Adegan itu dimainkan Mahdalena, pelakon perempuan yang membawakan naskah monolog Pesan dalam Botol, akhir Februari 2018. Mahdalena menjadi salah satu peserta dalam Dramakala Fest 2018, yang digelar IDEAL (Indonesia Drama Educators Association) Jakarta. IDEAL sendiri bagian dari London Scholl of Public Relation (LSPR) Jakarta, yang tahun ini menyelenggarakan festival untuk ke-7 kalinya. Dramakala Fest tak hanya berupa festival monolog, tetapi juga drama pendek dalam durasi antara 25-30 menit.
Mahdalena, yang kemudian menjadi salah satu pemenang, menjadi asosiasi paling menarik untuk menggambarkan festival ini. LSPR bukan kampus seni. Di sini, para mahasiswa datang untuk menimba ilmu komunikasi, terutama komunikasi publik. Akan tetapi, pendiri dan pemilik kampus ini, Prita Kemal Gani, ngotot bahwa teater menjadi wahana latihan untuk mempersiapkan karakter seseorang sebelum melakukan komunikasi publik. Prita bahkan menggelar LSPR Theatre Festival sebagai akhir dari kuliah Introduction to Performing Art Communication yang wajib diikuti seluruh mahasiswa pada semester awal. Kini, festival ini telah berlangsung untuk yang ke-20 kali, sebuah pencapaian yang tidak mudah.
”Teater jelas menjadi media untuk pembentukan karakter dan kami wajibkan seluruh mahasiswa mengalaminya,” kata Prita. Ia tekankan, para mahasiswa tidak harus menjadi aktor, mereka bisa menjadi kru panggung atau produksi untuk bersama-sama merasakan bekerja dalam satu tim.
Lakon ”Pesan dalam Botol” sesungguhnya mengumpamakan bumi di masa depan yang dilanda pencemaran dahsyat. Mahdalena mengimajinasikan panggung sebagai lautan yang telah tercemar. Oleh sebab itu, ia harus melangkah satu demi satu dengan beralas guci gerabah. Guci gerabah tak hanya berkesan natural, tetapi juga memberi sentuhan artistik yang kuat. Dalam beberapa adegan, Mahdalena menumpuk guci yang terlihat rapuh itu, lalu ia berdiri di atasnya sembari melontarkan dialog. Panggung yang ditata secara sederhana tiba-tiba menjelma menjadi latar laut dan bumi yang kumuh karena tercemar.
Permainan ini membuktikan kekuatan teater dalam menggiring imajinasi sampai ke batas paling tak mungkin. Imajinasi menjadi hal yang ingin diperkuat Prita agar para mahasiswanya mencapai titik batas pengembaraan pikiran yang aktif. Imajinasi pula yang akan memandu seseorang dalam mengarungi wilayah pikiran yang mungkin terwujudkan. Pada wilayah itulah kreativitas mendapatkan lahan subur untuk tumbuh dan berkembang.
Peserta
Dramakala Fest menggaet puluhan peserta dari seluruh Indonesia. Mereka datang dari Jakarta, Bandung, Bogor, Tegal, Ambarawa, Padang, Padang Panjang, Surabaya, Kalimatan Selatan, dan beberapa daerah lain dengan ongkos sendiri. Pada Dramakala Fest 2018, mereka yang berhasil menjadi lima terbaik antara lain Ikhsan berasal dari Padang, Maya Sandita dari Padang Panjang, Novya Rosa dari Jakarta, dan Ma’rifatul Latifah dari Surabaya. Mereka tak datang seorang diri, tetapi bersama komunitas setempat, yang jumlahnya bisa mencapai 4-5 orang. ”Sampai kadang LSPR tak sanggup menampung kedatangan mereka karena kami belum punya guest house,” kata General Manager IDEAL Renata Tirta Kurniawan.
Konstantin Stanislavski yang dianggap sebagai ”bapak” teater realis dunia merumuskan apa yang disebut sebagai magic-if. Ia menandai bahwa imajinasi hampir selalu berangkat dari hal-hal yang tidak ada menjadi peristiwa-peristiwa yang bisa terjadi. Berbeda dengan fantasi, yang akan selalu menjadi hal-hal yang terbayangkan seterusnya. Teater menjadi satu metode yang bisa diandalkan untuk melatih imajinasi, yang dibutuhkan sebagai bahan bakar kreativitas. Cara pandang LSPR sebagai perguruan tinggi nonseni terhadap teater bisa jadi sangat menarik. Mata kuliah dan festival yang mereka gelar saban tahun tidak memiliki kewajiban untuk mendorong seseorang menjadi seniman dengan penggarapan khusus pada sisi-sisi artistik.
Meski begitu, festival seperti Dramakala Fest justru menjadi agenda yang ditunggu oleh hampir seluruh komunitas teater dari seluruh Tanah Air. Barangkali ini terjadi lantaran festival-festival serupa sangat terbatas. Hanya tercatat Teater Mandiri di bawah pimpinan Putu Wijaya, yang setiap bulan April menggelar lomba monolog dan baca puisi. Itu pun sebatas karya-karya dari Putu Wijaya. Sementara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) setiap tahun menggelar Festival Teater Jakarta, yang ”cuma” melibatkan kelompok-kelompok teater dari seluruh Jakarta.
Melihat kondisi ini, Dramakala Fest memang kemudian lahir menjadi alternatif bagi para pegelut teater, di tengah kegersangan peristiwa artistik yang makin hari makin mengarah pada banalitas. Festival seperti Dramakala Fest, betapa pun sederhananya, tetap memberi sumbangan bagi pelatihan imajinasi untuk mendorong kreativitas yang kaya.