Perjamuan Terakhir ala Superhero
Agak takjub juga melihat keberanian seniman Agung Rudhi Haryono memarodikan salah satu karya terbaik dalam peradaban manusia, ”The Last Supper”, yang dibikin maestro Leonardo da Vinci pada akhir tahun 1400-an. Rudhi mengganti figur-figurnya menjadi tokoh superhero jebolan DC Comics dan Marvel.
The Last Supper—yang berarti Perjamuan Terakhir—menjadi lukisan balada Yesus terbesar dalam sejarah. Lukisan yang dibuat Da Vinci pada 1495-1497 itu dicatat sejarah sebagai monumen zaman Renaissance yang tak tertarakan. The Last Supper bercerita tentang Yesus bersama 12 muridnya sedang makan bersama.
Dalam perjamuan itu, Yesus berkata ”…salah satu di antara kalian akan mengkhianatiku.” Da Vinci melukiskan, di meja panjang terlihat Yesus dan murid-muridnya mulai dari Bartolomeus sampai Simon dan Matius. Di tengah mereka tampak pula Yudas, manusia yang dimaksud berkhianat oleh Yesus. Meski memunculkan pro dan kontra, The Last Supper sukses menginspirasi banyak orang, termasuk Rudhi.
Tanpa berniat menyentuh sisi-sisi fundamental agama, Rudhi mengapropriasi mahakarya Da Vinci dengan mengganti figur-figur dalam The Last Supper menjadi tokoh superhero DC Comics dan Marvel. Sejatinya, dia ingin mengangkat filosofi meja makan yang tersirat dalam lukisan itu. Di meja makan siapa pun bisa duduk bersandingan dan berbagai masalah bisa diselesaikan secara santai dan santun.
”Ini perjamuan terakhir versiku ketika tokoh-tokoh DC Comics dan Marvel bisa duduk bersama. Selama ini, mereka selalu bertengkar jadi yang paling jagoan,” kata Rudhi, yang akrab disapa Rudy Murdock.
Karya satire dan ikonik itu diwujudkan Rudhi dalam mural atau lukisan seni dinding berjudul ”The Last Supper #2 – Ode to Leonardo da Vinci”. Mural berukuran sekitar 4,8 meter x 16 meter kini menghiasi salah satu tembok taman belakang Semarang Contemporary Art Gallery di kawasan Kota Lama, Kota Semarang. Pembuatan mural dimulai sejak 13 Februari dan berlangsung hingga Rabu (21/2).
Perjamuan ala superhero yang dilukiskan Rudhi mengambil latar angkringan di Kota Lama, Semarang. Itu terlihat dari salah satu jendela yang menggambarkan pemandangan Gereja Blenduk sebagai ikon Kota Lama. Deretan superhero dari sisi kiri ke kanan terlukis Spiderman, Hawkman, Hulk, Firestorm, Thor, The Flash, Supergirl, Superman, Wonder Woman, Captain America, Aquaman, Ironman, Green Latern, dan Batman.
Gestur setiap figur superhero dilukiskan berbeda. Salah satu gestur yang paling menggelitik, kehadiran Batman dan Superman dalam satu meja. Dalam film Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) dikisahkan pertampuran ego kedua pahlawan super ini. Popularitas Superman juga dilukiskan dengan memegang ponsel bersiap swafoto dengan Supergirl dan Wonder Woman.
Selain itu, Spiderman—figur superhero paling muda di kelompok Marvel—terletak di paling pojok kiri. Dia makan di meja yang terpisah dengan para seniornya, seperti Captain America, Hulk, Thor, dan Ironman. Semua superhero ini makan mi ayam dengan mangkuk cap ayam jago merah. ”Ini mungkin menimbulkan kontroversi. Seni yang berhasil itu seni yang mengganggu,” ucap Rudhi.
Tantangan terbesar muncul dari alam. Terik sinar matahari di Kota Semarang bisa mencapai 33 derajat celsius. Karena itu, pemilihan jenis cat dan warna harus seteliti mungkin. Warna yang dipilih tidak terlalu terang, tapi tetap cerah. Itu sebabnya para superhero dilukiskan dengan kostum original. Rudhi ingin The Last Supper #2 – Ode to Leonardo da Vinci dapat dinikmati paling tidak hingga lima tahun ke depan.
Memaknai karya
Lewat mural The Last Supper ini, Rudhi ingin mengingatkan filosofi meja makan yang sekarang mulai dilupakan. Penyelesaian masalah tidak harus dengan cara-cara kekerasan dan kepicikan. Jalan keluar lebih gampang ditemukan saat suasana santai. Bahkan, beberapa presiden Indonesia juga melakukan hal serupa agar kebinekaan tetap kokoh. Selama ini, karya-karya Rudhi dikenal vokal berbicara isu sosial, lingkungan, dan politik.
Adapun kurator seni rupa Rahman Athian memaknai The Last Supper versi Rudhi lewat figur superhero. Menurut dia, superhero berkaitan dengan kuasa sosial. Pahlawan sering dikonotasikan sebagai seorang penyelamat yang bersedia memberikan tenaga dan kemampuannya untuk orang lain. Namun, itu hanya paradoks karena pemaknaan pahlawan terkait dengan etika dan rasa yang sangat subyektif.
Misalnya, beberapa superhero terlukis tanpa topeng, seperti Superman, Wonder Woman, dan Thor, dapat menyimbolkan berbagai kepribadian segelintir pahlawan di dunia nyata. Dalam karyanya, Rudhi menyuguhkan interpretasi yang menarik, personal, dan logis. ”Pahlawan tanpa topeng, apa jadi sedemikian sombong sampai dia ingin seluruh umat manusia tahu,” kata Athian.
Mural berjudul ”The Last Supper #2 – Ode to Leonardo da Vinci” juga mencerminkan maskulinitas sang perupa. Athian mengatakan, figur superhero pria digambar dengan goresan garis hitam yang jelas, sementara dua perempuan digambar dengan tubuh indah, cantik, dan menggoda. Hal itu menjadikan seni rupa identik dengan dunia yang sangat maskulin.
Pemerhati budaya urban Ahmad Khaerudin dari Komunitas Hysteria menambahkan, metode apropriasi tentu bukan hal baru. Mural raksasa dengan obyek superhero juga bukan barang langka. Namun, Rudhi mampu memasukkan kepribadiannya dalam mural itu. Dia berusaha memberikan inspirasi bagi sebanyak orang akan masa depan seni visual di Kota Semarang.
Rudhi memang pemain baru di dunia mural. Dia lebih banyak berkarya di musik cadas, lukis, dan grafis. Namun, seni tak pernah membatasi siapa pun untuk mengembara seperti yang ditekuni Rudhi pada lukis mural tahun 2015 lalu. Baginya, mural mampu memberikan ruang lebih besar untuk berbicara dan berprotes terhadap sesuatu yang menyimpang. (Karina Isna Irawan)