Kematangan Galang Kangin
Berkeliling menikmati karya-karya Komunitas Galang Kangin di ruang pameran Museum Neka, Ubud, Bali, Kamis (15/3), menjadikan sore begitu indah. Kita ibarat melihat kedewasaan 15 perupa yang tumbuh bersama dari komunitas yang bertahan selama 20 tahun. Pameran ini pun dipersiapkan tak kurang dari setahun.
Ide-ide mengalir dan beberapa muncul dari barang yang terbuang atau dianggap tak lagi bermanfaat. Mulai dari buangan bongkahan batu-batu, pemanfaatan limbah batu paras yang ditumbuk untuk menjadi karya baru, sampai karya lukis di atas kertas tertentu yang ditampilkan lagi secara lebih artistik setelah melalui proses diremas seperti tak terpakai.
I Nyoman Ari Winata dalam karyanya, ”The Hope (Raft of the Refugees)”, dengan media campuran itu tampil lebih berani dan bagus. ”Ya, lukisan ini sudah jadi secara utuh. Selanjutnya, lukisan ini mengalami proses lagi setelah berpikir bagaimana kalau diremas-remas sampai terkesan tak terpakai. Lalu, lukisan dibuka kembali dan bekas remasan itu ternyata menjadi seni yang indah sebagai nilai tambah karya ini,” kata Winata sambil menunjuk pada lukisannya.
Ia membayangkan konsepnya adalah bagaimana yang tak terpakai atau salah itu masih bisa berguna dan memiliki nilai tambah. Hanya saja, lanjutnya, bagi seorang perupa, ini memerlukan keberanian untuk menjadi karya yang tidak biasa dan bukan yang biasa saja.
Karya unik lainnya bagaimana menghargai limbah-limbah. Pesannya tak hanya persoalan bagaimana limbah apa pun itu dapat dipakai kembali menjadi inspirasi untuk karya baru.
Karya yang salah satu medianya adalah limbah batu paras dari I Dewa Gede Soma terkesan asli dengan menampilkan batu-batu bentuk oval bertajuk ”Seri Tersisa”. Ia justru tak hanya ingin menyampaikan karya pemanfaatan limbah alam dari hasil eksplorasi manusia terhadap alam. Namun, menekankan pada protes kepada manusia yang serakah dengan melakukan komersialisasi keindahan. Batu-batu alam, baginya, setelah melalui perenungan, tak seharusnya dieksploitasi dan diambil paksa secara terus-menerus. Karena alam itu adalah keindahan sejati yang semestinya dipelihara, tidak semata untuk dijarah lalu ditinggalkan setelah habis.
”Ini terjadi tidak jauh dari tempat tinggal saya yang batu-batu alamnya mulai habis dan dibiarkan begitu saja tanpa ada perawatan. Maka, sebagai perupa atau pemahat, saya perlu mengkritisi itu dan ikut introspeksi diri terhadap kebajikan alam selama ini. Ya, jadilah karya dari Seri Tersisa ini,” ujarnya sambil menjelaskan proses pembuatannya.
Begitu pula Made Supena dengan karya patung kayu jati yang juga menjadi kayu limbah berjudul ”Seri Emosi”. Ia mengetengahkan wajah-wajah beragam tingkat emosi dari yang terkesan ringan, lalu emosi tingkat tinggi.
Keunikan
Keunikan juga muncul pada karya I Made Galung Wiratmaja. ”The Art Commodity” mengarah pada karya yang juga mengkritisi bagaimana karya seni masih belum maksimal dihargai secara hasil ataupun ekonomi. Ia terjemahkan di dalam karya lukisan bermedia campuran itu berupa bentuk susunan karya-karya yang terlihat seperti hendak dikirim, tetapi pengemasannya seadanya terkesan tidak menghargai sebagai karya seni dan diobral harga murah.
Para perupa, seperti Supena, Galung, Winata, Soma Wijaya, puas dengan hasil karya Galang Kangin pada edisi 20 tahun ini. Proses pembentukan konsep yang penuh dialog antarmereka diwarnai pro dan kontra serta saling mengkritisi satu sama lain. Namun, hal itu menjadi perjalanan penyatuan konsep bersama yang menyenangkan dan menjauhkan dari ego masing-masing sebagai perupa.
Hardiman, kurator pameran bertajuk ”Becoming” dari Galang Kangin, tak menyangka komunitas perupa yang sudah berusia 20 tahun ini mampu keluar dari zona nyaman selama ini. Karya 15 perupa yang tampil mampu lepas dari kenyamanannya berkarya selama ini.
”Karya peringatan 20 tahun ini menakjubkan. Mereka mampu tampil beda dari biasanya. Beberapa perupa pun berani tampil meyakinkan dari mulanya sebagai pelukis menjadi berani tampil menyajikan karya foto. Ini termasuk pemilihan media dan pemanfaatannya juga mulai berwarna,” kata Hardiman.
Selama ini Hardiman mengenal Galang Kangin, sebelum pameran ini, merupakan komunitas yang jauh dari narasi. Mereka, menurut dia, terlena dengan karya permanen dan tidak mudah menerima eksplorasi ekstrem seperti saat ini. Dan, ia yakin perubahan ini tidak mudah bagi Galang Kangin.
Sebagai kurator, ia berharap Galang Kangin dapat menikmati identitas barunya untuk berani bereksplorasi untuk tidak permanen. ”Terus eksplorasi, bermigrasi, dan tidak harus menetap di satu jalan. Sekarang mereka mampu membuat jalan baru dan mungkin menggali lagi untuk mendapatkan cabang jalan baru-baru lainnya. Ini dapat mewarnai karya-karya perupa yang lahir dari komunitas di Bali maupun Indonesia,” ujar Hardiman.
Dalam buku dua dasawarsanya, ”Becoming” bersama pamerannya selama lebih dari sebulan dari akhir Februari hingga 31 Maret mendatang, Galang Kangin ingin mengabarkan kepada publik mereka berproses. Mereka menikmati. Kebersamaan berdinamika dalam pencapaian artistik yang tidak biasa menjadikan warna-warna indah Galang Kangin di dua dasawarsa ke depan.