Meraih Bonus Efek Terapeutik Seni
Ivan Edbart (23) memiliki spektrum sindroma autisme dilengkapi kekakuan saraf motorik pada tangan. Tetapi, otaknya mampu memerintah otot kakunya itu melumer menjadi aktif berfungsi ketika diberi media melukis dan ia pun melukis bercorak abstrak. Ivan berhasil meraih efek terapeutik seni.
”Tadi dia di sini merasa kegerahan. Sekarang, Ivan ada di ruang sebelah,” ujar Diana Sofian, ibunda Ivan, Kamis (15/3), saat pembukaan pameran ”Melihat Lebih Dekat” di Galeri Silver Road, Bandung, Jawa Barat.
Diana menunjukkan salah satu lukisan karya Ivan yang berukuran tidak lebih dari 40 sentimeter x 50 sentimeter. Lukisan itu dengan corak abstrak impresionisme berwarna terang. Sapuan kuasnya tegas dan warnanya saling bertumpuk.
Tumpukan warna terakhir berhasil membangun imaji keruangan. Ivan menggambarkan lapis demi lapis warna yang meruang. Volume ruang warna tercipta. Ini pekerjaan yang menunjukkan penuh rasa.
Itulah kuasa seni rupa bagi Ivan. Ia tidak sekadar membangkitkan saraf-sarat motorik tangannya yang kaku, tetapi juga menebar dan membangkitkan rasa estetik bagi Ivan. Ivan melahirkan karya lukis abstrak impresionisme tersendiri yang berkarakter.
Lapis demi lapis warna untuk lukisan abstraknya menunjukkan perjuangan Ivan yang tidak ringan. Justru efek kekakuan pada saraf motoriknya itu yang memberikan karakter kelebihan khusus lukisan Ivan.
”Ivan selalu kaku tangannya. Tetapi, ketika mengaduk-aduk cat dengan warna-warninya itu, tangannya tidak lagi kaku,” kata Diana.
Bagi yang belum begitu dikenal Ivan, tidak mudah untuk menjalin interaksi dengannya. Apalagi, ketika pembukaan pameran pada siang hari ketika itu membuatnya gerah, Ivan seperti larut dalam dirinya sendiri dengan disibukkan urusan kegerahannya.
Peserta pameran yang lainnya, Kevin Jonathan (19), dengan spektrum sindroma autisme yang selalu aktif bergerak. Ketika berlangsung rangkaian pembukaan pameran, ia asyik di ruang pamer yang dipenuhi sekitar 75 karya berupa karya seni lukis, seni warna kain dengan teknik ikat celup, seni warna kain dengan teknik jelujur, dan sebagainya.
Kevin menampilkan lukisan di atas kanvas dan media tas yang terbuat dari kanvas pula. Salah satu karya lukisnya yang ada di media tas menunjukkan bentuk sebuah mata.
Di sekeliling gambar bentuk mata itu Kevin membubuhkan hiasan dekoratif warna-warni. Sapuan kuasnya membubuhkan titik-titik warna yang terpisah satu sama lain. Sapuan warna itu membentuk alurnya tersendiri.
Alur-alur warna yang cerah itulah gambaran kehidupan Kevin yang tak mau berhenti bergerak. Di atas kanvas, Kevin juga menuangkan lukisan dengan corak yang sama.
Alur-alur warna yang dibuat Kevin menunjukkan karakter dirinya yang tak hendak berhenti berkarya. Tetapi, bentangan kanvas adalah batasan gerak yang memaksa Kevin harus berkompromi. Kevin pun menunjukkan kemampuan untuk itu.
Karya kolaboratif
Sebagian besar karya lain yang ditampilkan berupa karya seni warna kain dengan teknik pencelupan dan jelujur. Ini bagian sederhana dari teknik batik. Keunikannya pada pengerjaannya sebagai karya kolaboratif antara anak-anak dengan spektrum sindroma autisme dan ibu masing-masing.
”Di sinilah letak kekuatan dari karya-karya seni warna kain ini. Komunikasi terjalin di antara ibu dan anak untuk menghasilkan karya seni,” kata Ken Atik Djatmiko, kurator pameran ini.
Ken Atik adalah dosen kriya tekstil di Universitas Muhammadiyah Bandung. Ia merasakan apa yang dirasakan seorang ibu dengan karunia anak sindroma autisme beda dengan anak-anak lazimnya.
