Panggung Putu untuk Taksu
Naskah monolog Oh berasal dari sebuah cerita pendek yang ditulis Putu Wijaya dan pertama kali dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, pada Februari 2017. Cerita lakon yang hanya melibatkan empat pemain ini berpusat pada seorang pengacara muda andal yang merasa resah melihat kondisi negaranya yang penuh ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kisah bergulir saat sang pengacara muda (yang diperankan Taksu Wijaya) menjenguk ayahnya (diperankan oleh Putu Wijaya) yang tengah sakit. Sang ayah dulu juga merupakan pengacara yang berhasil meraih kesuksesan, tetapi kini diserang penyakit yang membuatnya tak berdaya. Sehari-hari, pengacara senior itu hanya duduk di kursi roda dengan ditemani seorang suster (yang diperankan istri Putu, Dewi Pramunawati).
Saat menengok sang ayah, pengacara muda itu menyatakan tidak datang sebagai seorang anak, tetapi sebagai seorang pengacara. ”Tapi aku datang ke sini bukan sebagai anakmu. Aku datang kemari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri kita yang sedang kacau ini,” ujarnya.
Itulah kenapa dalam kunjungan itu, sang pengacara muda tidak menanyakan kabar sang ayah, atau membicarakan soal keluarga mereka, tetapi justru bercerita ihwal situasi sosial politik bangsa yang membuat dirinya sedih, muak, dan marah. Ia menyebut soal korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi yang dilakukan para elite negara.
”Di segala lini, terjadi kemerosotan, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, manipulasi, bahkan pengkhianatan kepada revolusi,” kata pengacara muda itu.
Sesudah monolog panjang ihwal sosial politik yang terdengar agak membosankan karena sudah kerap kita dengar dari televisi, koran, dan media sosial, sang pengacara muda akhirnya bercerita tentang tawaran untuk membela seorang penjahat besar. Ia sempat menampik tawaran tersebut, tetapi karena suatu sebab, sang pengacara muda akhirnya menerima permintaan itu.
Dengan segenap kemampuannya, pengacara muda itu akhirnya berhasil membebaskan sang penjahat yang sebenarnya pantas dihukum mati dua kali tersebut. Namun, keputusan pengadilan yang membebaskan sang terdakwa ternyata membuat masyarakat marah sehingga protes besar yang berujung pada kekacauan pun terjadi. Di tengah situasi yang chaos itu, sang pengacara muda akhirnya terbunuh.
Kejutan
Sebagai sebuah pentas, monolog Oh adalah sebuah lakon realis yang minimalis—sebuah ciri yang melekat pada pentas Teater Mandiri beberapa tahun belakangan. Panggung pentas itu tidak ramai oleh properti atau efek visual karena Oh memang lebih bertumpu pada kekuatan naskah dan kemampuan akting para pemainnya, terutama Taksu.
Di panggung, kita memang melihat Putu Wijaya hadir, tetapi ia tak sekalipun berkata-kata. Ia hanya duduk di kursi roda dan dengan mimik sedih mendengarkan curhatan sang anak. Kadang-kadang, Putu—yang sudah berusia 74 tahun dan harus beraktivitas dengan kursi roda di dunia nyata—mengeluarkan ratapan dan di akhir pentas ia akhirnya menangis, tetapi ratapan dan tangisan itu tak disertai kata-kata.
Meski demikian, sebagai sutradara, Putu tetap menyajikan kejutan-kejutan yang membuat Oh jadi lebih menarik. Di tengah pertunjukan, misalnya, sang pengacara muda tiba-tiba menyebarkan lembaran-lembaran uang kertas ke sekitarnya, dan di kesempatan lain, ia mendadak dilempari aneka benda dari arah penonton. Putu juga berhasil menggambarkan kekacauan dengan baik melalui munculnya pemain keempat yang membawa kain putih sekaligus menyerang sang pengacara muda.
Di bagian akhir, kain putih itu—yang kemudian mendapat tambahan warna merah sehingga menjadi merah putih—bahkan dipakai untuk menutupi seluruh tubuh Taksu dan dengan teknik pencahayaan tertentu, penonton kemudian melihat siluet tubuh sang aktor yang kadang membesar dan mengecil. Bisa dibilang, peristiwa itu merupakan salah satu adegan terbaik dalam pentas Oh.
Kepercayaan
Dalam perjalanan Teater Mandiri yang berdiri tahun 1971, lakon Oh juga menandai fase di mana Taksu Wijaya akhirnya mendapat tempat sebagai pemeran utama. Taksu, yang masih berusia 22 tahun, memang sudah pernah terlibat dalam beberapa pertunjukan Teater Mandiri sebelumnya, tetapi baru dalam Oh ia mendapat kepercayaan untuk benar-benar menguasai panggung nyaris sendirian.
Menurut Taksu, keterlibatannya dalam pementasan Oh berawal dari keinginan sang ayah. ”Satu waktu, ayah tiba-tiba meminta saya terlibat dalam sebuah pertunjukan teater lalu saya dikasih naskahnya,” kata Taksu yang mengaku sempat terkejut saat diminta menjadi pemain utama dalam Oh.
Setelah dimainkan di Galeri Indonesia Kaya, Oh telah dipentaskan di sejumlah tempat lain, yakni Festival Teater Cirebon, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Jakarta Intercultural School. ”Jadi, pementasan di sini (ISI Yogyakarta) adalah yang kelima,” ujar Taksu.
Permintaan Putu agar Taksu memainkan peran utama dalam Oh—juga pementasan lakon ini yang digelar hingga lima kali dalam kurun setahun—mungkin menandai dorongan agar Taksu kian intens mendalami teater. Taksu pun tampaknya tak ingin menyia-nyiakan kepercayaan sang ayah. Dalam pentas Oh di ISI Yogyakarta, ia terlihat cukup mampu untuk memikul beban berat itu.
Meski permainannya belum sempurna benar (dia tampaknya belum mampu menghidupkan dengan baik sisipan humor dalam naskah Oh), Taksu tampil cukup baik secara keseluruhan. Penampilan terbaiknya barangkali adalah di bagian akhir, saat sang pengacara muda dilanda kesedihan hebat karena masyarakat mencerca pilihannya. Di bagian itu, Taksu berhasil beralih peran dari seorang pengacara sukses yang arogan menjadi seorang anak muda yang sedih, kalut, dan putus asa.