Berfilsafat lewat Film
”Semua ilmu muncul dari pengalaman, termasuk pengalaman tubuh. Ilmu dari suatu pengalaman ini seperti disampaikan Emmanuel Kant,” ujar Michael dalam diskusi seusai pemutaran film, Selasa (3/4/ 2018).
Film-film Michael diputar berurutan sesuai waktu pembuatannya. Film berjudul Veronika (1986, 11 menit) berlatar wajah Yesus yang tergambar di kain milik Veronika tatkala Veronika mengusap peluh di wajah Yesus ketika menjalani sengsara di jalan salibnya.
Namanya film eksperimental, film-film Michael itu ditujukan untuk kalangan terbatas. Film-film itu seperti memorakporandakan pengalaman dan pengetahuan yang sudah ada. Seperti dinyatakan Michael bahwa di dalam film itu Yesus sebagai Michael Brynntrup, bukan sebaliknya Michael sebagai Yesus.
”Masyarakat Eropa, dalam hal ini Jerman, itu bebas dalam hal menginterpretasikan agama,” ujar Melati Suryodarmo yang cukup lama menetap di Jerman.
Film Veronika dibuat sekitar tahun 1985. Ketika itu, Micahel berusia 26 tahun. Di dalam film selanjutnya, Narcissus Und Echo (1989, 14 menit), Michael membuat drama klasik Eropa tentang seorang gadis narsis, pemuja keelokan diri. Di muka cermin, gadis itu selalu menatap kecantikan wajahnya hingga suatu ketika datanglah seorang pemuda yang tampan kepadanya.
Tidak seperti drama lainnya, mereka bertemu dan tidak menjalankah kisah romantisme. Tatkala sang gadis menjulurkan punggung tangannya untuk dicium sang pemuda, pemuda itu serta-merta mencium jari jemari serta memasukkannya ke dalam mulutnya.
Jari-jemari gadis itu dikulum-kulum pemuda itu. Marahlah sang gadis. Kemudian ia mengusir sang pemuda. Michael pun melanjutkan narasi filmnya itu dengan halusinasi sang gadis menemukan pemuda dambaannya. Setelah bertemu, gadis itu terbangun dari mimpi atau halusinasinya.
Semua bisa kamu makan
Dilanjutkan dengan film All You Can Eat (1993, 5.30 menit). Sepanjang waktu film itu hanya menampilkan wajah-wajah pemuda dengan mulut megap-megap. Tak digamblangkan penyebab mulut megap-megap itu. Namun, penonton digiring untuk mendapatkan imajinasi megap- megapnya mereka karena hendak mencapai klimaks atau orgasme.
Dengan mulut yang menganga karena kepuasan itu, Michael memberi konteks satir, ”All You Can Eat” atau Semua Bisa Kamu Makan. Film Achtung (2001, 14 menit) atau Respect (Concentration Chair) menjadi film teramat miris. Ini tentang seseorang anak muda yang diikuti sepanjang sembilan tahun oleh Michael.
Selama itu pula anak muda itu memenuhi tubuhnya dengan tato dan tindik. Michael membuat film dari adegan satu ke adegan berikutnya di sebuah kursi stainless steel yang sama.
Dengan berbagai tindik di wajah, laki-laki itu seperti sedang mengasah sebuah batang logam di mulutnya. Michael kemudian menunjukkan satu per satu bagian tubuh laki-laki itu yang ditato dan ditindik dengan bahan logam berbagai bentuk.
Sesekali Michael menyusupkan adegan di kursi yang sama, tetapi berbeda orang. Misalnya, diganti dengan laki-laki dewasa tanpa busana bertubuh gemuk.
Hingga suatu ketika kembali lagi pada pemuda dengan tato yang makin penuh di tubuhnya. Begitu pula tindik yang makin banyak di sekujur tubuhnya.
Pemuda itu masih menjilat-jilat sebatang logam di mulutnya. Tiba-tiba berhenti. Tangan kanannya memegang batang besi logam kecil itu dan mengarahkan ke dada kirinya.
Di atas bagian puting susunya, ia menancapkan batang logam itu menusuk lapisan kulitnya. Tidak ada darah menetes.
Situasi itu nyata terjadi. Melalui film itu, Michael memberikan pesan tentang pengalaman tubuh yang dialami laki-laki tadi.
”Melalui film ini, saya menyampaikan pesan untuk saling memahami satu sama lain. Seperti dikatakan Emmanuel Kant, dari pengalaman, lahirlah sebuah ilmu, termasuk dari pengalaman tubuh seperti di dalam film Achtung ini,” ujar Michael.
Berikutnya film 77 Volcano (2017, 17 menit). Film ini cukup unik. Michael menampilkan barisan pohon perdu di bagian depan di layar bawah. Selebihnya warna putih yang bergerak-gerak.
Warna putih itu ternyata kabut. Sesekali, kabut menipis dan hilang sama sekali. Gambar layar berubah menjadi sebuah panorama gunung dengan kawahnya. Kabut terekam bergerak hilir mudik, mulai dari kabut tipis hingga kabut tebal yang menutup kembali panorama kawah gunung tersebut.
Hal itu diulang-ulang. Hingga pada akhirnya, seperti datangnya kabut, sebuah teks dengan kata-kata kaligrafis bermunculan.
Michael menuliskan berbagai kalimat yang dijumput dari media sosial. Kalimat-kalimat itu yang paling banyak mendapat sorotan, seperti soal perubahan iklim, lautan yang dipenuhi sampah plastik, mutasi genital tubuh di Somalia, tolak rekayasa genetika pada makanan, tolak privatisasi air, akhiri pendudukan wilayah Palestina, lindungi internet dengan netralitas, dan hentikan pembunuhan gajah.
”Angka 77 pada 77 Volcano bukan pada banyaknya kalimat yang saya ambil. Itu sekadar angka yang kebetulan film ini adalah film eksperimental yang saya buat ke-77 kalinya,” kata Michael. Emmanuel Kant menjadi seorang guru besar di bidang logika dan metafisika. Ia rujukan Michael untuk menghadirkan berbagai ragam pengalaman ketubuhan. Pengalaman tubuh ini menjadi pengalaman terdekat manusia. Akan tetapi, manusia kerap terasing dengan ketubuhannya.
Michael menyinggung persoalan homoseksual dalam pengalaman tubuh yang disajikan di film-filmnya. Pengalaman tubuh para homoseksual itu di sebagian masyarakat dunia, termasuk Indonesia, tidaklah mudah untuk dimengerti.
Pada akhirnya, melalui bahasa yang berbeda, timbullah konflik dari fenomena homoseksual tersebut. Emmanuel Kant melahirkan pengertian atau konsep sebuah ilmu itu diperoleh dari pengalaman.
Tidak semua pengalaman bisa dijabarkan dengan kata-kata gamblang. Michael menyuguhkan pengalaman-pengalaman yang tak mudah terjelaskan dengan kata-kata itu melalui film- film eksperimentalnya.
”Ini berbeda dengan seni media baru dengan video seni. Di bidang itu, seni media baru lebih banyak menampilkan desain atau keindahan melalui seni rupa,” kata Michael.