”Saya melihat banyak ibu dengan anak sindroma autisme itu frustrasi. Mereka selalu bertanya, anak saya harus diapain?” ujar Ken Atik.
Hati Ken Atik tersentuh untuk ikut terlibat peduli dengan mereka. Ia mengajarkan teknik seni warna kain kepada anak-anak dengan sindroma autisme. Kemudian mendorong para ibu mereka untuk menerapkan karya seni itu menjadi barang yang berfungsi, seperti sarung bantal, hiasan lampu tidur, taplak meja, dan hiasan dinding.
”Ibu-ibu harus terlibat untuk membuat sesuatu yang bisa mereka buat,” ujar Ken Atik.
Pameran Melihat Lebih Dekat dibuka Setiawan Sabana, Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain pada Institut Teknologi Bandung.
Ketika rangkaian pembukaan diawali, Diana Sofian mewakili orangtua peserta pameran. Diana mengatakan, pameran ini sebuah awal membangun keluarga kecil komunitas yang diberi nama Kriya Mata Kucing.
”Melalui komunitas ini mereka berkesenian dan mereka menjadi manusia yang bisa membahagiakan diri sendiri dan orang lain,” ujar Diana.
Aktivitas seperti ini menginspirasi bagi keluarga-keluarga dengan karunia anak mengalami spektrum gangguan otak (brain disorder) seperti sindroma autisme. Terlebih banyak di antara keluarga tersebut masih membuat penolakan terhadap karunia anak seperti itu.
”Saya sendiri merasakan itu. Penuh ratapan, penuh penolakan, ketika tahu diagnosis bagi anak saya,” ujar Diana.
Ketika anak-anak itu berkarya, penerimaan orangtua dengan anak-anak sindroma autisme atau spektrum gangguan otak lainnya mewujud. Dan, seni adalah jalannya.
Setiawan Sabana mengatakan, setiap seni mengandung efek terapeutik. Seni rupa, seni musik, dan seni gerak ataupun tari itu mengandung efek terapeutik.
”Seni agar dimanfaatkan setiap orangtua yang memiliki anak dengan spektrum sindroma autisme atau yang lainnya,” kata Setiawan.
Ia menuntut setiap orangtua tersebut agar benar-benar menggali potensi yang dimiliki anak. Sebab, jalan seni tidak boleh dipaksakan dan haruslah tepat sesuai minat anak. ”Keyakinan terhadap suatu hasil atau karya seni juga sangat penting,” kata Setiawan.
Setiawan tidak setuju dengan embel-embel setiap pameran karya seni mereka disebutkan sebagai pameran karya penyandang sindroma autisme, atau penyandang kebutuhan khusus, atau yang lainnya. Baginya, seni tetap seni. Siapa pun yang membuat karya seni itu, seni adalah seni yang tidak bisa dipilah-pilah sebagai karya orang berkebutuhan khusus atau bukan.
”Saya memiliki pengalaman menarik di Thailand. Suatu ketika saya diundang untuk menghadiri kegiatan yang disebut ’Art for All’ sebagai ruang ekspresi seni bagi setiap penyandang disabilitas,” kata Setiawan.
”Di Thailand ketika itu semua hadirin diminta berdiri. Hadirin diminta untuk memberikan rasa hormatnya kepada Indonesia atas dipilihnya Gus Dur atau Abdurrahman Wahid sebagai presiden,” kata Setiawan.
Di dalam kegiatan Art for All itu mereka tidak memperpanjang penjelasan tentang pemberian hormat kepada Gus Dur tersebut. Setiawan Sabana di dalam pembukaan pameran ini pun juga tak hendak memberikan penjelasan panjang lebar soal pemberian rasa hormat kepada Gus Dur tersebut.
Itulah kesetaraan. Itulah kesejatian seni yang menyetarakan semua manusia. Karya seni tetap sebagai karya seni. Tidak pernah ada embel-embelnya sebagai karya seni penyandang disabilitas.
Sebagian di antara peserta pameran Melihat Lebih Dekat tergabung di dalam komunitas Yayasan Percik Insani Bandung. Ketua Yayasan Percik Insani Fabianus Muktiyarso mengatakan, apresiasi atau penghargaan yang setara terhadap nilai karya dan nilai seni dari kelompok penyandang sindroma autisme atau yang lainnya masih menjadi tantangan. (NAWA TUNGGAL)