Sentuhan Cinta Para Perempuan
”Ini lucu, ya?!” seorang pengunjung berseru ke rekan di sebelahnya sambil menunjuk ke sebuah karya berjudul ”Tak Lama Lagi” yang dipamerkan di Lantai 1 Gedung Pengembangan Museum Basoeki Abdullah di Jalan Keuangan Raya 19, Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis (29/3/2018) pagi.
Sepintas, karya yang terdiri dari delapan seri gambar anak orangutan bertubuh kurus itu memang terlihat menggemaskan. Tetapi saat diperhatikan lebih dekat dan saksama, yang terlihat adalah goresan-goresan keperihatinan.
”Tak Lama Lagi” yang dicetak di atas art paper ukuran A3 (297 milimeter x 420 milimeter), menampilkan anak orangutan dalam gradasi tinta hitam dari tipis hingga tebal. Pola itu membentuk perubahan potret salah satu satwa yang dilindungi tersebut, dari tampak jelas hingga berangsur-angsur seperti hilang.
Perupa asal Jakarta Padma Danti Umayi, dalam keterangan singkat karyanya menulis, gradasi itu adalah representasi tahapan orangutan yang tak lama lagi akan punah.
”Hal yang sama dengan cinta orang-orang kita. Kebencian antar-umat, sedikit demi sedikit memisahkan masyarakat kita,” tulis Padma.
Jika Padma menggambarkan rasa cinta yang hilang lewat gradasi anak orangutan dan memperlihatkan kepiluan, Annisa Anggraini menggunakan cara berbeda. Melalui ”Kami Berbeda Kami Tetap Satu” yang dibuatnya tahun 2018, guru salah satu sekolah luar biasa (SLB) di Kota Depok, Jawa Barat, itu memadukan warna cerah seperti biru, ungu, hijau, dan merah sehingga menciptakan suasana positif, hangat, dan akrab.
”Kami Berbeda Kami Tetap Satu” seperti menggambarkan harapan Annisa akan kondisi ideal, di mana semua orang bisa berada pada satu tempat yang sama, tanpa melihat kekurangan satu sama lain.
Dalam lukisan itu diperlihatkan kerukunan para perempuan penyandang berbagai jenis disabilitas seperti tunarungu, tunadaksa, tunanetra, tunagrahita, dan down syndrome yang masing-masing mengenakan batik berbeda warna dengan seorang perempuan normal tanpa disabilitas dalam satu meja.
”Saya ingin menyampaikan, walaupun memiliki kekurangan atau hambatan berbeda-beda secara fisik atau mental, para perempuan penyandang disabilitas tetap saling menghargai kekurangan masing-masing dan setara di masyarakat. Perempuan normal tanpa disabilitas di tempatkan di tengah, menunjukkan kepedulian dan cinta kepada perempuan penyandang disabilitas,” kata Annisa.
Menurut Annisa, semua disabilitas di Indonesia berhak dicintai, dihargai, diperhatikan, dan layak mendapat kesejahteraan di negara kelahirannya. ”Semua itu berkaca dari cerita teman-teman disabilitas dan pengalaman saya sebagai penyandang tunarungu yang sering didiskriminasi,” kata Annisa.
Saat ditanya alasan menampilkan perempuan, bukan laki-laki, menurut Annisa karena berdasarkan fakta, perempuan disabilitas sering ditempatkan di posisi paling belakang atau paling bawah di lingkungan masyarakat.
Tentang cinta
Lukisan karya Padma dan Annisa adalah dua dari puluhan lukisan yang dipamerkan pada pameran ”The Touch of Love” di Museum Basoeki Abdullah. Pameran berlangsung dari 23 Maret sampai 7 April 2018. Pameran dipilih antara tanggal itu karena berdekatan dengan dua momen penting untuk perempuan, yakni Hari Perempuan Internasional dan Hari Kartini.
Para perupa perempuan yang mengikuti pameran adalah anggota komunitas Art Cross Women, komunitas perempuan yang anggotanya berasal dari sejumlah daerah, seperti Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Lumajang, Magelang, Solo, Cibinong, dan Yogyakarta. Selain itu, ada juga peserta asal Vietnam, yakni Nguyen Kim Phuong. Latar belakang perupa ini mulai dari pelajar, guru, perupa, hingga akuntan, dengan rentang usia 8-57 tahun.
Menurut penyelenggara dan salah satu peserta, Ariana Restu Handani, konsep dari lukisan yang dipamerkan beragam seperti kecintaan pada Indonesia, kecintaan pada keluarga, hingga kritik terhadap apa yang terjadi di Indonesia, baik secara politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. Semua karya seperti disatukan oleh satu benang merah yang sekaligus menjadi kekuatannya, yakni cinta. Selaras dengan tema pameran, ”Touch Of Love”, yang mengandung dua pendekatan, yakni ke dalam dan keluar.
”Pendekatan ke dalam lebih ke keluarga yang terdiri dari ibu, ayah, dan anak. Apalagi pameran ini memang ditujukan untuk keluarga,” kata Ariana.
Ariana menambahkan, sentuhan-sentuhan cinta dalam keluarga itu akan membangkitkan pendekatan keluar, yakni cinta bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi ke arah spiritual cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cinta itu diwujudkan dengan mengagumi ciptaan-Nya dan mengambil hikmah positif dari anugerah yang diberikan.
Menurut Ariana, mungkin dalam eksplorasi karya, para perupa perempuan ini menemukan kendala teknis. Akan tetapi, itu bukan hal utama. Yang penting mereka berani berkarya, mengekspresikan segala hal yang berkecamuk dalam pikiran dan jiwa mereka. ”Selain menelurkan hobi, berkarya membuat mereka juga berekspresi, melakukan terapi, dan edukasi. Jika pun ada fungsi ekonomi, itu sebagai bonus,” kata Ariana.
Kepala Museum Basoeki Abdullah, Maeva Salmah, menambahkan, mereka berani menampilkan karya-karya perempuan tersebut karena ingin memberi ruang publik di Museum Basoeki Abdullah bagi siapa pun. Baik itu seniman, komunitas seni, sanggar, satuan pendidikan, dan masyarakat yang terkait dunia lukis. Karya-karya yang dipamerkan dalam ”Touch of Love” juga sangat senapas dan memiliki semangat yang sama dengan karya-karya Basoeki Abdullah.
(ISMAIL ZAKARIA)