Band Gho$$ sempat bersinggungan dengan industri musik besar setelah memenangi ajang SuperMusic.ID Rockin’ Battle 2017. Salah satu hadiahnya rekaman dua lagu di Australia. Kemudian, salah satu lagu mereka masuk ke dalam album kompilasi para finalis Rockin’ Battle 2017. Akhir Maret lalu, mereka meluncurkan mini album sebagai tanda kembali ke jalur indie.
Gho$$ lahir setelah para personelnya bosan dengan lagu-lagu metal. Semula M Diegoshefa Dilanegara (vokalis) dan Diego Aditya (gitaris) yang menggagas pembentukan band ini pada 2014. Baru kemudian mereka merekrut rekan-rekan lainnya dan sempat bongkar pasang anggota. Kini, mereka ditemani Dito Adhikari (basis) dan Fadhi Perdana (gitaris/synthesizer).
Para personel Gho$$ sudah cukup lama terlibat dalam proyek pembuatan lagu dan musik secara umum. Diego Aditya alias Gosu adalah gitaris yang kerap mengiringi band-band di bawah payung Republik Cinta Management, Dito pernah bermain bersama Adante, band yang kemudian berganti menjadi Vierra. Adapun Fadhi sering mengerjakan proyek scoring film.
Butuh sekitar dua tahun untuk menemukan warna dan identitas musik Gho$$. Setelah beragam eksperimen dan sinergi berdasarkan referensi musik masing-masing, mereka menghasilkan lagu-lagu yang bergenre unik.
Unik dalam pengertian lagu-lagu mereka sulit untuk dimasukkan dalam satu genre karena mengandung rasa jazz, R&B, hip hop, dream pop, sampai trip hop. Belakangan mereka menyebut musiknya bergenre eksperimental R&B. Sebutan ini sebenarnya hanya untuk memudahkan penikmat lagu-lagu Gho$$. ”Eksperimental R&B itu sebutan paling aman, sih,” kata Diego.
Anggaplah eksperimen R&B sebagai sebuah sintesis dari beragam genre, maka wajar jika menilik band-band yang turut memengaruhi Gho$$ dalam bermusik. Para anggotanya sangat akrab dengan Massive Attack yang bergenre trip hop, Arctic Monkeys (indie rock, garage rock, post-punk revival), Portishead (trip hop, rock eksperimental, musik elektronika, rock alternatif, downtempo), Lana Del Rey (pop, trip hop, pop indie), The Neighbourhood (rock alternatif, musik elektronika), dan terutama Gorillaz (art pop, rock alternatif, hip hop, trip hop, musik elektronika). Musik-musik mereka ini cenderung kelam.
Dalam mini album bertajuk The Blackest Whiteout itu, Gho$$ menegaskan kekelaman yang selama ini menjadi identitasnya. Whiteout menggambarkan kondisi sempoyongan atau kliyengan setelah seseorang terlalu lama duduk atau jongkok. The Blackest Whiteout bisa diartikan kondisi paling gelap ketika hidup seseorang tengah sempoyongan. Dengan bahasa lain Diego mengartikan judul albumnya lewat kalimat, ”yang paling hitam dari yang putih hahaha”.
Kekelaman
Lagu-lagu mereka bernuansa kelam, muram, dan bahkan depresif. Dari mana rasa kelam itu mendominasi musik Gho$$? ”Semua itu (gambaran) personalnya Diegoshefa soalnya,” kata Dito yang diamini Diego, disambung tawa.
Diegoshefa punya pengalaman hidup pahit dan kelam. Dia menulis dan mencari nada lagu-lagu itu beberapa tahun lalu berdasarkan pengalaman itu. ”Setelah semua lagu gue tulis, gue buat dulu versi kasarnya dan akhirnya gue share biar diperluas lagi.”
Mini album yang terdiri atas empat lagu itu diawali dengan nomor instrumentalia ”Benzo”. Lagu ini dibuka dengan permainan Fadhi pada synthesizer yang menimbulkan bunyi-bunyi unik seperti ilustrasi kepala berdenyut saat pusing. Lalu, ditingkahi dengan petikan gitar Diego yang menggunakan efek distorsi dan musik elektronika.
Lagu diakhiri dengan bunyi denging kasar seperti pesawat radio yang gagal menemukan gelombang. Bunyi denging itu perlahan menghilang. Lagu berdurasi 2 menit 41 detik ini efektif mengantarkan pendengar pada kekelaman pada lagu-lagu berikutnya.
”Lagu itu kami sengaja bikin sebagai intro untuk perkenalan estetik dan identitas musik Gho$$ itu seperti apa. Bisa dibilang Benzo kami jadikan ruang untuk mendengar, tanpa berbicara sepatah kata.”
Lagu ”//nsn” (baca: insane) dibuka dengan bunyi dentingan bertempo lambat membius, lalu disusul suara gitar berdistorsi. Sang vokalis bernyanyi dengan teknik suara antara bersenandung dan ngerap. Suaranya seperti seseorang yang menyimpan kepedihan dan kemarahan sekaligus, tetapi tak bisa meneriakkannya. Teriakan itu seperti terwakili oleh gesekan gitar yang mengakhiri lagu. Liriknya yang eksplisit dan penuh kemarahan tersamarkan oleh cara pengungkapan tadi.
Jika tak jeli, lagu ketiga, ”N” (baca: end), bisa dikira sebagai sambungan dari ”//nsn” karena kemiripan tempo dan bunyi-bunyiannya. Hanya saja, pada lagu ini tak lagi ada sisipan rap. Akan tetapi, kuat dengan downtempo dan elektronika. Ambient terbentuk lewat downtempo yang bersanding dengan suara samar distorsi gitar. Akan tetapi, di akhir lagu, Diego memberi kejutan dengan raungan gitar yang tebal.
Lagu ini begitu kelam. Di dalamnya Diego curhat tentang depresi yang dia alami dengan menggunakan perempuan sebagai metafora, ”She wears her smile like a rope on my neck.”
Mini album ditutup dengan ”Care.Le$$”. Lewat lagu yang sangat personal ini, Diego menyampaikan pesan kebutuhannya terhadap seseorang untuk bersandar dari segala kepelikan hidup yang melilitnya. Lagu pamungkas tersebut tak kalah kelamnya dengan tiga nomor sebelumnya. ”Care.Le$$” sempat direkam di Australia. Tetapi, Gho$$ memasang versi asli ketika mereka rekaman sendiri. Ini untuk menjaga semangat indie yang berpijak pada prinsip do it yourself (DIY).
Mini album ini berisi kepedihan yang disampaikan dengan cara elegan, tidak cengeng. Sikap Gho$$ untuk kembali ke jalur indie, memproduksi dan mendistribusikan albumnya sendiri, juga bentuk sikap elegan yang tidak cengeng tadi.