Garis Kehidupan Nana Tedja
Melihat 19 lukisan dalam pameran tunggal Nana Tedja yang berjudul Tumbuh Akardi Art 1: New Museum Jakarta seperti melihat kebebasan berpikir dan representasi diri yang begitu jujur dan apa adanya. Garis-garis yang menjadi kekuatan dalam seluruh karya Nana seperti digores dengan tujuan agar siapa pun bisa menyelami kehidupannya.
Lukisan berjudul ”Winter” yang dipamerkan di sudut kanan ruang pameran adalah lukisan yang didominasi warna merah dan putih yang seimbang. Warna merah digoreskan di sisi tengah dan kanan kanvas, membentuk bidang-bidang datar tak beraturan. Sementara warna putih digoreskan di bagian atas dan bawah, seperti hampir melingkup warna merah. Kedua warna itu dipisahkan oleh garis hitam tipis, tetapi tegas dan kuat.
”Bagian yang merah ini sebenarnya sawah dan yang putih ini kabut. Kebetulan rumah saya di Sewon, Bantul, dekat sawah. Suatu waktu, saat tengah sendu, saya melihat sawah dilingkupi kabut. Jadi, saya membayangkan seolah-olah kabut ini salju di Eropa. Kenapa sawahnya merah? Karena saya tidak suka sawah itu selalu digambar dengan warna hijau. Saya juga suka merah dan itu menunjukkan bahwa saya harus tetap berani,” kata Nana Tedja (46) menjelaskan tentang karyanya yang langsung disambut tepuk tangan dan gelak tawa pengunjung.
Selain ”Winter”, jika melihat lebih saksama, lukisan lanskap lain juga memiliki sentuhan atau tone yang hampir sama. Misalnya ”Jingga” yang mengombinasikan warna jingga atau oranye untuk menggambarkan langit dengan warna putih untuk sawah. Kata Nana, penggambaran rasa syukur akan hidup salah satunya karena ia punya rumah kecil di depan sawah. Dalam lukisan ini, Nana memang menambahkan goresan kecil menyerupai rumah.
Bukan hanya lanskap, lukisan-lukisan yang memiliki sosok tertentu di dalamnya juga ditampilkan Nana. Di sisi kiri ruangan, misalnya, diletakkan satu lukisan berjudul ”Ojo Nesu, Jangan Marah”. Lukisan itu menempatkan sosok sentral seperti manusia berwarna biru dan bergigi tonggos yang dikelilingi kekacauan. Selain biru, warna lain seperti merah, merah muda, coklat memenuhi seluruh kanvas. Tak ada ruang kosong yang ditinggalkan. ”Gigi yang besar ini saya sendiri. Punya gigi tonggos katanya dibilang jelek, tapi saya memilih menjadikannya ikon diri sendiri,” kata Nana.
Kenapa ”Ojo Nesu?” menurut Nana, hal itu karena sang suami sering kali mengingatkannya untuk tetap sabar, terutama saat menghadapi anak-anaknya yang suka membuatnya marah. ”Maka, warna biru dalam lukisan ini mewakili suasana yang damai. Ada juga warna pink yang kita tahu warna kasih sayang,” kata Nana.
Ada juga lukisan berjudul ”Ayah-Ibu”. Nana melukis tiga sosok dalam warna berbeda yang terlihat seperti laki-laki dan perempuan serta seorang anak. Kata Nana, lukisan ini mewakili keinginan bersama suaminya untuk menjadi orangtua yang ideal bagi dua anaknya.
Lukisan itu juga ada kaitannya dengan judul pameran, Tumbuh Akar, yang menjadi konsep Nana membesarkan anaknya. ”Saya memang memilih menumbuhkan akar daripada membesarkan batang. Menghargai proses daripada hasil akhir. Jadi, saya berusaha menjadi contoh yang baik bagi anak saya dengan bersikap baik kepada orang lain, mengajarkan kejujuran, dan lainnya,” kata Nana.
Spiritual dan kultural
Begitulah sebagian gambaran dari semua karya Nana yang dibuat pada 2018 ini. Abstrak, tetapi tidak dalam arti umum, yakni tidak berwujud atau niskala. Lewat lukisan-lukisan lanskap yang nyaman dan menenangkan saat dilihat, Nana merepresentasikan rasa syukur, kerinduan, kenyamanan, dan hal-hal lain dengan pendekatan yang sangat subyektif.
Pada lukisan yang memasukkan karakter tertentu, Nana memperlihatkan hubungan manusia dengan Tuhan-nya, antarmanusia dengan manusia lain, serta manusia dengan makhluk lainnya.
”Dust and Bone”, lukisan terakhir yang diselesaikan Nana di 2018 dan turut dipamerkan, misalnya, menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Lukisan ini, dalam goresan-goresan Nana, menyerupai sosok Yesus. Kata Nana, lukisan ini dibuat karena saat ini sedang dalam masa pra-Paskah.
A Anzieb, kurator pameran Tumbuh Akar, menilai, pijakan karya Nana memang pada pengalaman spiritual dari segala hal yang melekat pada ”laku” kehidupan sehari-harinya dan pengalaman kultural sebagai akar yang ditumbuhkan ke dalam dirinya.
Nana yang lahir di Yogyakarta dibesarkan di tengah keluarga yang lekat pada kebudayaan Jawa (keraton) sekaligus menekuni bidang kesenian, yakni batik. Ayahnya pengusaha batik dan ibunya desainer batik. Menurut Anzieb, hal itu membuat Nana semakin mengenal bahasa garis dan warna sejak masih kecil dan mulai melukis pada masa remaja.
Baru setelah menginjak usia dewasa dan berumah tangga, Nana yang merupakan lulusan Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan Penciptaan Seni Lukis memutuskan bekerja sepenuhnya sebagai pelukis.
Nana membenarkan bahwa pengalaman kultural sejak kecil dan pengalaman spiritual menjadi pijakan karya-karyanya. Lukisannya representasi dari ”lelaku urip” atau perjalanan hidupnya sendiri. ”Cara orangtua saya mendidik anak dengan sangat kejawen berkesinambungan dengan sikap religius saya sebagai seorang Katolik. Keduanya menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan kelembutan dan kasih. Itu yang saya bawa ke dalam lukisan,” katanya.
Menurut Nana, sejak kecil hingga sekarang, ciri khas lukisannya tidak pernah berubah. Dia memang sesekali mencoba aliran lain, tetapi hanya karena malu ketika ada yang mencibirnya. ”Ada yang bilang lukisan saya, kok, kayak coretan anak-anak. Akhirnya saya coba membuat yang lain. Tetapi, sekarang, saya memutuskan untuk jadi diri sendiri. Ingin terus berkarya seperti ini,” kata Nana.
Padahal, lukisan Nana tidak jelek. Menurut Co-Founder Museum Art 1 Martha Gunawan, karya-karya Nana justru sangat ekspresif, memadukan garis-garis warna kuat, seimbang, dan sangat jujur. Itu yang menjadi pertimbangan mereka berani memamerkan karya-karya Nana hingga 21 April mendatang. ”Saya yakin, Nana masih punya masa depan yang cerah dengan karya seperti ini,” kata Martha.
Menurut Anzieb, garis atau coretan-coretan adalah ungkapan bahasa pertama kali yang dimiliki seseorang karena belum memiliki bahasa verbal. Menggaris, mencoret menjadi bahasa ungkapan yang paling otentik atau jujur pada setiap orang ketika masih anak-anak.
(ISMAIL ZAKARIA)