Meniti Jalan Menuju Puncak
Nama JP Cooper alias John Paul Cooper melejit berkat lagu ”September Song” dan ”Perfect Strangers” bersama Jonas Blue. Meski saat tampil di Java Jazz Festival jadwalnya beririsan dengan jadwal special show Daniel Caesar yang tiketnya habis terjual, penonton tetap membeludak. Sepanjang penampilannya, penonton tidak kunjung surut hingga Cooper menyudahi aksinya sekitar pukul 23.00.
Di atas panggung, Cooper tak sekadar menyanyi dan memainkan gitar, dia juga aktif berkomunikasi dengan penonton. Pengaturan lagu-lagunya pas, membuat penonton tak bosan sehingga mereka memilih bertahan sampai akhir.
Kesan ramah tanpa menonjolkan aura bintang tampak pada sosok Cooper. Di atas panggung, dia banyak melempar senyum dan memasang wajah ramah. Padahal, penerbangan dari Inggris ke Jakarta cukup menguras tenaganya.
Toh, aksinya di panggung Java Jazz tetap tersimak maksimal. Suaranya terdengar penuh tenaga. Penampilannya juga tetap khas. Gaya rambut dreadlock dengan topi yang selalu setia menemani.
Dalam wawancara Sabtu siang di Hotel Borobudur, Jakarta, Cooper mengatakan, perjalanannya ke Jakarta adalah salah satu perjalanan paling jauh yang pernah dilakoninya. Penampilannya di ajang Java Jazz Festival itu merupakan salah satu bagian dari tur yang tengah dijalaninya.
”Ini (tur) hal baru buatku, tetapi aku menikmatinya. Di sini menyenangkan. Udaranya hangat. Di Inggris sedang dingin,” ujar Cooper ramah. Sosoknya tersimak hangat dan tanpa jarak.
Cooper tampak cukup bersemangat tampil di Jakarta. Kabar bahwa Java Jazz selalu menyedot banyak penonton rupanya telah sampai ke telinganya. ”Aku penasaran dengan penonton Indonesia. Aku dengar sangat seru,” katanya.
Rasa senangnya itu sampai membuatnya tak terlalu memedulikan bahwa panggung tempatnya tampil adalah sebuah festival jazz. Dia merasa tak terlalu terganggu dengan hal itu.
”Musikku memang bukan jazz, tetapi banyak festival jazz yang belakangan ini tak terlalu ketat menyuguhkan jazz. Jadi, menurut aku, tidak masalah menampilkan musik yang berbeda. Aku ingin tetap menjadi diriku sendiri supaya tetap menjadi pengalaman yang menyenangkan,” katanya.
Dia malah merasa takjub karena ada festival jazz seperti Java Jazz di Jakarta. Menurut dia, jazz bukanlah musik yang mudah. ”Luar biasa orang masih menginvestasikan dana untuk festival jazz. Aku sendiri sangat bersyukur diundang ke sini meskipun aku bukan musisi jazz,” ujar Cooper.
Menurut dia, jazz adalah musik yang paling banyak menginspirasi musisi di seluruh dunia. Musisi-musisi yang memainkan jazz pun umumnya memiliki kemampuan tinggi.
”Aku ingat pertama kali pergi ke sebuah klub jazz di Manchester saat aku masih remaja. Ini adalah pertama kali aku mendengar musik di luar musik-musik yang pernah aku dengar. Saat aku ke sana, aku menemukan banyak musisi hebat memainkan jazz. Menurutku, datang ke festival jazz adalah cara yang bagus untuk melihat musisi-musisi jazz yang berbeda dari berbagai belahan dunia. Banyak bakat luar biasa di dunia jazz. Hanya saja, mereka kerap tidak mendapat pengakuan di dunia musik komersial, seperti halnya musik pop,” tutur Cooper.
Meski begitu, dia cukup optimistis dengan semakin banyaknya musisi yang memainkan jazz fusion. Dia berharap musik-musik itu juga akan menjadi arus utama di industri musik, setidaknya menjadi masa depan bagi musik jazz.
