Bukan Sekadar Kayu Kaku
I Wayan Dibia, penari topeng yang juga pengajar tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, berbagi pengalaman tentang topeng dan tari topeng. Suatu kali kala muda, seusai menari, ia didatangi penari senior. Dibia merasa telah menari secara nyaris sempurna. Akan tetapi, seniman tersebut menatap sinis kepada Dibia. Terjadi dialog seperti dituturkan Dibia berikut ini.
”Siapa yang menari tadi?” kata penari senior.
”Saya,” kata Dibia dengan bangga.
”Dengan siapa kamu tadi menari?”
”Saya sendiri, tidak ada yang lain,” jawab Dibia.
Penari senior tadi kemudian menunjukkan topeng yang digunakan Dibia menari. Ketika itu I Wayan Dibia menyadari ada sesuatu yang kurang dalam tariannya. Di kemudian hari ia baru berterima kasih atas kritik tajam dari penari yang lebih berpengalaman tersebut.
”Untuk menari topeng, seorang penari tidak cukup hanya sekadar meletakkan topeng di mukanya. Ia harus bertransformasi untuk menjadikan dirinya sebagai tubuh baru dari topeng yang ia tarikan,” kata Dibia.
”Hanya dengan cara itu ia akan bisa melahirkan sosok baru di atas pentas. Jika tidak, topeng- topeng itu hanya akan jadi kayu-kayu yang mati,” tutur Dibia.
Taksu kuat
Topeng, bagi penari topeng, juga bukan sekadar barang kerajinan. Keterampilan memang mutlak diperlukan dalam pembuatan topeng. Akan tetapi, kemampuan teknis itu bukan segalanya. Di mata Dibia, seorang pembuat topeng bisa saja membuat topeng yang secara fisik, visual, menarik. Akan tetapi, kekuatan topeng bukan terletak semata pada daya tampak.
”Topeng itu kadang menarik dilihat, tetapi kadang tak ada komunikasi dengan kita (penari). Tak ada kontak dengan kita. Topeng Pak Samadi ini pancaran taksunya kuat sekali,” kata Dibia.
Topeng bertaksu, berdaya degup kuat, atau mempunyai ”energi jiwa”, itu dikatakan Dibia memudahkan penari untuk bertransformasi ke dalam. Topeng menjadi karakter yang dibawakan penari. Tentu saja dibutuhkan kemampuan penari untuk menangkap jiwa topeng. Seorang penari topeng yang matang biasanya memerlukan waktu lima hingga enam bulan untuk mengenali jiwa topeng.
Topeng, menurut Dibia, bukan sekadar aksesori atau properti tari. Itu mengapa seorang penari topeng yang baik biasanya hanya menggunakan topeng-topeng tertentu. Bahkan, dari pengalaman Dibia, ada penari yang tidak mau menari dengan topeng lain karena ia tidak mempunyai referensi untuk ekspresi topeng tersebut.
”Kalau tidak bisa menangkap jiwa topeng, kalau tidak mempunyai referensi ekspresi atas topeng, maka topeng itu hanya akan menjadi kayu di atas panggung. Ia hanya akan menjadi penutup muka, tidak menjadi sosok baru.”
Berkarakter
Samadi (48) termasuk salah seorang pembuat topeng dengan jam terbang yang lumayan, yaitu 35 tahun. Atas ketekunan dan kesetiaan pada topeng klasik itu, Bentara Budaya pada September 2017 memberinya penghargaan bersama enam seniman lain. Ia tumbuh di desa kerajinan di tengah pembuat topeng klasik, yaitu di Desa Bobung, Putat Patut, Gunung Kidul, Yogyakarta. Ia nyantrik atau berguru dengan bekerja langsung kepada Sujiman, tokoh pembuat topeng-topeng untuk cerita panji.
Bukan sekadar kerajinan, Samadi juga belajar membuat karakter. Ia harus mampu menangkap karakter dari setiap tokoh. Karakter itu akan semakin hidup setelah mendapat sentuhan warna oleh rekannya, Supriadi (46). Mereka saling mengisi untuk menjadikan topeng-topeng itu, meminjam istilah Wayan Dibia, mempunyai daya degup. ”Waktu bikin topeng pikiran saya harus tenang, penuh konsentrasi. Kalau tidak, bisa kacau dan tidak jadi,” kata Samadi di Bentara Budaya Bali.
Membuat topeng bagi Samadi memang untuk mencari nafkah. Di sana ada kaidah-kaidah industri, seperti melayani pesanan atau penjualan. Akan tetapi, untuk urusan pembuatan topeng, Samadi tidak memikirkan hal-hal yang terkait dengan urusan dagang. Ia berkonsentrasi penuh pada sang topeng.
Proses pembuatan topeng cukup panjang. Untuk bahan, misalnya, ia menggunakan kayu terbelo puso yang harus dikeringkan 15-20 hari. Ia harus menunggu kayu kering benar karena pada saat itulah kayu akan mudah dicukil, diukir, dan disayat. Jika masih basah, kayu sangat keras. Samadi mengerjakan pembuatan topeng dua hingga tiga hari bergantung pada tingkat kesulitan tokoh. Kemudian Supriadi akan mengerjakan pewarnaan selama dua-tiga hari. Untuk warna brom atau semacam ”metalik”, seperti emas atau perak, diperlukan waktu tiga hari.
Duet Samadi-Supriadi itu menghasilkan karakter kuat. Menarik mencermati setiap wajah para tokoh. Watak setiap tokoh panji itu tergambar pada setiap cungkil, lekuk wajah, bentuk mata, hidung, mulut, gigi, dan bagian wajah lain. Karakter itu juga tersampaikan lewat pewarnaan.
Seperti karakter tokoh Dewi Anggraini dengan warna kuning cerah, secerah senyum tenang di wajah. Untuk Galuh Candra Kirana atau Sekartaji, putri mahkota Kerajaan Kediri, digunakan warna emas yang memberikan nuansa aristokratik.
Berbeda dengan tokoh seperti Klana Swandana, dengan wajah keras, mata tajam melotot, dan raut wajah merah darah. Dalam kisah panji, Raja Bantrangin angin itu diceritakan kasmaran dengan putri Kediri, Dewi Songgolangit. Lebih keras lagi adalah sosok Rajamala, dengan hidung panjang, mata besar bundar, dan gigi bertaring. Ada pula tokoh komedik, semacam clown dalam kisah panji, yaitu Penthul yang berwarna putih dan pasangannya, Tembem, yang berwarna hitam.
Topeng dari Desa Bobung itu tentu tidak hanya digunakan untuk menari. Topeng panji itu dipajang sebagai hiasan. Apa pun fungsinya, seperti diakui I Wayan Dibia, topeng karya Samadi dan Supriadi mempunyai pancaran taksu. Karakter pada topeng-topeng itu seperti mengingatkan akan watak-watak manusia— yang notabene tidak bertopeng.