Mason Skiles (Jon Hamm) diplomat Amerika Serikat yang frustrasi. Ia pulang dari Beirut (Lebanon) ke negaranya, dengan membawa luka. Istrinya, Nadia (Leila Bekhti), terbunuh saat terjadi penyerangan di rumah mereka di Beirut. Sementara Karim Abu Rajal (Idir Chender), anak angkat mereka, hilang diculik para penyerang. Itulah adegan (scene) pembuka film Beirut besutan sutradara Brad Anderson. Setidaknya kita diberi ancang-ancang bahwa kefrustrasian Mason, dengan cara mabuk-mabukan, akan menjadi drama pada adegan-adegan berikutnya. Tetapi, samar-samar juga kita menangkap, film ini tak akan beranjak jauh dari film-film Hollywood lainnya, yang selalu meletakkan Timur dalam posisi ”penyebab segala keributan”.
Studi para orientalis sebagaimana dirumuskan Edward Said, sebenarnya mengandung pemikiran terselubung tentang dominasi perumusan Timur oleh para peneliti Barat. Dominasi itu menjadi stereotip yang berkelanjutan, di mana Timur terdiri dari negeri-negeri yang eksotis alias primitif alias juga tidak beradab. Film Beirut seolah membenarkan stereotip semacam itu.
Tahun 1972, ketika rumah Mason diserang secara membabi buta oleh pasukan ”liar” yang kemudian diketahui dipimpin oleh Raffik Abu Rajal (Mohammed Attougui), disebut sebagai serangan para teroris. Raffik tak lain adalah kakak kandung Karim. Ia selama ini menetap di Spanyol dan kembali ke Beirut untuk ”menjemput” adiknya. Meski masih berusia 13 tahun, Karim menyimpan rapat-rapat tentang keberadaan kakaknya. Mason dan Nadia hanya tahu bahwa ia anak Lebanon yang telantar dan sebatang kara.
Pertama, urutan peristiwa ini sudah cukup bagi kita untuk melihat bahwa pada adegan-adegan berikut Karim yang akan mengambil alih pimpinan para teroris. Lalu diam-diam kita berharap pertemuan Mason dan Karim, suatu hari nanti akan menjadi drama keluarga yang mengharukan.
Kedua, pada peristiwa awal, penulis skenario Tony Gilroy sudah membuat pemilahan yang spesifik. Kutub Timur dan Barat, ia letakkan dalam posisi saling berhadap-hadapan. Dengan begitu, ia dengan sangat leluasa memasukkan adegan-adegan peledakan bom atau tembak-menembak di antara kedua kubu. Kubu Barat diwakili para agen CIA yang berada di Beirut dan kubu Timur direpresentasikan oleh kelompok yang dipimpin oleh Raffik. Bahkan dalam informasi yang dipegang oleh para agen CIA, Raffik adalah teroris yang melakukan penyerangan di Muenchen, Jerman, tahun 1972, serta meledakkan pesawat milik Barat.
Konflik
Konflik menajam ketika Cal Riley (Mark Pellegrino) agen CIA, sahabat Mason di Beirut, diculik para teroris. Penculikan itu terjadi 10 tahun setelah Mason meninggalkan Lebanon. Pimpinan teroris memberi pesan agar mengirim Mason sebagai perunding untuk membebaskan Cal. Lagi-lagi kita diberi pengharapan, seperti apa nanti pertemuan antara Mason dan Karim.
Para agen CIA, terutama Sandy Crowder (Rosamund Pike), sangat berharap agar Mason segera ke Beirut untuk menjembatani perundingan pembebasan Cal, sahabatnya. Ketika akhirnya Mason datang, secara sengaja Brad memasukkan gambar-gambar kota Beirut yang luluh lantak akibat didera perang sipil selama puluhan tahun. Ia bahkan mengulang penayangan gambar yang diambil dari drone ini beberapa kali. Tentu maksudnya menciptakan persepsi tentang Beirut yang hancur di bawah kendali para milisi barbar.
Sebenarnya Brad terlihat sedikit ingin memperhalus pandangan orientalisme itu dengan memasukkan kubu Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin Yasser Arafat dan para agen Mossad dari Israel. Cuma lagi-lagi, ia telanjur sulit membebaskan diri sehingga PLO tetap saja dicap sebagai Timur yang jahat dan Israel berkubu dengan Barat dalam pengertian yang berbeda.
Para penculik Cal menuntut pertukaran tawanan. Jika ingin Cal bebas, Raffik juga harus dibebaskan. Para agen CIA menduga Raffik ditahan Israel sehingga mereka harus pergi ke Tel Aviv untuk mengadakan perundingan. Cal, bagi Amerika Serikat, terlalu penting artinya karena ia memiliki beberapa informasi yang bisa digunakan kelompok penculik. Perundingan buntu karena Israel tidak menjawab tegas, apakah mereka menahan Raffik atau tidak.
Mason, yang tadinya dikawal ketat oleh Sandy secara diam-diam atas bantuan anak-anak Lebanon, bergerak sendiri untuk menemui para penculik Cal. Di sinilah kita menanti drama keluarga yang dijanjikan dalam adegan-adegan sebelumnya. Apakah terjadi pertemuan antara ayah angkat dan anak angkat yang telah lama menghilang itu?
Bisa dimengerti menjelang penayangannya di Lebanon, 13 April 2018, film ini menuai banyak protes. Pertama, orang-orang Lebanon keberatan film ini sama sekali tidak menggunakan aktor-aktor setempat. Kedua, shootingBeirut dilakukan di Maroko dan bukan di kota Beirut. Ketiga, tentu saja soal superioritas Hollywood, yang dianggap meneruskan stigma Barat terhadap Timur.
Ini pemikiran kedaluwarsa yang diletakkan para orientalis dua abad silam, tetapi masih dianut secara masif sampai hari ini, antara lain melalui film. (PUTU FAJAR ARCANA)