Winchester hanyalah cara Si Kembar Michael dan Peter Spierig menakut- nakuti penonton. Tak perlu berharap terlalu banyak dari film ini sebagaimana film-film mereka sebelumnya. Yang barang kali menyegarkan, Spierig bersaudara berhasil keluar dari kebiasaan membuat film vampir.
Kembar identik Michael dan Peter Spierig atau yang lebih dikenal dengan Spierig bersaudara memulai debutnya dengan membuat film Undead (2003). Film dengan genre horor campur fiksi ilmiah dan sedikit humor ini dibingkai dalam kerangka logika absurditas. Ceritanya, bumi dihujani meteor, lalu sebagian penghuninya menjadi zombi yang memburu manusia normal. Di tengah-tengah film, muncul makhluk asing (alien) menculiki manusia.
Undead bisa dibilang uji coba sekaligus uji nyali Spierig bersaudara mengarungi dunia film. Biaya pembuatannya pun sangat minim, hanya hasil patungan tabungan mereka berdua. Ini bisa dimaklumi jika efek khusus (special effect) dalam film tersebut agak amburadul, tidak halus, sebab hanya dikerjakan di komputer di rumah yang mereka miliki. Film ini tidak terlampau sukses, tetapi cukup menjadi pintu masuk bagi mereka berdua untuk menarik hati investor film.
Masih mengusung tema zombi, Spierig bersaudara kemudian menghasilkan karya lebih bermutu lewat Daybreakers (2009) yang diproduseri Bryan Furst, Sean Furst, dan Chris Brown. Film ini mengajak pemain tenar Ethan Hawke (Before Sunrise, Training Day, Sinister) dan Willem Dafoe (Spider-Man, The Grand Budapest Hotel). Daybreakers muncul secara bergengsi karena ditayangkan perdana di Toronto Film Festival.
Film ini banyak pujian sekaligus kritik. Pujiannya antara lain mampu menampilkan kesuraman sekaligus suasana dingin yang mematikan. Sinematografi yang menawan dan bahkan dibanding- bandingkan dengan trilogi film The Matrix. Beberapa kritik dialamatkan pada dialog yang hambar serta akhir cerita yang terlalu mudah ditebak. Namun, film ini terbilang sukses secara komersial dengan penghasilan kotor 51,4 juta dollar Amerika Serikat.
Tampaknya horor menjadi jalan hidup Spierig bersaudara sehingga mereka membuat film Predestination (2014) yang diangkat dari cerita pendek karya Robert A Heinlein bertajuk ”All You Zombies”. Film ini menggondol sedikitnya 11 penghargaan di berbagai ajang, termasuk Toronto After Dark Film Festival. Nama Spierig makin melambung.
Itu pula yang membuatnya berani membuat film Jigsaw, sekuel kedelapan dari film waralaba Saw, tontonan bergenre horor yang melambungkan banyak sutradara. Seperti film-film Spierig sebelumnya, film ini hujan kritik. Akan tetapi, kritik tak bisa memadamkan pasar. Dengan biaya produksi cuma 10 juta dollar AS, film ini meraup uang sepuluh kali lipat.
Rumah hantu
Spierig bersaudara mengandalkan darah, kekerasan, dan brutalitas dalam film-filmnya. Pada saat yang sama, mereka kerap mengabaikan plot sehingga bangunan narasinya sering kali kendur. Ini berakibat pada akhir film yang terlalu mudah ditebak.
Tampaknya mereka berdua merespons kritik tersebut, setidaknya bila menyimak film terbaru, Winchester. Meskipun masih ada, kadar brutalitas dan darah menurun signifikan dibandingkan dengan film-film sebelumnya. Adegan tembak-tembakan pun ditata sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesan ngeri yang berlebihan sebagaimana dalam Jigsaw atau Undead.
Winchester diangkat dari kisah nyata tentang sebuah rumah hantu yang disebut sebagai Winchester Mystery House di San Jose, California. Konon rumah itu dibangun selama hampir empat dekade dengan desain ruang aneh, tetapi genius. Rumah tujuh lantai, 160 kamar, 2.000 pintu, dan 10.000 jendela ini menjadi obyek wisata dengan ragam cerita misterinya. Banyak pengunjung mendengar suara aneh atau sosok misterius.
Cerita-cerita yang menjadi urban legend itu dikemas Spierig bersaudara menjadi sebuah film. Menggunakan latar waktu 1906, film ini mengajak penonton menyimak kehidupan Sarah Winchester (Helen Mirren), seorang janda yang berjuang keras melawan hantu-hantu jahat. Dia beradu akting dengan Jason Clarke yang berperan sebagai dokter Eric Price.
Sang penerima Oscar, Helen, tampil cemerlang dan menjadi cahaya penting dalam pamor Winchester. Di luar itu, banyak bagian Winchester yang malah mencederai film ini. Misalnya kehadiran mainan sejenis mobil- mobilan, yang ngeloyor tengah malam, sama sekali tidak terkait dengan cerita. Juga kejanggalan kemunculan jari yang menjuntai dari lubang dinding. Barangkali Spierig hendak menyisipkan humor, tetapi jelas-jelas gagal.
Spierig mengandalkan jump scares yang sekadar mengagetkan dan ilustrasi musik. Dia gagal mengembangkan plot lebih jauh, sekadar mengulang cerita yang beredar di masyarakat. Dengan bekal urban legend tentang rumah hantu, sebenarnya bisa dikembangkan menjadi atmospheric horror, yang tentu lebih mencekam. The New York Times menyebut film ini memiliki skrip yang payah, sementara The Guardian menyebut film ini
gagal menyajikan suasana yang menakutkan.
Meskipun kritik datang bertubi-tubi, jumlah penonton film, yang berbiaya 3,5 juta dollar AS ini, terus melonjak. Dalam 37 hari, film ini meraup 33,8 juta dollar AS dan terus bertambah. Tampaknya penonton tidak begitu peduli dengan kata kritikus. Bagi mereka, yang penting film ini (agak) dapat menakut-nakuti untuk melepas stres dan memacu adrenalin.