagi suka memakan manusia. Perempuan raksasa Hariti meskipun masih tetap saja bertaring, berhasil meraih transformasinya. ”Perempuan itu kekuatan kelenturan mengubah diri,” ujar Landung.
Topeng
Di antara 37 karya lukisan dan patung yang dipamerkan, Dyan Anggraini menghadirkan sosok-sosok perempuan perdesaan masa kini. Hampir pada setiap wajah perempuan tampak topeng yang melekat.
”Topeng yang dikenakan itu untuk menyiratkan sosok-sosok perempuan yang harus menyesuaikan peran masing-masing,” kata Dyan.
Lukisan perempuan bertopeng hadir di sebuah karya berjudul ”Lumbini”, dengan media minyak di atas kanvas berukuran 150 cm x 250 cm. Di dalam karya satu bidang itu Dyan memadukan unsur realisme perempuan bertopeng dengan sosok-sosok perempuan figuratif dari relief Candi Borobudur.
Dyan menambahkan pula sulaman benang untuk garis-garis pada figur relief. Sisa benang sulaman dibiarkannya menjuntai. Ada sebanyak empat tangkai bunga lotus dilukis Dyan di pojok kanan bawah. Sesuai cerita Lalitavistara, Taman Lumbini menjadi lokasi persalinan Ratu Maya melahirkan bayi Siddharta Gautama. Ketika itu Ratu Maya sedang dalam perjalanan menuju negeri asalnya untuk persalinan.
Dyan menggunakan warna kromatik merah muda. Kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo, mengatakan, Dyan menempatkan posisi perempuan menjadi sosok sentral, baik dalam wujud dan perannya.
Dyan membentuk sosok-sosok perempuan di bidang kiri dan tengah kanvas dengan outline atau garis tepi yang disulam. Ia tengah menyulam drama kehidupan sosok perempuan Ratu Maya dalam perjuangan melahirkan sang bayi. Lahirlah sang bayi Siddharta. Namun, tujuh hari kemudian Ratu Maya pun mangkat.
Sebuah karya patung berjudul ”Yang Terbungkam”, terbuat dari fiberglass, kayu, dan pensil dengan ukuran 82 x 56 x 60 sentimeter (2018). Patung sosok perempuan itu mengenakan topeng. Sekalipun mengenakan topeng, mulutnya dibebat kain.
Tangan kanannya memegang kayu. Ia seperti tengah memimpin paduan suara. Namun, ironisnya ia harus mengenakan topeng dan topeng itu pun terbungkam.
Melalui karya patung ”Yang Terbungkam” ini Dyan melukiskan betapa berat peran dan posisi perempuan. Ia harus pantas menempatkan diri, pintar memainkan peran, meski ditebas kebebasannya.
Pada lukisan dua sosok perempuan tanpa topeng, Dyan memberi judul ”(T)angan-(T)angan”, berbahan cat minyak di atas kanvas berukuran 110 cm x 145 cm. Mereka menjadi sosok perempuan tua dari perdesaan yang hanya mengenakan kutang. Di sekelilingnya berseliweran mainan burung-burungan dari lipatan uang kertas Rp 100.000 dan Rp 50.000.
”Saya ingin menyampaikan, bagi perempuan-perempuan desa, uang hanya lewat berseliweran saja. Mereka tetap saja miskin, mereka tetap saja hidup dalam kemiskinan,” kata Dyan.
Suwarno mengatakan, Dyan menyuarakan ironi dan kemasygulan dengan keras, meski dalam senyap. Ia menyampaikan perlawanan dengan estetika senyap.
”Ia menghadirkan kenyataan-kenyataan sebagai ironi,” kata Suwarno. Ironi hadir dari wajah perempuan bertopeng dan terbungkam. Hadir pula dalam wujud mainan burung-burungan dari uang kertas yang berseliweran tak hendak menghinggapi mereka.
Ironi lainnya hadir dalam wujud patung tangan yang mengepal atau tangan yang meremas kain. Ironi lainnya yang membuat miris pada karya instalasi ”Jerit di Bawah Kulit” (2017).
Dalam bentuk peniti besar, jarum-jarumnya menusuk baju, kutang, kaus, kain lurik, dan kain-kain lainnya. Landung menarasikan ke dalam sajaknya yang berjudul ”Jerit di Bawah Kulit”.
”...Warisan peradaban//Air mata perempuan//Yang berbakti tersakiti//Yang merintih tersisih...”
Sajak Landung secara lantang dan gamblang menyuarakan jeritan perempuan. Tak kalah pedihnya dengan karya instalasi ”Ziarah” (2017). Dyan menyusun belasan potongan kaki kiri dan kanan yang melangkah. Kaki-kaki itu menuju suatu titik terang. Namun, di setiap kaki itu ada sayatan luka yang dipeniti.
Mereka terluka, tetapi tetap setia menjalani peran. Mereka adalah sosok-sosok perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan Borobudur.
(Nawa Tunggal)