Film ini diadaptasi dari novel Ready Player One (2011) karya Ernest Cline yang juga menjadi salah satu penulis skrip filmnya. Berlatar tahun 2045, ketika warga kota lebih banyak mengalokasikan waktu dan segala sumber daya untuk ”bermain” di dunia virtual yang disebut Oasis. Di ranah virtual ini, orang-orang bebas menciptakan avatar yang merepresentasikan diri mereka, menjadi sosok yang sama sekali berbeda dengan diri mereka sebenarnya, bahkan menjadi spesies makhluk lain sekalipun.
Di dunia Oasis, referensi ikon-ikon pop culture sejak era 1980-an mengalir tak berhenti. Karakter utamanya, remaja Wade Watts (Tye Sheridan) yang avatarnya dinamai Parzival, misalnya, menunggangi mobil ikonik dari film Back to the Future (1985) besutan Robert Zemeckis. Spielberg juga meminjam kreasi latar Stanley Kubrick pada film horor The Shining (1980). Tak ketinggalan aksi King Kong yang meremukkan jalan, boneka seram Chucky yang membantai lawan, atau robot luar angkasa The Iron Giant.
Rujukan pada beragam permainan video game pun tak ketinggalan, salah satunya pada anime populer Jepang, Gundam. Tak berhenti di situ, film ini menyuguhkan latar musik yang tumbuh bersama Generasi X, seperti Van Halen, Prince, Bee Gees, dan Bruce Springsteen. Tarian ala Michael Jackson pun sekelebat mencuri perhatian dalam film ini.
Sebagaimana layaknya permainan gim, sang karakter utama, Wade Watts, dan teman-temannya pun berusaha mengatasi tantangan untuk mengumpulkan kekayaan berupa koin dan artefak. Tantangan paling utama adalah memenangi kontes yang dibuat Halliday (Mark Rylance), kreator Oasis. Si pemenang dijanjikan hadiah besar yang bakal mengubah peruntungan mereka di dunia nyata sekaligus kontrol tunggal atas ranah virtual Oasis.
Wade Watts alias Parzival dan kawan-kawannya pun berjuang memenangi kontes itu. Bukan sekadar mengejar hadiah, mereka juga tak ingin jagat virtual Oasis jatuh ke tangan si karakter antagonis Nolan Sorento (Ben Mendelsohn) yang mengerahkan kekuatan korporasi jahat untuk menumbangkan kelompok anak muda ini.
Tenggelam
Karakter anak-anak muda ini merepresentasikan remaja kebanyakan, mereka tidak punya kekuatan superhero. Masing-masing punya keunggulan atau bakat berbeda, pun kecerdasan, tetapi berpenampilan tak meyakinkan. Soal penampilan yang menggerogoti kepercayaan diri, atau kondisi lingkungan yang mengecewakan, tentu lenyap ketika mereka bersalin rupa menjadi avatar dan beraksi di jagat virtual.
Permainan di jagat virtual juga menjadi bentuk pelarian ketika kenyataan dianggap tak lagi menawarkan kebahagiaan. Ready Player One juga mengusik kita untuk membayangkan, seperti apa jadinya dunia jika sebagian besar dari kita, orang tua, anak muda, para profesional, pun pengangguran lebih suka menenggelamkan diri di jagat virtual daripada berinteraksi di dunia nyata.
Film ini menghadapkan kita pada pertanyaan, mana yang akan kita pilih, dunia di mana ”realitas” hanya terbatasi kemauan untuk menjangkau sejauh-jauhnya imajinasi atau realitas yang tidak bisa kita bentuk, tetapi nyata?
Spielberg mempertontonkan kebebasan bermain dengan daya imajinasi dalam film ini. Ia seolah berulang meneriakkan bahwa di jagat virtual, kita bisa menciptakan apa saja yang kita inginkan, juga menjadi siapa atau apa saja yang kita inginkan. Di situ, aturan tidak berlaku dan membatasi.
Sungguhkah? Lalu, apa artinya perolehan atau kehilangan koin dan artefak? Apa pentingnya strategi bermain dan berapa banyak sebenarnya energi, waktu, dan sumber daya kita terkuras untuk ”permainan” itu?
Pada akhirnya, kita harus menimbang, seberapa kita memberi harga pada sebuah realitas dan fantasi.