Inspirasi Oasis
Cooper lahir di Manchester, sebuah kota di Inggris yang dikenal melahirkan banyak pesepak bola ternama. Alih-alih ikut menjadi pesepak bola, Cooper justru jatuh cinta pada musik. ”Saat aku masih remaja, di Manchester ada Oasis yang sangat populer hingga ke seluruh dunia. Aku rasa, itulah perkenalanku dengan musik,” kata Cooper.
Tak cuma Oasis, Manchester juga punya banyak musisi bagus. Di tiap sudut kotanya amat mudah menemukan musisi-musisi bagus. Hal itu membuat Cooper makin menguatkan tekad untuk menjadi penyanyi dan musisi.
”Bukannya aku tak tertarik dengan sepak bola, tetapi musik sudah lebih dulu menarik hatiku. Sejak itu musik telah menjadi obsesi bagiku,” kata Cooper dengan raut serius.
Dengan musik yang telah menjadi obsesinya, Cooper makin intens bergulat dengan musik. Setelah mengenal Oasis, Cooper tidak berhenti menumbuhkan seleranya pada musik.
Selama masa sekolah, dia bergabung dengan banyak band. Dia juga rajin menyambangi toko-toko musik untuk memperkaya asupan musiknya. Dia lalu mengenal Bjork, Aphex Twin, Donny Hathaway and Rufus Wainwright.
Memasuki masa kuliah, Cooper memutuskan melakoni karier bermusiknya secara solo. Dengan berbagai musik dan musisi yang jadi inspirasinya, Cooper mulai bereksperimen untuk menemukan musiknya sendiri.
Dia belajar memainkan gitar dan mulai berani tampil solo di depan publik. Tak dinyana, banyak respons positif. Umumnya panggung musik indie atau musik folk. Lambat laun, penggemarnya makin beragam.
Dia juga lantas bergabung dengan Island Records. Merilis tiga mini album, yaitu EP1, EP2, dan EP3. Dari Manchester, Cooper pun menjejak London. Setelah tampil di lagu milik Jonas Blue, ”Perfect Stangers”, Cooper merilis singel-singelnya, termasuk ”September Song” yang segera melejit di tangga lagu di Inggris.
Albumnya bertajuk Raised Under Grey Skies dirilis pada 6 Oktober 2017. Saat ini, Cooper tengah menjalani tur promosi ke beberapa negara.
Jika melongok perjalanannya di dunia musik, Cooper hanya bisa bersyukur. ”Ini benar-benar perjalanan yang panjang. Sungguh gila apabila mengingat bahwa empat tahun lalu aku masih melakukan pekerjaan yang sama sekali tak berhubungan dengan musik,” ujarnya.
Hidupnya banyak berubah dalam empat tahun terakhir. ”Bayangkan kamu menemukan dirimu di tempat yang tak pernah kamu impikan sebelumnya. Seperti tampil di Jakarta seperti ini. Sungguh aku harus berhenti sebentar untuk menikmati masa ini,” katanya.
Cooper sadar, perjalanannya masih jauh dan panjang. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah fokus dengan apa yang sudah dia dapatkan saat ini.
”Aku mencoba untuk selalu memikirkan segala hal sudah aku punya karena kadang-kadang saat aku bangun pada pagi hari aku merasa, ya Tuhan ini semua sungguh berat. Namun, aku beruntung bisa menikmati semua ini,” kata Cooper.
Lagu dan musiknya adalah refleksi sosoknya yang hangat. Jauh dari aura bintang. Melalui musiknya, dia banyak bertutur tentang hal-hal manusiawi, seperti hubungan antarmanusia, keluarga, dan perjuangan hidup. Simak penggalan lirik ”September Song”: ”Our love was strong as a lion/Soft as the cotton you lie in/Times we got hot like an iron/You and I/Our hearts had never been broken/We were so innocent darling/We used to talk ’til the morning/You and I.”
”Dunia sudah mengajarkan banyak hal kepadaku. Semua hal yang ada di baliknya membuatku ingin selalu menjadi lebih baik,” ujar Cooper. Ini menjadi bekal bagi perjalanannya di dunia musik yang masih sangat panjang.